Selasa, 24 Juni 2014

PEMBENTUKAN KESAN POSITIF DALAM PEMILU MELALUI PENERAPAN PSIKOLOGI LINGKUNGAN (Lingkungan informasi dan Komunikasi)


Pendahuluan
Belakangan ini, pesta demokrasi tengah marak di Negara kita Indonesia. Pemilihan gubernur tergelar di berbagai tempat, februari yang lalu Jawa Barat menggelar pesta demokrasinya. Beberapa waktu yang lalu, Jawa Tengah dan Bali telah melaksanakan pemilihan umum (pemilu) gubernurnya, dan sebentar lagi Sumatera Selatan juga akan menggelar pemilu. Perhelatan akbar yang digelar dan dikemas dalam bentuk pemilu merupakan bagian dari sebuah paham demokrasi dalam suatu Negara, khususnya Indonesia.

Kaitannya dengan pemilu, desain politik yang dibangun oleh cagub atau cawagub telah membentuk persepsi publik terhadap mereka. Berbagai pencitraan positif dibangun untuk meraup suara terbanyak, memberikan kesan positif terhadap publikpun terjadi setiap waktu. Baik melalui media, atau terjun langsusng (blusukan) seperti yang dilakukan Joko Widodo, gubernur DKI Jakarta sekarang dari fraksi PDI-P di kala kampanyenya.

Baik itu cagub ataupun cawagub dalam proses pencalonannya, ketergantungan terhadap media sangat tampak. Di mana mereka mengiklankan pencalonannya di berbagai media, baik media cetak ataupun media elektronik lainnya. Kita bisa lihat, betapa lingkungan informasi dan keomunikasi (politik) tengah dibangun dengan tujuan untuk meraup suara terbanyak dalam pemilu.

Dalam konteks lingkungan informasi dan komunikasi yang dibangun oleh para cagub atau cawagub, khususnya pada media elektronik. Tentunya publik yang kesehariannya tidak terlepas mengikuti perkembangan informasi melalui media elektronik, perlahan akan mulai terhipnotis dengan desain politik tersebut. Pencitraan, blusukan dan membentuk kesan positif untuk publik menjadi senjata ampuh dalam liputan media.

Proses pembentukan kesan positif publik terhadap mereka yang mencalonkan diri menjadi cagub dan cawagub, menurut penulis diawali dengan sebuah pemahaman dalam teori psikologi lingkungan seperti yang ditulis Avin Fadilla Helmi (1999; 1), dalam buletin psikologi, berjudul Beberapa Teori psikologi Llingkungan bahwa manusia, dalam hal ini publik dianggap sebagai sebuah black-box yaitu kotak hitam yang siap dibentuk menjadi apa saja.

Dari itulah, pada tulisan ini penulis ingin mencoba membuat sebuah analisis sederhana terkait pemilu begitupun dengan lingkungan informasi dan komunikasi yang terbentuk di dalamnya. Dengan berbagai kasus yang terjadi, tidak hanya money politic atau politik uang yang terjadi, tetapi asumsi penulis banyak publik yang mulai terhipnotis dengan desain politik yang dibangun sedemikian rupa. Sehingga pada suatu waktu, publik memilih dan pada akhirnya merasa kecewa dengan pilihannya sendiri terhadap cagub dan cawagub yang dipilihnya.

Harapannya, tulisan ini bisa menjadi rujukan baru terhadap tulisan terkait komunikasi politik, informasi, dan semacamnya yang berkaitan dengan psikologi lingkungan, dan atau pun lingkungan informasi dan komunikasi.  
Permasalahan
Merujuk terhadap latar pendahluan di atas, penulis ingin menyimpulkan beberapa masalah terkait Lingkungan Informasi dan Komunikasi dalam pemilu, yang nantinya akan penulis coba untuk mencari penyelesaiannya. Beberapa masalah tersebut meliputi: 
1)   Apa yang dimaksud dengan Lingkungan Informasi dan Komunikasi, terkhusus dalam kaitan pemilu dalam desain politik.
2)   Bagaimana sebetulnya karakteristik dan tafsiran terhadap manusia (publik) dalam kajian psikologi lingkungan (informasi dan komunikasi).
3)   Benarkah manusia (publik) bisa dibentuk menjadi pribadi apa saja?

Pembahasan
Rujukan tunggal yang penulis ambil dalam pembahasan ini, adalah tulisan Avin Fadilla Helmi seperti yang tertulis dalam kata pendahuluan di atas. Dalam teorinya, manusia dianggap sebagai Black-Box atau kotak hitam yang bisa apa saja. Teori ini, digunakan dalam psikologi lingkungan untuk memahami terkait manusia.

Kajian yang dilakukan oleh Avin dalam tulisannya, dinyatakan bahwa Psikologi Lingkungan merupakan bagian dari psikologi, yang merupakan cabang dari psikologi yang masih muda. Pernyataan ini ditulis sekitar empat belas tahun yang lalu (1999), hingga saat ini kajian ini terus dilakukan khususnya oleh para akademisi. Begitupun dengan penulis saat ini, mencoba mencari sebuah pembenaran terkait dengan psikologi lingkungan, yang berkaitan dengan terbentuknya sebuah persepsi public melalui lingkungan yang lingkungan yang sengaja dibentuk dan dikemas (baca:desan politik).

Dari beberapa permasalahan yang tersebut di atas, pada awalnya menurut asumsi penulis munculnya lingkungan informasi dan komunikasi diawali dengan munculnya Psikologi Lingkungan dalam cabang psikologi. Avin dalam pengantar tulisannya menulis tentang tradisi yang ada dalam psikologi.  Menurutnya, teori psikologi berorientasi untuk menjelaskan dan memprediksi perilaku manusia. Adapun tradisi-tradisi yang ada dalam Psikologi, yaitu ada sebuah perilakuk yang disebabkan oleh faktor dari dalam (deterministik), ada juga perilaku yang disebabkan oleh faktor lingkungan atau proses belajar, dan yang terakhir dari tradisi-tradisi dalam psikologi bahwa perilaku disebabkan oleh interaksi manusia-lingkunga.

Mengenai psikologi lingkungan, Avin menyebutnya sebagai suatu ilmu perilaku yang berkaitan dengan lingkungan fisik. Seperti disebut sebelumnya, psikologi lingkungan tergolong masih muda (1999). Dari asumsi di atas, jika mencari muasal munculnya lingkungan informasi dan komunikasi, boleh dibilang muasalnya dari psikologi lingkungan ini.

Lantas kemudian, jika diambil sebuah kongklusi sementara, penulis menyatakan bahwa lingkungan informasi dan komunikasi, merupakan suatu ilmu yang mempelajari terkait informasi, dari mulai prosesnya hingga ke tahapan mengkomunikasikannya. Dalam kasus pemilu gubernur dan cawagub, anggapan penulis bahwa desainer politik ataupun konseptor yang berada di balik proses kampanye pemenangan salah satu calon, tentu sudah bisa memetakan dan menafsir publik pemilihnya.   

Menurut Avin dalam tulisannya, yang memaparkan bahwa manusia seperti halnya Black-Box yang bisa dibentuk menjadi apa saja. Di sisi lain, penulis setuju dengan pernyataan ini sebab menusia bisa dibentuk apa saja tergantung proses,  bagaimana membentuknya, dan siapa yang membentuknya. Dari tafsiran ini, penulis membaca bahwa publik pemilih dalam pemilu cagub dan cawagub layaknya kotak hitam tadi. Mereka (publik) bisa digiring untuk memilih siapapun tergantung bagaimana proses pembentukannya berlangsung. Pencitraan, menciptakan kesan dengan blusukan yang kemudian dipublikasi di media, akan menciptakan persepsi publik tentunya.

Pada tahapan kampanye dengan pencitraan, pembentukan kesan publik dengan blusukan yang langsung dipublish di media, menjadi sebuah hypnotist method untuk meraup suara terbanyak dari publik. Dalam teorinya, yang dikenal dengan “Teori Level Adaptasi” semestinya dalam kampanye pemenangan salah satu calon, harus mengenal teori ini. Bagaimana kemudian stimulasi level yang optimal  bisa menciptakan pemilih yang optimal terhadap calon yang diusungnya.

Teori Level Adaptasi ini, merupakan teori yang menjelaskan bagaiamana stimulasi level yang rendah maupun level tinggi mempunyai akibat negative bagi perilaku. Level stimulasi yang optimal adalah yang mampu mencapai perilaku yang optimal pula (Veirtch & Arkkelin, 1995, dalam Avin, 1999;11).

Walaupun dalam teori media massa, kita mengenal teori uses and gratification yang berarti masyarakat (massa) sudah bisa menilai informasi yang baik dan yang tidak baik. Tapi sampai saat ini, pencitraan, penciptaan kesan positif melalui media massa masih cukup efektif diberlakukan oleh banyak orang, terkhusus cagub dan cawagub dalam pemilu.

Dengan kata lain, manusia ataupun publik bisa dibentuk menjadi apa saja tergantung bagaimana dan cara apa yang digunakan untuk membentuknya.  

Penutup
Tulisan sederhana ini, tidak akan bernilai apa-apa jika tidak mendapatkan respon melalui tanggapan-tanggapan dari berbagai pihak berupa kritik yang membangung. Untuk itulah, lingkungan informasi dan komunikasi tidak hanya menjadi sebuah formality grand theories ketika manusianya tidak ikut aktif dalam lingkungan tersebut.

Begitupun dari apa yang penulis coba kaji dengan studi kasusnya pemilu cagub dan cawagub, melalui sebuah teori yang dinamakan “Teori Adaptasi Lingkungan” kita bisa melakukan apa saja tergantung bermain di ranah dan di level mana komunikasi dan informasi yang terbangun. Lebih-lebih dalam pemilu, level yang optimal akan menghasilkan hasil yang optimal pula dan begitulah seterusnya.

Sebagai penutup, semoga tulisan ini bisa membuka cakrawala berpikir kita menjadi lebih berwarna dan berwawasan lagi. Terakhir, penerapan teori akan berdaya guna optimal ketika digunakan secara optimal pula. Terima kasih!

Rujukan:
Helmi, Avin Fadilla. 1999. Beberapa Teori Psikologi Lingkungan. Bulletin Psikologi:tahun VII, No. 2 Desember.


*Catatan: Tulisan ini dibuat oleh Saya (Abd. Qadir Jailani) dan Fitri Leona. Ditulis tahun 2013 lalu, untuk memenuhi tugas kuliah. Semoga Bermanfaat. 

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda