ISLAM SEBAGAI SEBUAH SPIRIT DALAM TRANFORMASI PARADIGMA DEMOKRASI (Studi Tentang Sprit Islam dalam mentranformasi Nilai-Nilai dan Paradigma Demokrasi Terkini)
I. Pendahuluan
Secara mendasar
Islam hadir ke permukaan bumi ini, sebagai sebuah proses pencapaian terhadap akar
ideologisnya, yaitu sebagai Rahmatan Lil ‘alamien. Sejarah telah
mencatat bahwa Islam telah banyak merubah tatanan dan pola kehidupan manusia,
hingga saat ini. Semenjak awal, Islam yang dibawa oleh Muhammad Ibnu ‘Abdillah,
telah membuktikan keberhasilannya, baik dalam pendidikan, ekonomi, pun dalam dinamika
politik (Lihat: Tarikh al-Islam).
Sebagai sebuah tolak ukur keberhasilannya, di berbagai belahan
dunia terdapat umat Islam, yang meyakini bahwa hanya Islamlah nantinya yang
akan membawa mereka ke dalam kebahagiaan sejati. Apapun yang terjadi nantinya,
mereka telah meyakini walaupun dengan berbagai konsekuensi yang ada, terhadap
apa yang mereka yakini itu benar.
Dalam keberagaman memilih kepercayaan (dien;agama) khususnya
di Indonesia, Islam menduduki peringkat teratas penduduk Indonesia yang memilih
kepercayaan mereka terhadap Islam. Hal ini mengindikasikan bahwa keberhasilan
Islam dalam membangun tatanan kehidupan yang islami, dan sesuai dengan aturan
yang telah ditetapkan (al-Qur’an dan al-Hadits) masih menggema di
negeri ini.
Aturan-aturan islami yang berlaku tentunya melekat erat dengan
individu pemeluknya. Dengan mendominasinya Islam sebagai kepercayaan yang
diyakini penduduk negeri ini, cara pandang hidup merekapun akan lebih tercermin
islami. Islam mendominasi dibanding aturan-aturan kepercayaan (dien;agama)
lainnya. Hal tersebut, juga tercermin dalam paham demokorasi sebagai landasan
kenegaraan kita Indonesia, setelah reformasi 1998 lalu (Munir Fuady, 2010:26).
Walaupun memang beberapa buku yang menjelaskan mengenai Demokrasi,
seperi Konsep Negara Demokrasi, yang ditulis Munir Fuady, sekaligus
sebagai rujukan utama pada makalah ini, menafsirkan bahwa para pemimpin bangsa
khususnya di Indonesia, seperti Soekarno dan Soeharto pada dasarnya telah
melaksanakan konsep demokrasi tadi. Kendatipun pada hakekatnya mereka berdua
antidemokrasi. Meminjam istilah Munir Fuady mengenai demokrasi, sebetulnya
demokrasi mempunyai wajah buram, sebab demokrasi bukanlah masalah hitam atau
putih yang jelas, dan bukan pula dalam hitungan angka-angka dengan menggunakan
rumus matematis. Sehingga, dengan buramnya wajah demokrasi tadi, Munir Fuady,
mengatakan bahwa demokrasi memiliki seirbu wajah (Munir Fuady, 2010:10).
Dengan seribu wajah yang ada pada tubuh demokrasi, menjadi sulit
untuk ditebak bahwa pola kepemimpinan pada suatu pemerintahan menganut paham
demokrasi apa tidak. Hanya saja, yang menjadi kata kunci dasar pada demokrasi
tersebut bagi penulis, tentunya tidak terlepas dari asas dasar demokrasi
tersebut (democracy; rakyat dan pemerintahan).
Peta perpolitikan di Indonesia, yang notabenenya demokrasi dan
politik merupakan sekawanan yang selalu terikat, atau bahkan demokrasi
merupakan sepupunya politik menurut Munir Fuady. Hal tersebut tentunya, menurut
tafsiran Munir Fuady, bahwa demokrasi dan politik bisa jadi “malaikat”, tetapi
di sisi lain juga bisa jadi “setan” (Munir Fuady, 2010:11). Di sinilah,
kemudian Islam memasukkan paham ideologisnya sebagai rahmatan lil ‘’alamien,
sebagai pengontrol untuk mencapai sebuah pemerintahan yang adil dan makmur.
Bahkan tidak hanya karena Islam menjadi salah satu kepercayaan yang mendominasi
di Indonesia, tetapi lebih kepada historikalnya, bahwa Islam punya peranan
penting terhadap berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini (Asep
Saeful Muhtadi, 2008:89).
Untuk membaca peta Islam dan Demokrasi, penulis tidak akan membahas
Islam dari sisi ajarannya. Melainkan, Islam akan lebih diposisikan sebagai
sebuah spirit (Rahmatan lil ‘alamien), sedangkan demokrasi akan lebih
ditafsirkan sebagai sebuah tatanan nilai nantinya. Ketika, Islam dibaca sebagai
sebuah ajaran, sedangkan demokrasi dibaca sebagai sebuah tatanan nilai, maka
tidak akan terdapat korelasi nantinya. Begitupun ketika demokrasi dibaca
sebagai sebuah bentuk, dan wujud, sedangkan Islam dibaca spirit, tentu akan
mendapat kebuntuan nantinya. Tetapi, ketika Islam dibaca sebagai sebuah spirit
(Rahmatan Lil ‘Alamien) tentu ada korelasi yang berkaitan antara
keduanya.
Adapun yang menjadi tumpuan permasalahan di sini terletak pada,
sudahkah Islam dan Demokrasi benar-benar menjadi satu pemahaman majemuk tentang
sebuah sistem kenegaraan? Di samping itu juga, wacana politik Islam, menjadi
bagian penting dalam kajian pada tulisan ini. Dengan harapan, nantinya bisa
menemukan titik temu antara demokrasi dan islam, dalam sebuah sistem
pemerintahan di Indonesia.
II. Pembahasan; Sejarah Demokrasi Klasik dan Modern
Pembahasan ataupun
wacana yang tidak henti-hentinya menjadi topik menarik untuk dikaji adalah mengenai demokrasi, politik,
dan tebtybta Islam. Banyak yang mengkaji dan mengkritisi bahwa antara Islam,
demokrasi, dan ataupun politik tidak bisa disatukan. Hal itu justru melanggar
kodrati absolut, mengenai Islam yang merupakan ajaran dari langit, sedangkan
demokrasi dan politik lahir di bumi.
Tidak sedikit pula, yang menyatakan bahwa Islam sebagai sebuah
ajaran yang berakar ideologis Rahmatan Lil ‘alamien, tentunya memiliki
korelasi terkait terhadap segala sesuatu yang lahir di bumi, pun dalam
demokrasi dan ataupun politik. Seorang intelektual Pakistan, Jamil Wasti Syed,
menulis artikel yang berjudul Islam dan
Sosial-Demokrasi (versi bahasa Indonesia,
diambil dari majalah Ummat, No. 4 Thn. IV/3
Agustus 1998).
Dalam tulisannya tersebut, yang juga pernah
dimuat dalam harian berbahasa inggris yang terbit di Pakistan, edisi 3 Juli
1998. Jamil Wasti Syed menyatakan bahwa Islam
merupakan agama yang sangat demokratis dan egaliter, hanya saja sering disalah
artikan, dan bahkan menurutnya Islam sering dianggap sebagai agama konservatif,
yang mendukung status quo masyarakat feudal.
Anggapan yang demikian itu dibantah secara tegas oleh Jamil Wasti
Syed,bahwa Islam tidak demikian adanya, bahkan dia mengutip sebuah perkataan
Abu Bakar diwaktu pelantikannya sebagai khalifah pertama, yaitu, "Saudara-saudara, aku telah terpilih menjadi pemimpin (khalifah)
kalian. Aku akan mematuhi hukum yang kalian miliki dan aku tak punya hak untuk
menentukan hukum yang baru. Aku memerlukan saran dan bantuan kalian. Jika aku
berlaku benar, dukunglah. Jika melakukan kesalahan, tegurlah."
A. Demokrasi Klasik
Untuk melacak akar sejarah Demokrasi, tentu
penulis berkaca kepada bangsa Yunani, sebab demokrasi diyakini lahir pada
bangsa Yunani. Secara
etimologi (asal muasal kata), demokrasi berasal dari kata “demos” yang
berarti rakyat, dari “kratos” yang berarti pemerintahan. Dari itulah,
demokrasi dimaknai sebagai “pemerintahan dari rakyat” atau “pemerintahan oleh
rakyat” (Munir Fuady, 2010:1).
Dengan kata lain, demokrasi merupakan sebuah sistem pemerintahan
yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sebagai sebuah sistem
pemerintahan yang berakar terhadap rakyat, tentu keberpihakan kebijakan
pemerintahan juga semestinya berpihak kepada rakyat. Bukan berpihak terhadap
elit politik dan penguasa kekuasaan pada sebuah pemerintahan. Ketika
keberpihakan itu mendominasi terhadap elit politik dan penguasa, praktik
politik-demokrasi yang demikian telah melanggar asas dasar dari sebuah sistem
demokrasi.
Dari berbagai perdebatan yang ada, penulis
berinisiatif untuk membahas sejarah demokrasi. Pada pembahasan sejarah ini,
penulis membaginya ke dalam berbagai sub, ada yang berkonsentrasi dalam bidang
sejarah klasik demokrasi (Yunani), dan sejarah demokrasi modern.
Sejarah demokrasi klasik sudah membuktikan, demokrasi menjadi
sebuah pilihan pada suatu sistem pemerintahan yang belum menemui lawan mainnya.
Demokrasi bahkan selalu hidup walaupun dengan pola dan konsep yang berbeda-beda
dalam mengaplikasikan demokrasi tersebut. Hanya saja secara prinsip, demokrasi
tetap sama. Dalam sejarahnya, Plato yang dianggap sebagai salah satu
peletak pertama konsep demokrasi, memang pada awalnya Plato tidak
mendukung konsep ini, tetap pada masa akhir kehidupannya dia meninggalkan peta
konsep pemikrannya tersebut tentang the Philosopher King dan the planned
society (Munir Fuady, 2010:63-65).
Berbagai literatur menyatakan bahwa Plato tidak mendukung
dengan konsep demokrasi ini, dilatar belakangi dengan dihukum matinya Socrates
yang sekaligus juga sebagia gurunya. Gagasan-gagasan Socrates pada
masanya dianggap sebagai suatu gagasan yang menyesatka, karena memang pada
masanya degan berbagai gagasan yang dibawa olehnya, dianggap aneh dan
menyimpang dari ajaran-ajaran yang telah berlaku sebelumnya. Sehingga setelah
melewati pengadilan rakyat, dan diambil suara terbanyak tentang putusan hukuman
mati Socrates, akhirnya keputusan final adalah menghukum mati.
Inilah yang menjadi alasan Plato tentang ketidak
mendukungannya terhadap pola dan konsep
demokrasi pada masanya. Tetapi pada akhirnya, Plato justru
mendukung pola dan konsep demokrasi tersebut, tentunya dengan ajaran-ajaran
tentang demokrasi yang tidak sama secara prinsipil dengan Socrates.
Ajaran dan paham demokrasi sangat terasa di belahan dunia barat,
sebab pemikir-pemikir Yunani kuno melalui analisis untuk mengkongretkan secara
lebih detail tentang hakikat demokrasi, tetap terasa hingga saat ini, khususnya
di barat, sebut saja Amerika. Pada awalnya, melalui warisan civilisasi
Helenisme yang diusung oleh Socrates, dengan berkonsentrasi terhadap
analisis yang berpusat pada masalah manusia, pemikiran dan tujuan
keberadaannya, penentuan benar atau salah secara objektif, dan hubungan antara
faktor benar dan salah terhadap kodrat dan institusi kemanusiaan, termasuk
bernegara secara benar melalui sistem pemerintahan demokrasi. Hal itu merupakan
warisan nilai bangsa Yunani Kuno dalam civilisasi Helenisme.
Akar sistem pemerintahan demokrasi, yaitu pemerintahan oleh rakyat,
telah senter terdengar pada sekitar tahun 500 SM. Pemahaman kongret mengenai
demokrasi ini, kemudian diwariskan dalam suatu sistem pemerintahan yang
berhaluan demokratis, seperti Amerika tadi. Tidak bisa dielakkan, pasca
revormasi 1998 di Indonesia, melalui sistem pemilihan presiden secara langsung,
telah melahirkan Indonesia baru dengan sistem demokrasi yang diwarisi oleh
civilisasi Helenisme bangsa Yunani.
Hanya saja yang perlu digaris bawahi di sini, adalah demokrasi yang
diwariskan oleh civilisasi Helenisme tadi lebih berpaham sekuler. Tetapi,
demokrasi sekuler inilah yang telah membentuk peradaban baru dalam tatanan
kenegaraan dalam peradaban barat. Adapun berbagai pemikiran dan perenungan yang
kemudian membentuk peradaban barat, Munir Fuady (2010:65), menuliskannya dengan mengutip dari tulisan
George Charles Roche III (1970:xiv), yang tertuang ke dalam delapan skema,
meliputi: Pertama, Realisasi dari potensi individu dari bangsa Yunani. Kedua,
gagasan sistem nilai yang tetap (fixed value system) dari Socrates.
Ketiga, gagasan pengembangan pengembangan intelegensia pengontrol (contolling
intelligence) dari Plato dan Aristoteles. Keempat, gagasan
Plato tentang lebih pentingnya bentuk (forms) dan nilai (values)
dibandingkan dengan kepentingan materi (materials conterns). Kelima, pengembangan
cita-cita konstitusi pemerintahan terbatas (limited government). Keenam,
gagasan kaum Stoa tentang kemulyaan (dignity) dan tanggung jawab. Ketujuh,
kesuksesan dari karakter Romawi kuno yang di.dasarkan atas tanggung jawab
dari pribadi, keluarga, dan kehormatan (honor), dan Kedelapan, dampak
moralitas dari agama-agama di dunia. Kedelapan pemikiran dan perengungan
tersebut, diyakini telah membentuk peradaban Barat (Western Civilization).
Cita-cita memiliki sebuah sistem pemerintahan yang demokratis, pada
awalnya memang lahir pada masa pemerintahan bangsa Yunani sekitar abad ke-7
sebelum masehi. Athena, sebagai sebuah kota Negara yang besar pada masanya,
awalnya mengantut sistem aristokrasi yang bertentangan dengan sistem
pemerintahan demokrasi tadi. Negara aristokrasi merupakan sebuah pemerintahan
yang dipimpin langsung oleh aristokrat (golongan bangsawan). Kejenuhan
kepemimpinan aristokrat yang dirasakan oleh rakyat pada waktu itu, kemudian
memunculkan salah seorang tokoh terkenal, yang juga disebut sebagai salah satu
orang bijak dalam sejarah dunia klasik, yaitu Solon. Dia juga merupakan
satu dari 23 pembuat undang-undang terbesar di dunia, yang kemudian
undang-undang tersebut sebagai Kitab undang-undang Solon.
Pola pemerintahan yang dipimpin oleh para aristokrat tadi, kemudian
memunculkan banyak perpecahan, mulai dari permasalahan politik, ekonomi, sosial
dan semacamnya. Sehingga, Solon, kemudian merancang sebuah sistem
pemerintahan yang demokratis di Athena. Jelas, sebuah sistem pemerintahan yang
dibangung olehnya, kemudian memunculkan banyak perdebatan di kalangan bangsawan
(aristokrat). Karena, salah satu sistem yang dibuatnya, dengan sebuah
“jalan adil”, dalam artian rakyat juga memilik hak progratif yang sama dengan
bangsawan. Rakyat juga diberikan hak untuk mengikuti dan memungut suara dalam
sebuah pemilihan ataupun dalam dewan, yang pada masanya disebut sebagai Ecclesia.
Sistem pemerintahan yang diusung salah satunya oleh Solon,
dengan sebuah sistem pemerintahan demokratis, berdampak pula terhadap
Negara-negara yang saat ini menganut paham demokrasi, seperti Amerika, pun
Indonesia. Di Negara Athena (abad 6 SM), merupakan puncak terjadinya revolusi
besar dengan berubahnya sistem dan pola pemerintahan, dari aristokrasi ke
demokrasi. Setelah sistem pemerintahan demokrasi diterapkan di Athena, dewan
pembuat undang-undang, dewan pengesahan undang-undang, sudah terbentuk di sana.
Hal inipun tercermin dalam sistem pemerintahan kita (Indonesia) yang demokratis
saat ini, adanya Mahkamah Konstitusi (MK), Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR), pada masa Yunani (Athena) sudah berlaku hal-hal yang demikian, setelah
berlakunya sistem dan pemerintahan demokrasi.
Tidak berjalan mulus memang, sebuah perjalanan sistem demokrasi ini
di Athena. Sebab setelah kepergian Solon, di Athena sistem dan konsep
pemerintahan aristokrasi, berlaku kembali, dan bahkan selama tiga kali
berturu-turut (Peisisthenes-Hiipias-Hipparchus). Tetapi, setelah
pemerintahan Cleisthenes, sistem pemerintahan demokrasi dipertegas
sebagai sebuah sistem pemerintahan di Athena. Sehingga, pada masa itulah,
banyak kebijakan dan berbagai perubahan, seperti, perubahan organisasi politik,
memperkenalkan dan menjalankan prinsip persamaan hak (rakyat dan bangsawan), memberikan
lebih banyak akses kekuasaan kepada lebih banyak warga Negara, merubah susunan
organisasi tentara, dan pada masa ini pula untuk pertama kalinya, digunakan
kata “dnuokpacia” yang menjadi muasal dari kata “demokrasi” yang kita saat ini.
Sebuah perjalanan yang cukup panjang memang, dalam mempertahankan
sebuah sistem pemerintahan yang tidak berpihak terhadap suatu etnis tertentu,
suatu sistem yang menyuarakan kesamaan hak, baik antara bangsawan dan rakyat
kecil. Semuanya (rakyat kecil dan bangsawan) diberikan hak yang sama.
B. Demokrasi Modern
Secara sadar kita tentu
menyadari, bahwa demokrasi yang dulunya hanya berkutat dalam lingkup politik,
tetapi saat ini demokrasi telah masuk ke dalam berbagai denyut nadi kehidupan
kita. Demokrasi yang dulu hanya di lingkup perpolitikan, tetapi saat ini, dalam
dunia ekonomi, sosial, dan banyak hal lainnya, demokrasi seringkali
dedengungkan. Padahal, demokrasi yang pada awalnya menggema di Yunani kuno pada
sekitar abad ke-6, demokrasi telah tumbuh besar di Negara yang terkenal dengan
sebutan Negara Athena.
Semenjak abad
pertengahan mulai muncul, demokrasi tidak terdengar lagi gaungnya. Bahkan di
seluruh penjuru dunia demokrasi hampir tidak terdengar. Dan bahkan terbilang
merata di seluruh dunia tidak mengenal sebuah sistem pemerintahan demokrasi,
pun di bangsa Yunani dan Romawi, yang notabenenya merupakan basis dari sebuah
sistem pemerintahan demokrasi (Munir Fuady, 2010:75).
Sistem pemerintahan demokrasi, sudah
mulai terlacak dan diyakini sudah dimulai semenjak abad ke-6 SM. Pada waktu
itu, Athena sebagai Negara yang cukup pesat perkembangannya sudah menerapkan
sistem pemerintahan demokrasi. Model demokrasi yang diterapkan Athena, berbagai
literatur menyebutnya dengan istilah “demokrasi primitif” atau “demokrasi
kesukuan” (tribal democracy).
Praktis, Athena dijadikan pintu awal
masuk dalam penerapan sistem pemerintahan demokrasi. Walaupun tidak menutup
kemungkinan, berbagai Negara di belahan dunia lainnya, menerapkan sistem
pemerintahan demokrasi seperti ini. Hal ini tercermin dalam penerapan pemerintahan
di kerajaan Sumeria, dengan rajanya Gilgamesh. Dalam
pemerintahannya, tidak menjalankan
sistem pemerintahan secara otokrasi, melainkan Negara kota sebagai Negara
kekuasaannya diberikan kewenangan untuk memutus kepada “Dewan Orang-Orang Tua”,
sebagai perwakilan orang-orang tua, dan “Dewan Anak-Anak Muda”, sebagai
perwakilan kaum muda. Gambaran tersebut tentu mencerminkan sistem pemerintahan
yang demokratis.
Puncaknya
memang, dalam modernisasi demokrasi di dunia, dapat dibagi ke dalam beberapa tahapan
sejarah, mulai dari Periode pemaknaan demokrasi oleh Socrates, Plato,
dan Aristoteles, periode demokrasi praktis pada zaman Yunani,
Periode Demokrasi Kristen dan Islam, Periode terjadinya penafsiran kembali
terhadpa konsep Individualisme, dan Liberalisme, periode Demokrasi partisipasi
di era Jeremy Bentham, periode demokrasi modern (Libertarian, dan
demokrasi sosial), hingga periode demokrasi zaman postmodern (Lihat, Munir
Fuady, 2010:77).
III. Islam dan Demokrasi
dalam Tafsiran
Perlu dipahami, Islam bisa ditafsirkan sebagai
sebuah ajaran, bisa pula dipahami sebagai sebuah spirit dan tatanan nilai dalam
proses kehidupan di dunia ini. Sebagai sebuah ajaran (agama;dien) tentu
Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi kepasrahan dan ketundukan
terhadap Allah Swt. Dengan kata lain, tatanan kehidupan yang sudah diatur,
tidak bisa serta merta dirobah oleh tatanan dunia baru.
Ketundukan dan kepasrahan tersebut,
merupakan sakralitas yang sangat dijunjung tinggi oleh umat Islam dan bahkan,
tidak bisa ditolerir lagi. Penafsiran Islam yang berkonotasi dengan ajaran
(agama;dien) tentunya menjadi kecendrungan bahwa, kehidupan ukhrowi
merupakan titik temu nantinya setelah dunia ini berakhir dengan yang disebut
sebagai kehancuran (kiamat). Keridhoan Allah yang hakiki, akan
menyelamatkan umat Islam nantinya, setelah proses kehidupan dunia berlangsung
dengan tatanan dan kehidupan yang sesuai dengan aturan Islam yang berlaku.
Islam merupakan ajaran (agama;dien)
yang berasal dari samawi, atau sebuah ajaran yang berasal dari langit. Sehingga,
aturan dan tatanan kehidupan yang mengatur adalah aturan langit (bahasa
penulis), yang diyakini sebagai Tuhan seluruh alam, yaitu Allah Swt. Berbagai
aturan kehidupan itu tercermin dalam konsep “kepatuhan” dan “ketundukan”,
tentunya dengan melaksanakan “ibadah”, sebagai kunci dasar keselamatan umat
Islam.
Sedangkan, ketika Islam ditafsirkan
sebagai sebuah spirit, tentu Rahmatan Lil ‘Alamien merupakan landasan
dasar terhadap tafsiran tersebut. Islam, sebagai rahmat bagi seluruh alam,
tentunya tidak terbatas terhadap mereka yang memilih ajarah (agama;dien)
Islam sajah, melainkan seluruh alam juga memperolehh rahmat Islam tersebut.
Hubungannya dengan demokrasi, masih terus
menjadi perbincangan menarik untuk dikaji. Seperti penulis sampaikan di atas,
ada yang Islam dan Demokrasi bisa berjalan berdampingan. Tetapi, ada yang
berpandangan bahwa Islam dan demokrasi tidak bisa berjalan berdampingan,
seperti yang disampaikan Aswab Mahasin (1993:30), dalam tulisan Taufikurrahman
Saleh, yang berjudul Memperdebatkan Kembali Islam dan Demokrasi, bahwa
Islam dan demokrasi memang berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara
demokrasi berasal dari proses pemikiran manusia.[3]
Itulah, yang penulis maksud ketika Islam
dipandang sebagai sebuah ajaran (agama;dien), maka yang ada antara Islam
dan demokrasi tidak akan menemukan korelasi yang sepadan. Tetapi, ketika Islam
ditafsirkan sebagai sebuah spirit dengan Rahmatan Lil ‘Alamien-nya,
tentu Islam dan demokrasi, memiliki korelasi.
Sebagai sebuah spirit, Islam tidak hanya
terbatas terhadap mereka yang beragama Islam saja. Dalam Islam terdapat,
kedamaian, ketenangan, keikhlasan, dan semacamnya. Ketika Demokrasi dalam
tatanan nilai yang berkiblat terhadap Islam, tentu tatanan dalam sebuah
pemerintahan yang demokratis tersebut tidak akan menemukan celahnya.
Memaknai demokrasi, dan tidak terbatas
terhadap “demos” dan “kratos” tentu mimiliki indikasi yang baik,
lebih-lebih ketika demokrasi ditafsirkan sebagai sebuah tatanan nilai, dan tidak
membatasi diri terhadap “rakyat” dan “pemerintahan”, akan menjadi
kajian yang menarik tentunya.
Farag Fauda (2007:20) dalam sebuah
bukunya, Kebenaran Yang Hilang, menyatakan bahwa “…demokrasi dalam
maknanya yang modern, yaitu pemerintahan dari rakyat untuk rakya, sama sekali
tidak bertentangan dengan Islam. Mereka juga mengakui bahwa ijtihad-ijtihad
mereka yang percaya pada demokrasi dan perlunya sistem perwakilan, pemilihan
langsung dan tidak langsung, tidak bertentangna dengan esensi Islam dan
semangat kebebasan yang terkandung di dalamnya”.
Demokrasi dalam tatanan nilai di sini,
penulis menganggap bahwa dalam tatanan nilai, demokrasi bisa menjadi sebuah
sistem pemerintahan yang majemuk.
Indonesia sebagai sebuah Negara yang
demokratis, ketika demokrasi ditafsirkan dalam tatanan nilai dan diaplikasikan
dalam bentuk nyata. Konfllik yang terjadi selama ini, lebih-lebih penguasa dan
elit politik, akan bisa terselesaikan dengan baik. Tetapi, semenjak awal
berdirinya bangsa ini, demokrasi hanya dianggap sebagai sebuah bentuk dan
sistem, sehingga kekangan sistem tersebut memenjara akal budi dan tatanan nilai
yang belaku, khususnya dalam Islam.
Membaca peta perpolitikan di negeri ini, pasca
kemerdekaan (1945), bangsa Indonesia masih berada dalam posisi labil. Konsep
Negara yang dipikirkan oleh the founding father menjadikannya
kebingungan terhadap konsep dan sistem pemerintahannya pada waktu itu. Sehingga,
walaupun sistem pemerintahan demokrasi yang dijalankannya, ada sebuah
keterangan yang menyatakannya masih malu-malu untuk mengungkapkan bahwa sistem
pemerintahannya pada waktu itu adalah demokrasi. Begitupun, dalam masa
pemerintahan Soeharto yang cukup panjang, sistem pemerintahan yang oleh banyak
tafsiran dianggap sebagai sebuah sistem pemerintahan otoriter, tetapi
tidak semata-mata kebijakannya otoriter, bahkan terkesan demokratis. Hanya
saja, karena Soeharto dikenal sebagai pemimpin yang berideologi
pancasila, sehingga, ia enggan untuk mengakui dirinya sebagai pemimpin yang
demokratis. Begitupun dengan Soekarno, dengan ideologinya NASAKOM (Nasional,
Agama, dan Komunis).
Secara terang-terangan memang, demokrasi
dimulai setelah runtuhnya orde lama. Era reformasi politik, kemudian menuntut
untuk melakukan pemilihan secara langsung, rakyat diberikan hak untuk bersuara
dalam pemilihan. Kendatipun demikian, apakah suara terbanyak sudah mewakili
kebenaran? Itulah yang selalu menjadi permasalahan yang terjadi, ketika
demokrasi hanya dipahami sebagai sebuah perwujudan dari sebuah sistem dan
bentuk belaka.
Berbeda ketika demokrasi, dimaknai
sebagai sebuah tatanan nilai. Demokrasi akan lebih terasa merakyat ketika
tatanan nilai tersebut bisa dilaksanakan dengan baik. Demokrasi di Indonesia,
tentu Islam memiliki peranan yang cukup penting, lebih-lebih ketika awal
berdirinya bangsa ini dengan nama NKRI (1945).
IV. Penutup
Sebagai kata akhir, Indonesia
dengan sistem pemerintahan demokrasi yang dipilih, mulai dari awal kepemimpinan
Soekarno (demokrasi terpimpin), Soeharto (demokrasi pancasila),
hingga demokrasi saat ini. Merupakan sebuah pilihan yang tepat, ketepatan
inipun ditopang dengan posisi Islam sebagai sebuah spirit, telah memberikan
kontribusi nyata terhadap berdirinya NKRI.
Sebuah tatanan nilai dalam batang tubuh demokrasi, harus menjadi
skema sistem pemerintahan di negeri ini. Dengan mayoritas penganut agama Islam
(moeslem majority) menjadi modal untuk melaksanakan sistem pemerintahan
demokrasi yang majemuk.
Keberadaan partai Islam, harus benar-benar menjadi shadow
government (bayang-bayang pemerintah) meminjam istilah Koiruddin. Tetapi
yang jelas, Islam tidak pernah bertentangan dengan demokrasi, hanya orang-orang
yang berada di dalamnyalah yang selalu mempersoalkannya. Bukan malah partai
Islam tidak mencerminkan tatanan nilai yang telah berlaku dalam Islam.
Semoga makalah ini, bisa menjadi rujukan, dan
penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun. Penulis kira tidak ada karya yang sempurna, untuk itulah,
kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Wahid, Abdurrahman (editor). 2009. Ilusi Negara Islam: Ekspansi
Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal
Ika, the Wahid Institute, dan Maarif Institute.
Fauda, Farag. 2007. KEBENARAN YANG HILANG: Sisi Kelam Praktik
Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim (terjemahan Novriantoni). Jakarta:
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta Bekerjasama dengan Yayasan
Wakaf Paramadina.
Muhtadi, Asep Saeful. 2008. Komunikasi Politik Indonesia:
Dinamika Islam Politik Pasca-Orde Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Fuady, Munir. 2010. Konsep Negara Demokrasi. Bandung: PT
Reflika Aditama.
Koiruddin. 2005. Menuju Partai Advokasi. Yogyakarta: Pustaka
Tokoh Bangsa (Kelompok Penerbit LKiS Yogyakarta).
Artikel/Surat Kabar/Majalah:
Syed, Jamil Wasti. 1998. Islam dan Sosial-Demokrasi. Majalah
Ummat No. 4 Thn. IV/3 Agustus 1998.
Saleh, Taufikurrahman. 2005. Memperdebatkan Kembali Islam dan
Demokrasi. Harian Republika Jakarta (20
September 2005).
[3]
Lihat, Harian REPUBLIKA Jakarta, edisi Selasa 20 September 2005.
Label: Makalah
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda