Kamis, 26 Juni 2014

MANAJEMEN PENGETAHUAN PERPUSTAKAAN KONVENSIONAL PERPUSTAKAAN BATU API JATINANGOR SUMEDANG

Dokumen Pribadi, diambil pada Sabtu, 17 September 2011|BATU API

Apa yang disampaikan Sulistiyo Basuki (1991:4) dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Perpustakaan mengutip dari Webster’s Third Edition International Dictionary Edisi 1961 menyampaikan bahwa “Perpustakaan merupakan kumpulan buku, manuskrip, dan bahan pustaka lainnya yang digunakan untuk keperluan studi atau bacaan, kenyamanan, atau kesenangan.”

Dari pemaparan di atas, ada pemandangan menarik yang dipertontonkan oleh Perpustakaan Batu Api yang berada di Jl. Jatinganor 142 A Sumedang dan berada tepat di sebelah mall Jatinangor Town Square (jatos). Pemandangan dari sekumpulan mahasiswa yang bergerombolan berkunjung ke perustakaan Batu Api, yang tidak hanya menyediakan koleksi-koleksi seperti perpustakaan biasanya, seperti perpustakaan universitas dan perpustakaan lembaga lainnya.

Penulis, dan teman-teman menemukan hal yang berbeda yaitu dari koleksi yang disediakan, mulai dari pelayanan, dan pemanfaatan layanan perpustakaan tersebut. Memang secara legal, Batu Api bukan termasuk perpustakaan lembaga apapun. Melainkan, milik pribadi yang bisa dikonsumsi oleh siapapun, dengan catatan harus jadi anggota perpustakaan terlebih dahulu. Pengalaman penulis, setelah menyambangi perpustakaan ini, kesan yang kami peroleh sangat unique.

Anton Solihin, pemilik perpustakaan Batu Api menuturkan bahwa semenjak awal perpustakaan ini, sudah didesain supaya menjadi perpustakaan yang bisa dinikmati oleh siapapun. Dari tahun ke tahun, setelah perpustakaan didirikan 1 April 1999 yang sudah berumur seikitar 13 tahun, sudah mengalami peningkatan yang cukup pesat. Mulai dari koleksi bahan pustaka, pun dengan anggota yang sudah cukup bertambah dari waktu ke waktu.

Hal ini dirasakan oleh penulis sendiri (Abd. Qadir Jailani) yang juga merupakan anggota dari perpustakaan Batu Api, merasakan kenyamanan dalam memanfaatkan bahan pustaka yang ada. Sesuai dengan apa yang disampaikan Sulistiyo Basuki di atas, perpustakaan seyogyanya memberikan kenyamanan terhadap pemustaka, dan hal inipun dirasakan oleh penulis (Abd. Qadir Jailani) dan beberapa anggota perpustakaan lainnya.

Ruang diskusi yang disediakan, memang memberikan pelayanan yang nyaman ditambah bisa berinteraksi dengan teman-teman lintas fakultas, dan bahkan lintas universitas (perguruan tinggi). Di samping itu, interaksi lebih lanjut dengan teman-teman anggota perpustakaan bisa berlangsung melalui media sosial seperti group facebook yang disediakan oleh pemilik perpustakaan ini.

Koleksi Yang disediakan
Sebagai sebuah perpustakaan milik pribadi, tentunya mulai dari pengadaan koleksi, pemeliharaan, dll. Tentunya melalui budgeting yang dikelola secara pribadi juga, sehingga tidak ada campur tangan dari lembaga apapun terkait hal tersebut. Hanya saja, Solihin menuturkan bahwa perpustakaan Batu Api memiliki jatah tiga sampai empat kali kegiatan yang bekerja sama secara langsung dengan penerbit Gramedia. Tentunya, dengan kerja sama tersebut, dalam pengelolaan perpustakaan ini jauh lebih membantunya untuk terus mengembangkan perpustakaan miliknya.

Di samping itu pula, perpustakaan Batu Api juga menyediakan koleksi lainnya yang tidak kalah menariknya, seperti Film, Vide Dokumenter, dll. Apa yang dilakukan oleh Solihin, senada dengan apa yang disampaikan Pawit M. Yusup (2012: 438) dalam bukunya Perspektif Manajemen Pengetahuan Informasi, Komunikasi, Pendidikan, dan Perpustakaan. Dia menulis bahwa:
“kita masih ingat bahwa pengetahuan (knowledge) yang dikelola oleh perpustakaan, termasuk perpustkaaan konvensional adalah jenis pengetahuan yang cenderung berkategori eksplisit, bahkan lebih mengarah kepada jenis penyimpanan pengetahuan yang eksplisit tadi, yakni ‘pustaka’, yang sering diidentikkan dengan buku dan urutannya. Padahal makna pustaka yang sebenranya adalah semua jenis bahan bacaan yang terdiri atas bahan dari kertas dan bahan dari bukan kertas, bahkan cetakan dan bahan noncetakan, dan bahkan sekarang berkembang dengan bahan-bahan audio dan audiovisual. Dari konsep yang terakhir ini nantinya dikenal dengan nama ‘bahan pustaka’ untuk maksud pustaka tadi. “

Inilah, yang dilakukan oleh Solihin dalam memanaj perpustakaannya sebagai perpustakaan pribadi yang diperuntukkan untuk siapapun tanpa memandang status apapun. Sehingga, dengan hal inilah perpustakaan Batu Api dari tahun ke tahun semakin berkembang maju.

Daftar Bacaan:
Basuki, Sulistiyo. 1991. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: PT Gramedia

Yusup, Pawit M. 2012. Perspektif Manajemen Pengetahuan Informasi, Komunikasi, Pendidikan, dan Perpustakaan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.  


*Catatan: tulisan ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Pengetahuan Perpustakaan (MPP) tahun 2013 lalu, ditulis oleh saya (Abd. Qadir Jailani), Ekky Risdiyanto Wicaksono, Anggie Oktaviana, dan Anggi Santosa. 

Label:

Selasa, 24 Juni 2014

PEMBENTUKAN KESAN POSITIF DALAM PEMILU MELALUI PENERAPAN PSIKOLOGI LINGKUNGAN (Lingkungan informasi dan Komunikasi)


Pendahuluan
Belakangan ini, pesta demokrasi tengah marak di Negara kita Indonesia. Pemilihan gubernur tergelar di berbagai tempat, februari yang lalu Jawa Barat menggelar pesta demokrasinya. Beberapa waktu yang lalu, Jawa Tengah dan Bali telah melaksanakan pemilihan umum (pemilu) gubernurnya, dan sebentar lagi Sumatera Selatan juga akan menggelar pemilu. Perhelatan akbar yang digelar dan dikemas dalam bentuk pemilu merupakan bagian dari sebuah paham demokrasi dalam suatu Negara, khususnya Indonesia.

Kaitannya dengan pemilu, desain politik yang dibangun oleh cagub atau cawagub telah membentuk persepsi publik terhadap mereka. Berbagai pencitraan positif dibangun untuk meraup suara terbanyak, memberikan kesan positif terhadap publikpun terjadi setiap waktu. Baik melalui media, atau terjun langsusng (blusukan) seperti yang dilakukan Joko Widodo, gubernur DKI Jakarta sekarang dari fraksi PDI-P di kala kampanyenya.

Baik itu cagub ataupun cawagub dalam proses pencalonannya, ketergantungan terhadap media sangat tampak. Di mana mereka mengiklankan pencalonannya di berbagai media, baik media cetak ataupun media elektronik lainnya. Kita bisa lihat, betapa lingkungan informasi dan keomunikasi (politik) tengah dibangun dengan tujuan untuk meraup suara terbanyak dalam pemilu.

Dalam konteks lingkungan informasi dan komunikasi yang dibangun oleh para cagub atau cawagub, khususnya pada media elektronik. Tentunya publik yang kesehariannya tidak terlepas mengikuti perkembangan informasi melalui media elektronik, perlahan akan mulai terhipnotis dengan desain politik tersebut. Pencitraan, blusukan dan membentuk kesan positif untuk publik menjadi senjata ampuh dalam liputan media.

Proses pembentukan kesan positif publik terhadap mereka yang mencalonkan diri menjadi cagub dan cawagub, menurut penulis diawali dengan sebuah pemahaman dalam teori psikologi lingkungan seperti yang ditulis Avin Fadilla Helmi (1999; 1), dalam buletin psikologi, berjudul Beberapa Teori psikologi Llingkungan bahwa manusia, dalam hal ini publik dianggap sebagai sebuah black-box yaitu kotak hitam yang siap dibentuk menjadi apa saja.

Dari itulah, pada tulisan ini penulis ingin mencoba membuat sebuah analisis sederhana terkait pemilu begitupun dengan lingkungan informasi dan komunikasi yang terbentuk di dalamnya. Dengan berbagai kasus yang terjadi, tidak hanya money politic atau politik uang yang terjadi, tetapi asumsi penulis banyak publik yang mulai terhipnotis dengan desain politik yang dibangun sedemikian rupa. Sehingga pada suatu waktu, publik memilih dan pada akhirnya merasa kecewa dengan pilihannya sendiri terhadap cagub dan cawagub yang dipilihnya.

Harapannya, tulisan ini bisa menjadi rujukan baru terhadap tulisan terkait komunikasi politik, informasi, dan semacamnya yang berkaitan dengan psikologi lingkungan, dan atau pun lingkungan informasi dan komunikasi.  
Permasalahan
Merujuk terhadap latar pendahluan di atas, penulis ingin menyimpulkan beberapa masalah terkait Lingkungan Informasi dan Komunikasi dalam pemilu, yang nantinya akan penulis coba untuk mencari penyelesaiannya. Beberapa masalah tersebut meliputi: 
1)   Apa yang dimaksud dengan Lingkungan Informasi dan Komunikasi, terkhusus dalam kaitan pemilu dalam desain politik.
2)   Bagaimana sebetulnya karakteristik dan tafsiran terhadap manusia (publik) dalam kajian psikologi lingkungan (informasi dan komunikasi).
3)   Benarkah manusia (publik) bisa dibentuk menjadi pribadi apa saja?

Pembahasan
Rujukan tunggal yang penulis ambil dalam pembahasan ini, adalah tulisan Avin Fadilla Helmi seperti yang tertulis dalam kata pendahuluan di atas. Dalam teorinya, manusia dianggap sebagai Black-Box atau kotak hitam yang bisa apa saja. Teori ini, digunakan dalam psikologi lingkungan untuk memahami terkait manusia.

Kajian yang dilakukan oleh Avin dalam tulisannya, dinyatakan bahwa Psikologi Lingkungan merupakan bagian dari psikologi, yang merupakan cabang dari psikologi yang masih muda. Pernyataan ini ditulis sekitar empat belas tahun yang lalu (1999), hingga saat ini kajian ini terus dilakukan khususnya oleh para akademisi. Begitupun dengan penulis saat ini, mencoba mencari sebuah pembenaran terkait dengan psikologi lingkungan, yang berkaitan dengan terbentuknya sebuah persepsi public melalui lingkungan yang lingkungan yang sengaja dibentuk dan dikemas (baca:desan politik).

Dari beberapa permasalahan yang tersebut di atas, pada awalnya menurut asumsi penulis munculnya lingkungan informasi dan komunikasi diawali dengan munculnya Psikologi Lingkungan dalam cabang psikologi. Avin dalam pengantar tulisannya menulis tentang tradisi yang ada dalam psikologi.  Menurutnya, teori psikologi berorientasi untuk menjelaskan dan memprediksi perilaku manusia. Adapun tradisi-tradisi yang ada dalam Psikologi, yaitu ada sebuah perilakuk yang disebabkan oleh faktor dari dalam (deterministik), ada juga perilaku yang disebabkan oleh faktor lingkungan atau proses belajar, dan yang terakhir dari tradisi-tradisi dalam psikologi bahwa perilaku disebabkan oleh interaksi manusia-lingkunga.

Mengenai psikologi lingkungan, Avin menyebutnya sebagai suatu ilmu perilaku yang berkaitan dengan lingkungan fisik. Seperti disebut sebelumnya, psikologi lingkungan tergolong masih muda (1999). Dari asumsi di atas, jika mencari muasal munculnya lingkungan informasi dan komunikasi, boleh dibilang muasalnya dari psikologi lingkungan ini.

Lantas kemudian, jika diambil sebuah kongklusi sementara, penulis menyatakan bahwa lingkungan informasi dan komunikasi, merupakan suatu ilmu yang mempelajari terkait informasi, dari mulai prosesnya hingga ke tahapan mengkomunikasikannya. Dalam kasus pemilu gubernur dan cawagub, anggapan penulis bahwa desainer politik ataupun konseptor yang berada di balik proses kampanye pemenangan salah satu calon, tentu sudah bisa memetakan dan menafsir publik pemilihnya.   

Menurut Avin dalam tulisannya, yang memaparkan bahwa manusia seperti halnya Black-Box yang bisa dibentuk menjadi apa saja. Di sisi lain, penulis setuju dengan pernyataan ini sebab menusia bisa dibentuk apa saja tergantung proses,  bagaimana membentuknya, dan siapa yang membentuknya. Dari tafsiran ini, penulis membaca bahwa publik pemilih dalam pemilu cagub dan cawagub layaknya kotak hitam tadi. Mereka (publik) bisa digiring untuk memilih siapapun tergantung bagaimana proses pembentukannya berlangsung. Pencitraan, menciptakan kesan dengan blusukan yang kemudian dipublikasi di media, akan menciptakan persepsi publik tentunya.

Pada tahapan kampanye dengan pencitraan, pembentukan kesan publik dengan blusukan yang langsung dipublish di media, menjadi sebuah hypnotist method untuk meraup suara terbanyak dari publik. Dalam teorinya, yang dikenal dengan “Teori Level Adaptasi” semestinya dalam kampanye pemenangan salah satu calon, harus mengenal teori ini. Bagaimana kemudian stimulasi level yang optimal  bisa menciptakan pemilih yang optimal terhadap calon yang diusungnya.

Teori Level Adaptasi ini, merupakan teori yang menjelaskan bagaiamana stimulasi level yang rendah maupun level tinggi mempunyai akibat negative bagi perilaku. Level stimulasi yang optimal adalah yang mampu mencapai perilaku yang optimal pula (Veirtch & Arkkelin, 1995, dalam Avin, 1999;11).

Walaupun dalam teori media massa, kita mengenal teori uses and gratification yang berarti masyarakat (massa) sudah bisa menilai informasi yang baik dan yang tidak baik. Tapi sampai saat ini, pencitraan, penciptaan kesan positif melalui media massa masih cukup efektif diberlakukan oleh banyak orang, terkhusus cagub dan cawagub dalam pemilu.

Dengan kata lain, manusia ataupun publik bisa dibentuk menjadi apa saja tergantung bagaimana dan cara apa yang digunakan untuk membentuknya.  

Penutup
Tulisan sederhana ini, tidak akan bernilai apa-apa jika tidak mendapatkan respon melalui tanggapan-tanggapan dari berbagai pihak berupa kritik yang membangung. Untuk itulah, lingkungan informasi dan komunikasi tidak hanya menjadi sebuah formality grand theories ketika manusianya tidak ikut aktif dalam lingkungan tersebut.

Begitupun dari apa yang penulis coba kaji dengan studi kasusnya pemilu cagub dan cawagub, melalui sebuah teori yang dinamakan “Teori Adaptasi Lingkungan” kita bisa melakukan apa saja tergantung bermain di ranah dan di level mana komunikasi dan informasi yang terbangun. Lebih-lebih dalam pemilu, level yang optimal akan menghasilkan hasil yang optimal pula dan begitulah seterusnya.

Sebagai penutup, semoga tulisan ini bisa membuka cakrawala berpikir kita menjadi lebih berwarna dan berwawasan lagi. Terakhir, penerapan teori akan berdaya guna optimal ketika digunakan secara optimal pula. Terima kasih!

Rujukan:
Helmi, Avin Fadilla. 1999. Beberapa Teori Psikologi Lingkungan. Bulletin Psikologi:tahun VII, No. 2 Desember.


*Catatan: Tulisan ini dibuat oleh Saya (Abd. Qadir Jailani) dan Fitri Leona. Ditulis tahun 2013 lalu, untuk memenuhi tugas kuliah. Semoga Bermanfaat. 

Label:

Senin, 05 Mei 2014

PROFESI PUSTAKAWAN; ETIKA, MORAL DAN PROFESIONALISME DALAM MENGHADAPI TANTANGAN TERKINI

Pustakawan Fikom Library and Knowledge Centre Fakultas
Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran sedang melayani
Pemustaka (User)
Dari awal, perpustakaan selalu hadir di tengah-tengah kehidupan akademisi sebagai sebuah tools. Menyibak perpustakaan kekinian, justru lebih menarik ketimbang mempersoalkan perpustakaan konvensional yang selalu dipandang sebelah mata. Belakangan ini memang berkembang, perpustakaan-perpustakaan termodernisasi yang menganggap bisa lebih dekat dengan pemustaka atau usernya.


Kita bisa melihat, bagaimana Taman Baca Masyarakat atau yang biasa kita kenal dengan TBM bisa jadi lebih merakyat dan lebih dekat dibandingkan perpustakaan-perpustakaan pemerintah yang ada. TBM pada dasarnya transformasi dari perpustakaan, tetapi tidak mengubah fungsi dan tujuan dari perpustakaan itu sendiri. Bahkan, keberhasilan TBM ini dibuktikan oleh Sudut Baca Soreang (SBS) yang dipimpin langsung oleh Agus Munawar. Dan terbukti pada tahun yang lalu (2013), SBS menjadi TBM terbaik tingkat nasional.

Kaitannya TBM dengan perpustakaan, pada dasarnya sangat berkaitan erat, mengingat TBM sendiri menurut interpretasi penulis merupakan afiliasi dari sebuah perpustakaan yang ada. Barangkali, di sinilah peran pustakawan memainkan peranannya sesuai dengan kode etik yang berlaku pada sebuah institusi.

Peran Pustakawan
Belakangan ini, dengan maraknya perpustakaan dalam wujud yang bermacam-macam menuntut pustakawan baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional, untuk ikut serta memperhatikan, dan mengevaluasi bagaimana sebuah perpustakaan yang ideal. Perpustakaan, pada dasarnya memiliki tanggung jawab yang besar demi mewujudkan amanat pembukaan undang-undang dasar yaitu untuk mencerdaskan anak bangsa.

Sutarno NS (2005:46) dalam bukunya yang berjudul Tanggung Jawab Perpustakaan: Dalam Mengembangkan Masyarakat Informasi, memberi penjabaran bahwa bagaimana sebuah perpustakaan memilliki konsekuensi logis atas keberadaannya di tengah-tengah masyarakat. Sutarno juga melanjutkan bahwa masyarakat yang dimaksud merupakan kelompok atau segmen masyarakat yang telah dtetapkah dan diarahkan untuk menjadi pemakai perpustakaan.

Tentu menjadi jelas, ketika kita berbicara mengenai perpustakaan terkini akan selalu bersinggungan dengan kiprah pustakawan sebagai pengelola dari sebuah perpustakaan. Barangkali, jika merujuk terhadap sebuah buku yang diterbitkan oleh Pengurus Besar Ikatan Pustakawan Indonesia yang disusun oleh Harahap (1998:4), dijelaskan bahwa:
“Pustakawan seseorang yang berijazah dalam bidang perpustakaan, dokumentasi, dan informasi sekurang-kurangnya tingkat pendidikan professional dan atau berkualifikasi setingkat yang diakui oleh Ikatan Pustakawan Indoensia, dan berkarya dalam bidang perpustakaan, dokumentasi, dan informasi, sesuai dengan metodologi keimuan yang diperolehnya.”

Peranan dari pustakawan sendiri bisa dibilang cukup sentral, hal ini dikarenakan berkaitan dengan berhasil atau tidaknya tujuan dan fungsi dari perpustakaan itu sendiri. Dalam hal pelayanan misalnya, Rachmawan Herwaman dan Zulfikar Zen (2010:57-59) menjabarkan dalam hal pelayanan pustakawan cukup beragam dalam hal melayani pemustaka atau user. Seperti di perpustakaan sekolah, perguruan tinggi ataupun perpustaaan khusus.

Di perpustakaan sekolah, pustakawan di samping menjadi tugas utamanya juga berperan sebagai guru. Sedangkan di perpustakaan perguruan tinggi pustakawan juga berperan sebagai dosen di beberapa institusi tertentu. Bahkan di perpustakaan khusus, pustakawan juga dituntu untuk menjadi peneliti, ataupun paling tidak sebagai mitra dari peneliti tersebut.

Paling tidak menurut Hermawan dan Zen di atas, peran dari pustakawan bisa dibagi menjadi empat peranan. Pertama, edukator. Edikator yang dimaksud, pustakawan dalam tugasnya sebagai pustakawan harus berjiwa pendidik, tentunya harus sesuai dengan fungsi pendidikan itu sendiri yaitu mendidik, mengajar dan melatih.

Kedua, manajer. Secara  nyata pustakawan merupakan manajer dari sebuah informasi, pustakawan melakukan manajerial informasi sebelum dikonsumsi oleh pemustaka atau user. Peranan dan tanggung jawab dari seorang pustakawan adalah, bagaimana kualitas dan kelayakan sebuah informasi dalam sebuah lembaga informasi, dalam hal ini adalah perpustakaan.

Ketiga, administrator. Peran pustakawan sebagai administrator menganggap bahwa pustakawan harus mampu melakukan tugas-tugas administrator seperti mampu menyusun, melaksanakan, dan mengevaluasi program perpustakaan. Selain itu, pustawakan juga harus mampu melakukan analisis problem dan mampu menghasilkan solusi-solusi.

Keempat, supervisor. Pustakawan berperan sebagai supervisor paling tidak mampu melaksanakan pembinaan professional baik terhadap sesama pustakawan, ataupun terhadap pemustaka itu sendiri. Selain itu, dalam hal ini pula dituntut mampu untuk bisa meningkatkan prestasi, kemampuan, dan keterampilan, serta memiliki wawasan yang luas.

Kode Etik dan Etika Kepustakawanan
Berbicara mengenai kode etik, tidak terlepas dengan yang disebut etika, etika merupakan bagian ataupun cabang dari filsafat. Seringkali kita mendengar istilah etika, etik, etis, ataupun moral. K. Bertens (2011:3-4) dalam bukunya yang berjudul “Etika” memberikan penjabaran yang cukup luas terkait etika. Menurut Bertens, etika berasal dari bahasa Yunani kuno (etimologi) yaitu ethos. Artinya cukup beragam, tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang habitat; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, dan cara berpikir.

Sedangkan dalam bentuk jamak yaitu ta etha, yang berarti adat kebiasaan. Bertens menjabarkan bahwa dari bentuk jamak itulah yang melatar belakangi terbentuknya istilah “etika”. Istilah “etika” ini menurut Bertens sudah dipakai oleh Aristoteles (384-322 S.M) seorang filsuf Yunani yang tidak asing namanya.

Kaitannya dengan etika, Hermawan dan Zen (2010:75-76) juga memberi penjabaran menarik. Etika (ethics), mempunyati pengertian standar tingkah laku dan perilaku manusia yang baik, yaknti tindakan yang tepat, yang harus dilaksanakan oleh manusia yang sesuai ketentuan moral pada umumnya.”

Kemudian apa yang dimaksud dengan kode etik, Hermawan dan Zen (2010:80) juga memberi penjelasan daam halaman yang selanjutnya bahwa kode etik merupakan sejumlah aturan yang mengatakan bagaimana orang berperilaku dalam dalam hidupnya atau dalam situasi tertentu. Dalam kacamata penulis, kode etik merupakan suatu aturan yang mengikat terhadap seseorang baik dalam kehidupan keluarga, ataupun dalam kehidupan organisasi yang terus berkelanjutan. Ketika aturan-aturan ini dilanggar maka akan ada konsekuensi terhadap orang yang melakukan pelanggaran kode etik tersebut.

Cukup banyak ragam dari kode etik tersebut, mulai dari kode etik pustakawan, Pegawai Negeri Sipil (PNS), kode etik guru atau dosen, kode etik wartawan atau jurnalis, dan banyak lagi kode etik yang lainnya. Hal itu, bertujuan supaya apa yang menjadi tujuan dan tanggung jawab baik lembaga ataupun perseorangan bisa terealisasi dengan baik.

Kaitannya dengan etika kepustakawanan itu sendiri, sesuai dengan penjabaran mengenai etika tadi, boleh dibilang merupakan perilaku atau tingkah laku yang baik pustakawan yang dilakukan terhadap pola pelaksanaan tugas perihal kepustakawanan tersebut.

Setidaknya, dalam kode etik pustawakan Indonesia terdapat kewajiban-kewajiban yang tentunya mengikat para pustakawan untuk patuh dan tunduk terhadap kewajiban-kewajiban tadi. Hermawan dan Zen (2010:111-120) menulis bahwa ada lima kewajiban pustakawan yang harus dilaksanakan dengan baik. Namanya sebuah kewajiban, tentunya mengikat pustakawan untuk mengaplikasikannya dalam kehidupannya pada lingkup kinerja. Kewajiban-kewajiban itu meliputi, kewajiban kepada Bangsa dan Negara, kewajiban Kepada Masyarakat, kewajiban kepada Profesi, kewajiban kepada rekan sejawat, dan kewajiban kepada pribadinya.

Ketika kode etik ini berlangsung dengan baik dalam pelaksanaannya, terutama oleh pustakawan, tidak akan terdapat pelanggaran-pelanggaran terlebih dengan tanggung jawab yang diembannya. Bukan malah, aturan ataupun kode etik itu hanya sebagai formalitas saja untuk melengkapi berkas-berkas kelembagaan belaka.

Problema dan Tantangan Pustakawan
Perpustakaan lagi-lagi kembali harus kita perbincangkan, hal ini karena seringkali perpustakaan tidak hanya dijadikan sebagai batu sandaran sukses tidaknya sebuah pendidikan. Melainkan, seringkali pula perpustakaan dijadikan alat untuk melakukan pelanggaran, baik dalam hal keuangan, pelayanan, ataupun yang lainnya.

Beberapa waktu yang lalu, menurut laman yang dirilis kompas online (22 Agustus 2013), terjadinya kasus korupsi dalam proyek pengadaan dan instalasi perpustakaan UI tahun 2010-2011, yang menjerat Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Manusia, Keuangan, dan Administrasi Umum Universitas Indonesia Tafsir Nurchamid. Menjadi rekam jejak buruk bagaimana perpustakaan menjadi ladang basah untuk memperkaya diri sendiri (korupsi).

Kasus tindak korupsi di atas, merupakan tindakan eksploitasi yang dilakukan oleh personal. Tentu hal itu merupakan pelanggaran dan kejahatan berkaitan dengan perpustakaan. Terjadainya suatau kasus tertentu, dalam hal ini adalah korupsi tidak terlepas dari kelalaian yang dilakukan oleh pustakawan dalam pengelolaan perpustakaan. Bahkan boleh jadi, terjadinya pembiaran terhadap orang-orang yang melakukan eksploitasi terhadap perpustakaan.

Bahkan mungkin tidak hanya kasus itu saja, dalam proses pengadaan koleksi bahan pustaka rentan terjadinya kejahatan. Eksploitasi, manipulasi dan lainnya yang termasuk dalam kejahatan terkait perpustakaan seharusnya pustakawan mengambil peranannya sebagai edukator, manajer, administrator, dan supervisor sebaik mungkin. Upaya-upaya untuk meminimalisir pelanggaran dan kejahatan terkait dengan perpustakaan, adalah tanggung jawab dari pustakawan sebagai manajer khususnya.
Berkaitan dengan keuangan ataupun anggaran, seringkali bersinggungan dengan kejahatan terhadap keuangan dan anggaran. Apalagi Perpustakaan dalam sebuah institusi pemerintahan ataupun swastas. Terlebih lagi di perguruan tinggi, yang notabenenya anggaran perpustakaan terbilang besar.

Merujuk terhadap apa itu perpustakaan menurut Sulistyo Basuki (1991:3) dalam Pengantar Ilmu Perpustakaan bahwa:
Perpustakaan ialah sebuah ruangan, bagian sebuah gedung, ataupun gedung itu sendiri yang digunakan untuk menyimpan buku dan terbitan lainnya yang biasanya disimpan menurut tata susunan tertentu untuk digunakan pembaca, bukan untuk dijual. Dalam pengertian buku dan terbitan lainnya termasuk di dalamnya semua bahan cetak (buku, majalah, laporan, pamphlet, prosiding, manuskrip (naskah), lembaran music, berbagai karya media audio-visual seperti film, slaid (slide), kaset, piringan hitam, bentuk mikro seperti mikro film, mikrofis, dan mikroburam (microopaque).”     

Itulah perpustakaan, eksploitasi dan kejahatan masih saja selalu ada. Tidak memandang siapapun orangnya, jabatannya, ataupun agamanya. Sehingga, etika dan moral itulah yang bisa menentukan bagaimana kualitasi kinerja seseorang terhadap organisasi ataupun terhadap institusinya, bertanggung jawabkah atau tidak.

Pustakawan juga harus mampu dan bisa menyikapi sebuah anggapan yang mengatakan bahwa pustakawan, hanya menjadi salah satu dari sekian banyak professional di bidang informasi. Pergeseran fungsi pustakawan  tadi dipengaruhi olehh paradigma baru perpustakaan sebagai sebuah sistem informasi global yang telah membuat kemungkinan tersedianya saluran-saluran informasi dan pengetahuan. Sedangkan paradigma lama tentang perpustakaan adalah sebagai pemeihara utama sumber informasi dan pengetahuan (Suwarno,2009:66).

Pustakawan dituntut untuk mampu menjawab tantangan terkini terkait kepustakawanan. Sehingga peranannya tidak dipandang sebelah mata oleh pihak manapun.



DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Basuki, Sulistyo. 1991. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.      
Bertens, K. 1993. Etika.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Harahap, Basyral Hamidy. 1998. Kiprah Pustakawan: Seperempat Abad Ikatan Pustakawan Indonesia. Jakarta: Pengurus Besar Ikatan Pustakawan Indonesia.
Hermawan, Rachman, dan Zen, Zulfikar. 2010. Etika Pustakawan. Jakarta: Sagung Seto.
Suwarno, Wiji. 2009. Psikologi Perputakaan. Jakarta: Sagung Seto
NS, Sutarno. 2005. Tanggung Jawab Perpustakaan: Dalam Mengembangkan Mayarakat Informasi. Jakarta: Panta Rei.
Internet:

Label: ,

Senin, 08 Juli 2013

PEMAHAMAN ROLE DISTANCE-NYA GOFFMAN DALAM LINGKUNGAN SOSIAL-MASYARAKAT

http://nasional.news.viva.co.id/news/read/347133-sby--lingkungan-sosial-harus-ramah-untuk-anak
Pendahuluan
Terbentuknya sebuah masyarakat yang tengah kita jalani saat ini, tidak terlepas dari sebuah proses panjang yang dilalui nenek moyang kita terdahulu. Di mana dalam lipatan ilmu sejarah kita mengenal dua istilah, yaitu manusia pra sejarah dan manusia sejarah. Sebuah tatanan kemasyarakatan yang belum mengenal tulisan dalam kehidupan bersosialnya, itulah yang disebut sebagai manusia atau masyarakat pra-sejarah. Sedangkan manusia yang kehidupan sosialnya sudah bisa mengenal tulisan, maka manusia itu sudah disebut sebagai manusia sejarah (lihat:sejarah). 

Berbagai proses yang dijalani oleh nenek moyang kita terdahulu sehingga terbentuknya masyarakat seperti sekarang ini, merupakan bagian kecil yang berawal dari sebuah keinginan individu masing-masing untuk bersatu dengan individu lainnya. Dewi Wulansari (2009;44), menyatakan dalam bukunya Sosiologi (konsep dan teori) bahwa semenjak lahir manusia telah memiliki keinginan untuk menjadi satu dengan manusia yang lain di sekelilingnya, yaitu masyarakat dan keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya.

Dengan kata lain, sebuah fitrah manusia untuk hidup bermasyarakat. Manusia tidak bisa hidup sendirian, manusia membutuhkan individu-individu lainnya untuk hidup berdampingan, begitupun dengan lingkungan alam sekitarnya. Pada awal penciptaan manusiapun, Tuhan menciptakan Adam yang kemudian diciptakanlah Hawa untuk menemani Adam, karena Tuhan tahu Adam tidak bisa hidup sendirian. Kemudian berawal dari dua manusia inilah yang beranak-pinak dan terbentuklah masyarakat seperti sekarang ini.

Belum ada fakta yang menguak sebuah misteri kehidupan yang bisa dijalani hanya seorang diri, tanpa siapapun dan apapun untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Bahkan, dalam sebuah film “Cast Away” pun diceritakan ketika salah seorang dalam film tersebut terdampar dalam sebuah pulau sendirian, karena kecelakaan pesawat yang akhirnya menempatkannya di sebuah pulau terpencil hingga beberapa tahun. Dalam kondisi itupun, seorang tadi yang bernama Chuck akhirnya mencari solusi untuk berinteraksi dan berkomunikasi, sehingga dengan sebuah bola yang juga ikut terdampar, Chuck membentuknya layaknya sebuah kepala manusia. Sehingga dengan bola itulah Chuck berinteraksi dan berkomunikasi, selama bertahun-tahun.

Tidak ada yang bisa hidup tanpa berinteraksi dan berkomunikasi, begitupun kalau boleh penulis bilang, tidak ada yang bisa hidup tanpa masyarakat dan kehidupan sosial dan lingkungannya. Karena, kehidupan sosial-masyarakat adalah suatu keniscayaan hidup yang tidak bisa terlepas dari kehidupan seseorang. Dari itulah munculnya kelompok-kelompok sosial yang bermacam-macam, juga merupakan suatu keniscayaan terhadap tujuan untuk bisa bertahan hidup, baik dalam lingkup kelompok yang berskala kecil ataupun kelompok yang berskala besar. 

Jikalau Emile Durkehim, memberikan suatu gambaran bahwa pengelompokan manusia dalam satu kelompok atau masyarakat terjadi atas dasar organisatorik fungsional. Ferdinand Toennies-pun senada dengan apa yang digambarkan Emile Durkehim. Terjadinya pengelompokan dari segi organisatorik fungsional, terbagi menjadi dua bentuk. Pertama, bentuk mekanik (naluriah). Bentuk yang pertama ini, menyatakan bahwa terbentuknya suatu kelompok atau pengelompokan manusia ditentukan atas dasar ikatan geografik, biogenetik, dan keturunan lebih lanjut. Seperti halnya, manusia (individu) yang hidup dan berasal dari Papua, misalnya, tentunya ikatan emosionalnya akan terbangun karena Papua (geografik). 

Kedua, bentuk yang kedua ini merupakan pengelompokan yang didasarkan atas kesadaran manusia, dan dihasilkan dari keinginan yang rasional. Kita bisa lihat kelompok partai yang ada, ataupun kelompok ikatan mahasiswa, kesemuanya didasarkan atas dasar kesadaran dan keinginan individunya. Ferdinand Toennies mengistilahkan bentuk pertama dengan Geminschaft dan bentuk kedua dengan Gesellscaft .

Kaitannya dengan hal tersebut, proses sosial yang berlangsung akan membentuk sebuah tatanan dan struktur sosial. Menurut Kamanto Sunarto (2004:52), pembahasan mengenai struktur sosial akan mengenal dua konsep penting, yaitu status (status) dan peran (role). Pembahasan lebih lanjut akan dibaas dalam konten atau pembahasan dalam tulisan ini.

Layaknya sebuah pendahuluan, penulis ingin mencoba untuk memberikan sebuah gambaran awal bagaimana pola kehidupan sosial yang terbangun saat ini. Selain itu, tulisan ini bertujuan untuk melacak jarak peran (role distance) dalam kehidupan sisioal-masyarakat. Dalam pengelompokan suatu masyarakat, dan struktur sosial yang ada, bagaimana jarak peran (role distance) mengatur ritme sosial-masyarakat yang ada. Harapannya, tulisan ini bisa menemukan titik temu yang bisa menggambarkan bagaimana sebenarnya Goffman menggambarkan jarak peran (role distance) dalam kehidupan sosial-masyarakat.  

Rumusan Masalah              
Berdasarkan penyampaian penulis dalam pendahuluan di atas, penulis akan merumuskan beberapa permasalahan yang nantinya akan penulis coba melalui analisis sederhana dalam pembahasan berikutnya. Beberapa masalah tersebut, penulis simpulkan ke dalam dua bagian permasalahan, yaitu:
1) Bagaimana proses terbentuknya sebuah kelompok masyarakat dalam kehidupan sosial.
2) Bagaimana jarak peran (role distance) dalam proses kehidupan sosial-masyarakat pada sebuah status sosial tertentu.

Pembahasan Masalah
Dalam pendahuluan, penulis membahas sepintas terkait proses pengelompokan manusia dalam sebuah masyarakat. Melalaui Emile Durkehim dengan fungsional organisatoriknya, yang kemudian juga digambarkan oleh Ferdinand Toennies dengan istilah Geminschaft dan Gesellscaft. 

Gambaran masyarakat yang dipaparkan oleh Emile Durkehim dengan Ferdinand Toennies, pada dasarnya sama. Tonnies menggambarkan Geminschaft sebagai sebuah:
 “…bentuk kehidupan bersama dimana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alami srta kekal. Dengan hubungan yang didasarkan atas dasar rasa cinta dan rasa kesatuan batin yang kodrati yang ditemukan pada kehidupan keluarga, suku, dan kelompok kekerabatan, rukun tetangga dan sebagainya”.  

Sama halnya dengan fungsional organisatoriknya Emile Durkehim yang pertama, bentuk mekanik (naluriah). Sedangkan Gesellscaft, Tonies menggambarkan sebagai suatu: 
“…kelompok pergaulan hidup yang terbentuk disebabkan oleh kehendak atau keinginan dari anggota kelompok sendiri atau pimpinan anggota kelompok untuk mencapai tujuan tertentu seperti perkumpulan, perusahaan/badan hukum, partai politik, yayasan, lembaga pendidikan dan sebagainya”.   

Begitupun dengan bentuk yang kedua yang dipaparkan dalam fungsional organisatoriknya Emile Durkehim, yang menyatakan bahwa suatu kelompok dibangun atas dasar kesadaran dan hasil keinginan yang rasional. 

Senada dengan hal itu, baik fungsional organisatoriknya Emile Durkehim ataupun Geminschaft dan Gesellscaft-nya Ferdinand Toennies, dengan terbentuknya sebuah sosial-masyarakat tentunya akan melahirkan sebuah struktur sosial yang menjadi unsur-unsur pokok dalam masyarakat, begitulah Dewi Wulansari menuturkan dalam bukunya (2009:43).

Seperti yang penulis sampaikan dalam pendahuluan, membahas mengenai struktur sosial, kita akan dipertemukan ke dalam dua hal penting di dalmnya, yaitu: status (status) dan peran (role). Dalam bukunya, Kamanto Sunarto (2004: 52-53) meminjam deskripsi yang dipaparkan oleh Ralph Linton terkait status dan peran. Dinyatakan bahwa, seseorang yang menjalankan sebuah peran manakala ia menjanlakan hak dan kewajiban yang merupakan statusnya. 

Sunarto melanjutkan, dengan percontohan status dosen yang terdiri atas sekumpulan kewajiban tertentu seperti kewajiban mendidik mahasiswa, melakukan penelitian ilmiah, dan melakukan pengabdian pada masyarakat. Sedangkan peran seorang dosen mengacu pada bagaimana seseorang yang berstatus sebagai dosen menjalankan hak dan kewajibannya seberti mengajar, membimbing, dan mengevaluasi. 

Dari beberapa percontohan tersebut, penulis kemudian dapat mengambil kesimpulan awal bahwa ternyata dari proses awal pembentukan suatu kelompok masyarakat, tidak selamanya memiliki status dan peran yang sama rata. Melainkan, dalam status sosial ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah status sosialnya. Dengan itulah kemudian, Eving Goffman memberikan sebuah gambaran status sosial yang dikemas dalam konsep Jarak Peran (role distance). 

Mengenai jarak peran (role distance), Eving Goffman (1961:73-100) dalam bukunya Encounters: two studies in the sociology of interaction membuat sebuah pemaparan yang cukup kompleks. Pemaparannya dimulai dengan menjelaskan bagaimana konsep peran (role concept) yang di dalamnya terdapat sebuah pembahasan status (status) dan peran (role). Goffman menulis bahwa:
“A status is a position in some system or pattern of positions and is related to the other positions in the unit through reciprocal ties, through rights and duties binding on the incumbents.  Role consists of the activity the incumbent would engage in were he to act solely in terms of the normative demands upon someone in his position.  Role in this normative sense is to be distinguished from role performance or role enactment, which is the actual conduct of a particular individual while on duty in his position (Goffman, 1961: 75).”

Digambarkan, bahwa status merupakan sebuah posisi di dalam beberapa sistem ataupun pola posisi yang memiliki hubungan timbal balik dalam suatu unit tertentu, dan saling memiliki hak dan kewajiban yang mengikat dalam suatu jabatan. Sedangkan peran sendiri terdiri dari berbagai kegiatan-kegiatan yang mengikat yang dilakukan ataupun dikerjakan hanya sebatas tuntutan normatif saja. Goffman meneruskan penjelasannya mengenai peran (role) dalam pengertian normatif, menurutnya harus dibedakan antara  kinerja peran (role performance) dan pemberlakuan peran (role enactment) dari seorang individu saat bertugas dalam posisinya (terj. penulis).

Antara status dan peran sebenarnya menjadi satu tubuh yang tidak terpisahkan satu sama lain, tetapi kadang kala keduanya dipisahkan karena satu paham dan bisa jadi ada tujuan tertentu di dalamnya. Penggambaran ini, oleh Goffman dianalogikan pada sebuah peran dalam sebuah pertunjukan tertentu. Digambarkan pula bagaimana status dan peran seorang dokter saling menyesuaikan dengan pasien, dan berbagai hal yang berkaitan di dalamnya.   

Tidak jauh berbeda pemahaman antara Ralph Linton dan Eving Goffman, yang sama-sama menggambarkan tentang status (status) dan peran (role). Hanya saja perbedaannya, terletak dalam pemberian contoh status dan peran Dosen yang disampaikan Linton, dan contoh yang diberikan Goffman dalam bukunya (1961:75-76) adalah seorang Dokter, Pasien, Administrator Rumah Sakit, dan lainnya. Walaupun di dalam beberapa pembahasan terkait status dan peran, Goffman lebih memberikan sebuah deskripsi bahwa, seorang performers bisa menampilkan hal-hal yang di luar jangkauan orang-orang sekitarnya. 

Dari itulah, Goffman menyampaikan bahwa dalam pemberlakuan peranan (role enactments) individu harus disesuaikan dengan audiennya. Bagaimana status dan peran seorang dokter juga harus menyesuaikan dengan audiennya, yaitu pasien dan seterusnya. Kaitannya dengan jarak peran (role distance) Goffman membuat sebuah pengujian terhadap seseorang yang berbeda usia yang berperan sebagai pengendara dalam komedi putar (kuda).

Pada usia dua tahun, mereka akan merasa takut untuk mengendarai komedi putar (kuda). Dalam usia ini, mereka akan merasa khawatir, panik bahkan takut ketika mengendarinya sehingga ingin sesegera mungkin menyelesaikan permainan ini.  Dalam usia tiga dan empat tahun, mereka mencoba mengendarai komedi putar ini dengan ditemani oleh orang tuanya. Jarak peran (role distance) yang dibangun dalam permainan ini Goffman memperkirakannya, semakin bertambahnya usia maka semakin berbeda jarak peran (role distance) yang ditampilkan oleh seorang individu.

Ketika sudah berusia tujuh atau delapan tahun, dengan keberanian yang sudah bertambah dan keinginan untuk menunjukkan jarak peran (role distance) maka dalam permainannya mereka akan mencoba menampilkan dan bermain dengan melepaskan tangan mereka ketika bermain. Sehingga, ketika sudah berusia sebelas atau dua belas tahun, mereka sudah menjadikan permainan kuda (real) dalam sebuah pacuan kuda sebagai permainan mereka. Tetapi, ketika sudah dewasa, mereka mencoba untuk menunjukkan hal-hal yang berbeda dengan sebelumnya.

Untuk menunjukkan jarak peran (role distance) ketika dewasa, mereka sudah mengenal yang namanya perasaan cinta terhadap lain jenisnya. Sehingga, mereka mencoba untuk bermain kuda dengan pasangannya seromantis mungkin. Hal ini dilakukan untuk membawa sentimen, tidak berani, dan bahkan kurang percaya diri supaya bisa menguasai situasi seperti ini.   

Lantas dalam jarak peran (role distance) ini, Goffman kemudian memberikan sebuah definisi bahwa sebenarnya ada perbedaan antara peran dan individu yang memainkan peranan di dalam sebuah aktifitas (efektif). Bagaimana kemudian seorang individu memainkan peranannya ketika berposisi sebagai pemain (komedi putar;kuda). Lebih jelasnya dalam lingkungan sosial, orang yang berstatus sosial lebih tinggi dibanding orang lain, akan cenderung menunjukkan dan membangun jarak sosialnya dengan orang lain yang memiliki status sosial lebih rendah darinya. 

Sedangkan, yang berstatus lebih rendah akan cenderung lebih bertahan dalam proses menunjukkan jarak peran yang dimilikinya dalam lingkungan sosial. Muncullah istilah Goffman yang disebut sebagai garis pemisah antara apa yang seharusnya dilakukan seseoarang (identitas sosial virtual) dengan apa yang sebenarnya dilakukan seseorang (identitas sosial aktual). Yang oleh Chabib Musthofa hal itu akan menyebabkan terjadinya discreditable stigma atau stigma yang perbedaannya tidak dirasakan oleh penonton.  

Goffman kemudian memberikan suatu cara untuk membangun sebuah jarak peran (role distance) dalam lingkungan sosial. Yaitu, pertama, dengan cara mengisolasi diri sendiri supaya bisa menguasai situasi yang sedang diajalaninya. Kedua, mencoba untuk memproyeksikan dirinya kekanak-kanakan.  Seperti yang Goffman (1961:97):
“…two means of establishing role distance seem to be found. In one case the individual tries to isolate himself as much as possible from the contamination for the situation, as when an adult ridding along to guard his child makes an effort to be completely stiff, affectless, and preoccupied. In the other case the individual cooperatively projects a childish self, meeting the situation more than half way, but then withdraws from this castoff self by a little gesture signifying that the joking has gone far enough.”   

Di sisi lain, jarak peran (role distance) memang harus dibangun atas dasar apa menjadi tanggung jawab dalam situasi atau keadaan tertentu. Dengan demikian, antara status dan peran bisa menjadi satu kesepadanan paham yang bisa terbangun dalam struktur sosial apapun. Baik dalam kehidupan sosial di lingkungan akademisi, seperti mahasiswa, dosen, pegawai, bahkan dalam jabatan apapun di lingkungan akademisi.

Kesimpulan Goffman (1961:97-98) setelah melakukan percobaan dengan membedakan antara commitment, attachment embracement. Dinyatakan bahwa dalam istilah-istilah sosiologis istilah dalam suatu tatanan bisa jadi berbeda dari keterlibatannya. Proses psikologis antara kucing dan anjing menampilkan hal-hal yang lebih indah dibandingkan dengan manusia. Akhirnya, jarak peran diperkanalkan untuk  merujuk terhadap tindakan yang secara efektif menyampaikan beberapa detasemen yang agaknya merehkan pelaku dari perdan yang dilakukannya.

Begitupun dalam lingkungan sosial yang seharusnya terbangun, adalah meletakkan posisi jarak perannya terhadap status sosial pada lingkungannya. Sehingga, tidak akan memunculkan pertanyaan “status saya apa, peran saya apa” dan semacamnya. Ketika pemahaman jarak peran (role distance) yang dibangun oleh Eving Goffman ini, dijadikan rujukan dalam menjalankan kehidupan sosialnya. 

Melalui identitas sosial virtual dan identitas sosial aktual inilah, jarak peran (role distance) bisa memainkan peranannya dalam lingkungan sosial dan status sosial yang terbangun. Kendatipun tidak menutup kemungkinan, pelaksanaannya terkadang masih menjadi kendala dan yang terjadi adalah pengambilan peran yang salah walaupun statusnya jelas.  

Penutup
Akhirnya, akan menjadi sebuah acuan pemahaman ketika status dan peran menjadi sebuah makna yang komprehensif dalam diri pemahaman seorang individu. Baik Ralph Linton ataupun Eving Goffman, keduanya berusaha untuk menampilkan sebuah ide dan gagasan untuk mencapai sebuah pemahaman terkait peranan individu dalam kehidupan sosial.

Tidak menjadi persoalan apapun yang diambil sebagai rujukan nantinya, yang jelas muatan pemahaman seorang individu akan menjadi nyata ketika pelaksanaannya sesuai dengan apa yang dipahaminya. Status sosial sebagai seorang dosen, mahasiswa, atau pegawai sekalipun, kesemuanya memiliki peranannya masing-masing yang saling berkaitan.

Sebagai penutup, penulis ingin menyampaikan bahwa tulisan ini tidak akan berarti apa-apa ketika tulisan ini tidak mendapatkan tanggapan apa-apa. Penulis, mengharap supaya ada kritik yang membangun demi perbaikan tulisan ini ke depannya. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam tulisan ini baik analisis, dan lainnya. Mohon maaf apabila banyak kekurangan dan kekeliruan, dan terima kasih penulis sampaikan bagi yang telah ikut serta membantu dalam penyelesaian tulisan ini.     
DAFTAR PUSTAKA
Goffman, Erving. 1961.  Encounters: two Studies in the Sociology of Interaction. England: Penguin University Books.
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi (edisi revisi). Jakarta: Lembaga Pnerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Wulansari, Dewi. 2009. Sosiologi (Konsep dan Teori). Bandung: PT Refika Aditama.



Label:

Senin, 05 November 2012

KONSEP PERPUSTAKAAN DI ERA MILENIUM KETIGA

Pustakawan Di Fikom Library and Knowledge Centre (FLKC) sedang melayani pemustaka
Dunia membaca sudah mulai mengakar di berbagai belahan dunia semenjak berabad-abad yang lalu, fenomena ini dilatar belakangi hausnya informasi yang menjerat diri seorang pembaca (reader), sehingga ia harus membaca supaya kehausan terhadap informasi bisa terpenuhi dengan aktifitas membaca. Bukti sejarah mengenai peradaban masa lalu, telah menjadi titik temu tentang sebuah realitas dari aktifitas membaca di masa lalu. Penemuan sebuah prasasti bersejarah di Indonesia yang diyakini oleh para sejarawan berasal dari abad ke-5 masehi, yang kemudian dikenal sebagai prasasti yupa, menjadi bukti yang cukup autentik betapa peradaban Indonesia di masa lalu telah berkembang pesat.[1]
Bukti sejarah di atas sebagai contoh konkrit betapa peradaban di Asia, khususnya di Indonesia telah berkembang pesat pada waktu itu. Aktifitas menulis pada sebuah prasasti, tidak akan terjadi jika aktifitas membaca tidak pernah terjadi sebelumnya. Jadi, aktifitas dan kegiatan membaca sebetulnya sudah terjadi semenjak berabad-abad yang lalu berdasarkan bukti sejarah tadi.
Read More »

Label:

Jumat, 15 Juni 2012

KOMUNIKASI INTERPERSONAL DIANTARA INDIVIDU BERBEDA BUDAYA (INTERCULTURAL COMMUNICATION)



A. Pendahuluan
Melakukan sebuah komunikasi yang baik dengan orang lain, pada dasarnya adalah harapan setiap orang. Setiap orang meyakini bahwa komunikasi yang  baik, yang dibangun oleh setiap orang  akan menjadikan hubungan diantara pelaku komunikasi tersebut akan terjalin dengan baik pula. Dalam komunikasi sebenarnya tidak hanya pesan yang ingin disampaikan, kepada si penerima pesan, begitupun dalam kadar hubungna komunikasi interpersonal, yang menentukan bukan hanya “content” tetapi, “relationship” juga menentukan dalam komunikasi. Walaupun kadar hubungan interpersonal yang terjalin di dalamnya berbeda. 
  Komunikasi interpersonal sebagai bagian dalam lingkup komunikasi (system) tidak hanya menjadi pandangan manusia dalam menyikapi komunikasi. Keberadaan komunikasi interpersonal selalu saja menjadi urgen, karena kita sebagai manasia selalu dan selalu melakukan kegiatan dan aktifitas komunikasi interpersonal tersebut. Meskipun terkadang kita tidak menyadari hal tersebut. 

Read More »

Label: ,

Rabu, 26 Oktober 2011

SEJARAH HURUF; PERKEMBANGAN PERADABAN MANUSIA DAN “MADURESE CULTURE”

Prolog
            Memperbincangkan mengenai sejarah, langkah awal yang semestinya harus dilakukan adalah mencari sumber sejarah yang menjadi objek penulisan. Sejarah perkembangan manusia tidak bisa dikaji hanya dengan menggunakan rasio belaka, melainkan perbincangan sejarah harus dilatar belakangi dengan data yang mumpuni untuk membuktikan kebenaran sejarah tersebut.
            Dalam berbagai referensi, sejarah perkembangan peradaban manusia terbagi menjadi dua bagian, yaitu, manusia pra-sejarah dan manusia sejarah. Manusia prasejarah, diartikan sebagai masa yang berkembang dalam ranah kehidupan manusia, di mana manusia yang hidup pada masa itu belum mengenal tulisan. Sedangkan manusia sejarah adalah manusia yang hidup setelah manusia pra-sejarah, yaitu manusia yang telah mengenal tulisan.
            Kesenjangan sejarah akan terjadi ketika bukti sejarah, peninggalan sejarah dan data sejarah tersebut tidak bisa membuktikan kebenaran sejarah (reality history) yang terjadi. Untuk itulah, peradaban manusia yang sampai pada kita saat ini merupakan sebuah proses panjang yang tak lepas dari bukti sejarah yang ada.

Read More »

Label: