Pendahuluan
Belakangan ini, pesta demokrasi tengah marak di Negara
kita Indonesia. Pemilihan gubernur tergelar di berbagai tempat, februari yang
lalu Jawa Barat menggelar pesta demokrasinya. Beberapa waktu yang lalu, Jawa
Tengah dan Bali telah melaksanakan pemilihan umum (pemilu) gubernurnya, dan
sebentar lagi Sumatera Selatan juga akan menggelar pemilu. Perhelatan akbar
yang digelar dan dikemas dalam bentuk pemilu merupakan bagian dari sebuah paham
demokrasi dalam suatu Negara, khususnya Indonesia.
Kaitannya dengan pemilu, desain politik yang dibangun
oleh cagub atau cawagub telah membentuk persepsi publik terhadap mereka.
Berbagai pencitraan positif dibangun untuk meraup suara terbanyak, memberikan
kesan positif terhadap publikpun terjadi setiap waktu. Baik melalui media, atau
terjun langsusng (blusukan) seperti yang dilakukan Joko Widodo, gubernur DKI
Jakarta sekarang dari fraksi PDI-P di kala kampanyenya.
Baik itu cagub ataupun cawagub dalam proses
pencalonannya, ketergantungan terhadap media sangat tampak. Di mana mereka
mengiklankan pencalonannya di berbagai media, baik media cetak ataupun media
elektronik lainnya. Kita bisa lihat, betapa lingkungan informasi dan
keomunikasi (politik) tengah dibangun dengan tujuan untuk meraup suara
terbanyak dalam pemilu.
Dalam konteks lingkungan informasi dan komunikasi yang
dibangun oleh para cagub atau cawagub, khususnya pada media elektronik. Tentunya
publik yang kesehariannya tidak terlepas mengikuti perkembangan informasi
melalui media elektronik, perlahan akan mulai terhipnotis dengan desain politik
tersebut. Pencitraan, blusukan dan membentuk kesan positif untuk publik menjadi
senjata ampuh dalam liputan media.
Proses pembentukan kesan positif publik terhadap
mereka yang mencalonkan diri menjadi cagub dan cawagub, menurut penulis diawali
dengan sebuah pemahaman dalam teori psikologi lingkungan seperti yang ditulis
Avin Fadilla Helmi (1999; 1), dalam buletin psikologi, berjudul Beberapa
Teori psikologi Llingkungan bahwa manusia, dalam hal ini publik dianggap
sebagai sebuah black-box yaitu kotak hitam yang siap dibentuk menjadi
apa saja.
Dari itulah, pada tulisan ini penulis ingin mencoba
membuat sebuah analisis sederhana terkait pemilu begitupun dengan lingkungan
informasi dan komunikasi yang terbentuk di dalamnya. Dengan berbagai kasus yang
terjadi, tidak hanya money politic atau politik uang yang terjadi,
tetapi asumsi penulis banyak publik yang mulai terhipnotis dengan desain
politik yang dibangun sedemikian rupa. Sehingga pada suatu waktu, publik
memilih dan pada akhirnya merasa kecewa dengan pilihannya sendiri terhadap
cagub dan cawagub yang dipilihnya.
Harapannya, tulisan ini bisa menjadi rujukan baru
terhadap tulisan terkait komunikasi politik, informasi, dan semacamnya yang
berkaitan dengan psikologi lingkungan, dan atau pun lingkungan informasi dan
komunikasi.
Permasalahan
Merujuk terhadap latar pendahluan di atas, penulis
ingin menyimpulkan beberapa masalah terkait Lingkungan Informasi dan Komunikasi
dalam pemilu, yang nantinya akan penulis coba untuk mencari penyelesaiannya.
Beberapa masalah tersebut meliputi:
1)
Apa yang dimaksud dengan Lingkungan Informasi dan Komunikasi, terkhusus
dalam kaitan pemilu dalam desain politik.
2)
Bagaimana sebetulnya karakteristik dan tafsiran terhadap manusia
(publik) dalam kajian psikologi lingkungan (informasi dan komunikasi).
3)
Benarkah manusia (publik) bisa dibentuk menjadi pribadi apa saja?
Pembahasan
Rujukan tunggal yang penulis ambil dalam pembahasan
ini, adalah tulisan Avin Fadilla Helmi seperti yang tertulis dalam kata
pendahuluan di atas. Dalam teorinya, manusia dianggap sebagai Black-Box atau
kotak hitam yang bisa apa saja. Teori ini, digunakan dalam psikologi lingkungan
untuk memahami terkait manusia.
Kajian yang dilakukan oleh Avin dalam tulisannya, dinyatakan
bahwa Psikologi Lingkungan merupakan bagian dari psikologi, yang merupakan
cabang dari psikologi yang masih muda. Pernyataan ini ditulis sekitar empat
belas tahun yang lalu (1999), hingga saat ini kajian ini terus dilakukan
khususnya oleh para akademisi. Begitupun dengan penulis saat ini, mencoba
mencari sebuah pembenaran terkait dengan psikologi lingkungan, yang berkaitan
dengan terbentuknya sebuah persepsi public melalui lingkungan yang lingkungan
yang sengaja dibentuk dan dikemas (baca:desan politik).
Dari beberapa permasalahan yang tersebut di atas, pada
awalnya menurut asumsi penulis munculnya lingkungan informasi dan komunikasi
diawali dengan munculnya Psikologi Lingkungan dalam cabang psikologi. Avin
dalam pengantar tulisannya menulis tentang tradisi yang ada dalam psikologi. Menurutnya, teori psikologi berorientasi
untuk menjelaskan dan memprediksi perilaku manusia. Adapun tradisi-tradisi yang
ada dalam Psikologi, yaitu ada sebuah perilakuk yang disebabkan oleh faktor
dari dalam (deterministik), ada juga perilaku yang disebabkan oleh faktor
lingkungan atau proses belajar, dan yang terakhir dari tradisi-tradisi dalam
psikologi bahwa perilaku disebabkan oleh interaksi manusia-lingkunga.
Mengenai psikologi lingkungan, Avin menyebutnya
sebagai suatu ilmu perilaku yang berkaitan dengan lingkungan fisik. Seperti
disebut sebelumnya, psikologi lingkungan tergolong masih muda (1999). Dari
asumsi di atas, jika mencari muasal munculnya lingkungan informasi dan
komunikasi, boleh dibilang muasalnya dari psikologi lingkungan ini.
Lantas kemudian, jika diambil sebuah kongklusi
sementara, penulis menyatakan bahwa lingkungan informasi dan komunikasi,
merupakan suatu ilmu yang mempelajari terkait informasi, dari mulai prosesnya
hingga ke tahapan mengkomunikasikannya. Dalam kasus pemilu gubernur dan
cawagub, anggapan penulis bahwa desainer politik ataupun konseptor yang berada
di balik proses kampanye pemenangan salah satu calon, tentu sudah bisa memetakan
dan menafsir publik pemilihnya.
Menurut Avin dalam tulisannya, yang memaparkan bahwa
manusia seperti halnya Black-Box yang bisa dibentuk menjadi apa saja. Di
sisi lain, penulis setuju dengan pernyataan ini sebab menusia bisa dibentuk apa
saja tergantung proses, bagaimana
membentuknya, dan siapa yang membentuknya. Dari tafsiran ini, penulis membaca
bahwa publik pemilih dalam pemilu cagub dan cawagub layaknya kotak hitam tadi. Mereka
(publik) bisa digiring untuk memilih siapapun tergantung bagaimana proses
pembentukannya berlangsung. Pencitraan, menciptakan kesan dengan blusukan yang
kemudian dipublikasi di media, akan menciptakan persepsi publik tentunya.
Pada tahapan kampanye dengan pencitraan, pembentukan
kesan publik dengan blusukan yang langsung dipublish di media, menjadi sebuah hypnotist
method untuk meraup suara terbanyak dari publik. Dalam teorinya, yang
dikenal dengan “Teori Level Adaptasi” semestinya dalam kampanye pemenangan
salah satu calon, harus mengenal teori ini. Bagaimana kemudian stimulasi level
yang optimal bisa menciptakan pemilih
yang optimal terhadap calon yang diusungnya.
Teori Level Adaptasi ini, merupakan teori yang
menjelaskan bagaiamana stimulasi level yang rendah maupun level tinggi
mempunyai akibat negative bagi perilaku. Level stimulasi yang optimal adalah
yang mampu mencapai perilaku yang optimal pula (Veirtch & Arkkelin, 1995, dalam
Avin, 1999;11).
Walaupun dalam teori media massa, kita mengenal teori uses
and gratification yang berarti masyarakat (massa) sudah bisa menilai
informasi yang baik dan yang tidak baik. Tapi sampai saat ini, pencitraan,
penciptaan kesan positif melalui media massa masih cukup efektif diberlakukan
oleh banyak orang, terkhusus cagub dan cawagub dalam pemilu.
Dengan kata lain, manusia ataupun publik bisa dibentuk
menjadi apa saja tergantung bagaimana dan cara apa yang digunakan untuk
membentuknya.
Penutup
Tulisan sederhana ini, tidak akan bernilai apa-apa
jika tidak mendapatkan respon melalui tanggapan-tanggapan dari berbagai pihak berupa
kritik yang membangung. Untuk itulah, lingkungan informasi dan komunikasi tidak
hanya menjadi sebuah formality grand theories ketika manusianya tidak
ikut aktif dalam lingkungan tersebut.
Begitupun dari apa yang penulis coba kaji dengan studi
kasusnya pemilu cagub dan cawagub, melalui sebuah teori yang dinamakan “Teori
Adaptasi Lingkungan” kita bisa melakukan apa saja tergantung bermain di ranah
dan di level mana komunikasi dan informasi yang terbangun. Lebih-lebih dalam
pemilu, level yang optimal akan menghasilkan hasil yang optimal pula dan
begitulah seterusnya.
Sebagai penutup, semoga tulisan ini bisa membuka
cakrawala berpikir kita menjadi lebih berwarna dan berwawasan lagi. Terakhir,
penerapan teori akan berdaya guna optimal ketika digunakan secara optimal pula.
Terima kasih!
Rujukan:
Helmi,
Avin Fadilla. 1999. Beberapa Teori Psikologi Lingkungan. Bulletin
Psikologi:tahun VII, No. 2 Desember.
*Catatan: Tulisan ini dibuat oleh Saya (Abd. Qadir Jailani) dan Fitri Leona. Ditulis tahun 2013 lalu, untuk memenuhi tugas kuliah. Semoga Bermanfaat.
Label: Tugas Kuliah