WISUDA DAN BUDAYA LAUNCHING BUKU DI PP. AL-AMIEN PRENDUAN SUMENEP MADURA
Sore ini saya membaca sebuah status salah satu kawan
saya di Pesantren, dalam statusnya memuat sebuah berita wisuda lulusan TMI
Al-Amien Prenduan. Kebetulan, yang menulis status tersebut adalah salah seorang
guru (ustadz) di pesantren yang dulu saya menimba ilmu di sana selama
lima tahun. Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan yang berlokasi di ujung
timur pulau Madura, tepatnya di
Kabupaten Sumenep, setiap tahunnya selalau menyelenggarakan acara wisuda. Baik itu
di tingkat pendidikan pemula sampai di tingkat yang paling tinggi, yaitu di tingkat
perguruan tinggi (Institute Dirosat Islamiyah Al-Amien).
Alan Setiawan
|
Pondok Pesantren Al-Amien terdapat tiga kelembagaan,
Al-Amien I, Al-Amien II, dan Al-Amien III. Pembagian antara Al-Amien satu
hingga Al-Amien tiga, barangkali bukan ingin menunjukkan perbedaan dan kualitas
antar kelembagaan. Melainkan, lebih kepada kesukaan dan minat santri yang ingin
mengembangkan keahlian dan kreatifitasnya dalam bidang apa. Tapi, yang jelas,
saya tidak ingin menulis terkait profile lembaga ya, melainkan saya ingin
menulis terkait ingatan saya yang kembali ke beberapa tahun silam, setelah
melihat berita Wisuda.
Saya ingin menulis dan bercerita tentang Wisuda dan
Launching buku di TMI (Tarbiyatul Mu’allimien al-Islamiyah) di Al-Amien
II. Sebab, dulu saya belajar dan menimba ilmu di TMI, setidaknya kurang lebih lima tahun. Boleh dibilang,
perantara di Pesantren inilah saya bisa kemana-mana dengan tanpa khawatir sedikitpun saya tidak bisa hidup. Saya yakin,
dengan bekal yang saya peroleh di pesantren inilah saya bisa hidup mandiri dan
bisa berdiri di atas kaki sendiri. Begitulah, keyakinan saya dulu sebelum saya
merantau, meninggalkan Madura menuju Bandung, dengan satu tujuan “BELAJAR”.
***
Saya kemudian tertarik untuk membuka laman yang memuat
berita tersebut, dengan segera saya langsung berselancar menuju laman yang
ternyata laman tersebut adalah website Koran Radar Madura. Mengingat masa-masa
di Pesantren dulu, yang bersinggungan dengan Koran Radar Madura, saya jadi
teringat bagaimana dulu beberapa tulisan saya dimuat di Koran tersebut. Beberapa
tulisan saya dalam bentuk opini, beberapa kali dimuat di kolom “Pesantren” yang
memberi kesempatan kepada siapapun untuk bisa menulis di sana. Ah, sudahlah itu
beberapa tahun yang lalu. Ya, sekitar lima tahun yang lalu beberapa tulisan
saya beredar di Koran Radar Madura.
Moh. Nurul Kamil |
Memang jauh-jauh hari saya mendapat kabar, bahwa di
pesantren saya akan digelar wisuda bulan ini. Hanya saja, saya tidak terlalu
tertarik untuk mengikuti berita perkembangan Wisuda. Tetapi, setelah membaca
sebuah laman tadi, dari status seorang teman, saya kemudian tertarik untuk
mengikuti perkembangannya, begitupun tertarik untuk menulis catatan ini. Ya,
melalui laman judul berita “Lulus Pesantren Tulis Buku Tentang Dahlan”, inilah
saya mencari tahu, siapa penulisnya, dan darimana.
Jujur saja saya kaget, ketika membaca lanjutan
beritanya bahwa penulis buku dengan judul “The Way of Dahlan Iskan to be
Succes” adalah anak yang saya mengira tidak punya potensi menulis. Namanya
Benny Yuris Pratama, anak dari tetangga saya di rumah, yang dulunya dititipkan
ke saya waktu saya masih di Pesantren. Istilah menitipkan anak itu merupakan
istilah pesantren, dengan maksud supaya anaknya bisa mendapat perhatian khusus
dari kakak kelasnya, ataupun dari kiyai dan ustadz di pesantren.
Dan ternyata tidak hanya Benny saja yang mampu menulis
, menerbitkan bukunya dan dilaunching ketika prosesi wisuda. Dari 310 wisudawan,
146 wisudawan berhasil melaunching bukunya dalam prosesi wisuda. Ini adalah
prestasi yang luar biasa, dan barangkali belum ada pesantren di Indonesia yang
bisa menyamai rekor santri di pesantren Al-Amien. Barangkali, jika Museum Rekor
Indonesia (MURI) mengetahui hal ini, saya yakin, Al-Amien, terlebih TMI akan
mendapat rekor MURI.
Sayangnya, negeri ini terlalu birokratis untuk
berbicara penghargaan dan rekor, begitupun dengan rekor MURI. Saya meyakini, mereka menulis buku dan
melaunching dalam prosesi wisuda lahir karena kemauan dan kesadaran untuk menulis,
seperti yang selalu dipesankan almarhum KH. Mohammad Idris Jauhari.
Budaya menulis buku dan melaunchingnya di saat prosesi
wisuda, dimulai semenjak lulusan saya (2010), sebab tahun-tahun sebelumnya
belum pernah ada wisudawan yang melaunching bukunya disaat prosesi wisuda. Saya
dan teman-teman waktu itu meyakini, bahwa ini akan menjadi sejarah besar yang
akan dikenang. Masih saya ingat dengan jelas, pada saat yudisum wisuda yang
diadakan dimalam hari waktu itu, Alm. KH. Mohammad Idris Jauhari, sebagai
pengasuh pesantren melaunching secara simbolis delapan buku yang ditulis oleh
saya dan teman-teman saya. Dan sebagian besar dari buku yang kami tulis, sudah
mendapat ISBN dan terdaftar di Perpustakaan Nasional.
Dengan hanya delapan buku, saya dan teman-teman saya
pada 2010 lalu menulis buku dan melaunchingnya pada prosesi wisuda, tetapi pada
tahun ini, 2014, sudah ada 146 buku yang ditulis oleh santri TMI Al-Amien. Setiap
tahun, pada prosesi wisuda, saya memang mendapat kabar bahwa melaunching buku karya
santri pada prosesi wisuda sudah menjadi budaya setiap tahunnya. Dan setiap
tahunnya, selalu bertambah banyak jumlah buku yang dilaunching. Ini sungguh
luar biasa, tahun depan semoga Rekor Muri bisa memberikan penghargaan rekor
MURI. Tentu harus ada yang menginisiasinya, lantas siapa yang akan
menginisiasinya? Semoga teman-teman saya, dan yang membaca tulisan ini, juga
punya keinginan yang sama dengan saya.
Semoga budaya menulis di pesantren tidak pernah
berhenti sampai kapanpun, begitupun dengan budaya melaunching buku pada saat
prosesi wisuda. Saya selalu berdo’a demikian, hal ini sebagai bukti bahwa
lulusan pesantren mempunyai nilai lebih dibandingkan mereka yang sekolah. Lulusan
pesantren mempunyai nilai lebih, di samping karakter, kemampuan, dan berjiwa
besar lulusan pesantren bisa dibilang multi talent.
Saya selalu marah besar ketika ada orang yang
mengatakan bahwa lulusan pesantren katro, kolot, dan tidak berwawasan luas. Bahkan,
pesantren yang hanya dipandang sebelah mata oleh pemerintah, begitupun dengan
lulusannya. Terlebih karena TMI Al-Amien prenduan, tidak mengikuti evaluasi
belajar nasional yang disebut Ujian Nasional (UN), sehingga Al-Amien dan
beberapa pesantren mu’adalah yang lain susah untuk bisa masuk ke Perguruan
Tinggi Nasional (PTN) melalui SNMPTN.
Jelas ini kesalahan terbesar pendidikan nasional saat
ini, yah sudahlah, jadi terlalu serius tulisan saya karena membahas SNMPTN,
PTN, dan pendidikan nasional hehe. Yang jelas, saya hanya ingin menulis catatan
ini, dengan harapan, bahwa lulusan pesantren pasti bisa untuk melanjutkan studi
di PTN, lulusan pesantren memiliki kelebihan dan kemampuan yang lebih
dibandingkan mereka yang tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren. Lulusan pesantren,
bisa dan mampu untuk bersaing dengan lulusan pendidikan-pendidikan SMS unggulan
sekalipun.
Terlebih lulusan TMI Al-Amien Prenduan, dibekali
kemampuan berbahasa yang baik (Arab dan Inggris), kemampuan menulis, kemampuan
menalar (logic) dan menganalisis (research), dan masih banyak
lagi kemampuan santri lulusan TMI Al-Amien yang akan mereka diketahui nanti
setelah mereka hidup di alam lepas.
Tulisan dan catatan sederhana ini akan saya tutup
dengan sebuah catatan yang ditulis oleh salah satu santri Al-Amien, yang
mengutip sebuah rumus tantangan—respon Arnold J. Tonybe bahwa, tingkat
keberlangsungan dan derajat kekokohan individu di masa depan akan selalu
berbading—lurus dengan tingkat kemauan dan derajat komitmen individu hari ini
untuk merespon tantangan terkininya secara cepat dan tepat. Dan lulusan
Al-Amien mampu merespon tantangan terkininya secara cepat dan tepat. (*)
Label: ESAI, Kisah CIntaku, PERJALANANKU
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda