Rabu, 25 Juni 2014

WISUDA DAN BUDAYA LAUNCHING BUKU DI PP. AL-AMIEN PRENDUAN SUMENEP MADURA

Sore ini saya membaca sebuah status salah satu kawan saya di Pesantren, dalam statusnya memuat sebuah berita wisuda lulusan TMI Al-Amien Prenduan. Kebetulan, yang menulis status tersebut adalah salah seorang guru (ustadz) di pesantren yang dulu saya menimba ilmu di sana selama lima tahun. Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan yang berlokasi di ujung timur   pulau Madura, tepatnya di Kabupaten Sumenep, setiap tahunnya selalau menyelenggarakan acara wisuda. Baik itu di tingkat pendidikan pemula sampai di tingkat yang paling tinggi, yaitu di tingkat perguruan tinggi (Institute Dirosat Islamiyah Al-Amien).

Alan Setiawan
Pondok Pesantren Al-Amien terdapat tiga kelembagaan, Al-Amien I, Al-Amien II, dan Al-Amien III. Pembagian antara Al-Amien satu hingga Al-Amien tiga, barangkali bukan ingin menunjukkan perbedaan dan kualitas antar kelembagaan. Melainkan, lebih kepada kesukaan dan minat santri yang ingin mengembangkan keahlian dan kreatifitasnya dalam bidang apa. Tapi, yang jelas, saya tidak ingin menulis terkait profile lembaga ya, melainkan saya ingin menulis terkait ingatan saya yang kembali ke beberapa tahun silam, setelah melihat berita Wisuda.

Saya ingin menulis dan bercerita tentang Wisuda dan Launching buku di TMI (Tarbiyatul Mu’allimien al-Islamiyah) di Al-Amien II. Sebab, dulu saya belajar dan menimba ilmu di TMI, setidaknya  kurang lebih lima tahun. Boleh dibilang, perantara di Pesantren inilah saya bisa kemana-mana dengan tanpa khawatir  sedikitpun saya tidak bisa hidup. Saya yakin, dengan bekal yang saya peroleh di pesantren inilah saya bisa hidup mandiri dan bisa berdiri di atas kaki sendiri. Begitulah, keyakinan saya dulu sebelum saya merantau, meninggalkan Madura menuju Bandung, dengan satu tujuan “BELAJAR”.
***
Saya kemudian tertarik untuk membuka laman yang memuat berita tersebut, dengan segera saya langsung berselancar menuju laman yang ternyata laman tersebut adalah website Koran Radar Madura. Mengingat masa-masa di Pesantren dulu, yang bersinggungan dengan Koran Radar Madura, saya jadi teringat bagaimana dulu beberapa tulisan saya dimuat di Koran tersebut. Beberapa tulisan saya dalam bentuk opini, beberapa kali dimuat di kolom “Pesantren” yang memberi kesempatan kepada siapapun untuk bisa menulis di sana. Ah, sudahlah itu beberapa tahun yang lalu. Ya, sekitar lima tahun yang lalu beberapa tulisan saya beredar di Koran Radar Madura.
Moh. Nurul Kamil

Memang jauh-jauh hari saya mendapat kabar, bahwa di pesantren saya akan digelar wisuda bulan ini. Hanya saja, saya tidak terlalu tertarik untuk mengikuti berita perkembangan Wisuda. Tetapi, setelah membaca sebuah laman tadi, dari status seorang teman, saya kemudian tertarik untuk mengikuti perkembangannya, begitupun tertarik untuk menulis catatan ini. Ya, melalui laman judul berita “Lulus Pesantren Tulis Buku Tentang Dahlan”, inilah saya mencari tahu, siapa penulisnya, dan darimana.

Jujur saja saya kaget, ketika membaca lanjutan beritanya bahwa penulis buku dengan judul “The Way of Dahlan Iskan to be Succes” adalah anak yang saya mengira tidak punya potensi menulis. Namanya Benny Yuris Pratama, anak dari tetangga saya di rumah, yang dulunya dititipkan ke saya waktu saya masih di Pesantren. Istilah menitipkan anak itu merupakan istilah pesantren, dengan maksud supaya anaknya bisa mendapat perhatian khusus dari kakak kelasnya, ataupun dari kiyai dan ustadz di pesantren.   

Dan ternyata tidak hanya Benny saja yang mampu menulis , menerbitkan bukunya dan dilaunching ketika prosesi wisuda. Dari 310 wisudawan, 146 wisudawan berhasil melaunching bukunya dalam prosesi wisuda. Ini adalah prestasi yang luar biasa, dan barangkali belum ada pesantren di Indonesia yang bisa menyamai rekor santri di pesantren Al-Amien. Barangkali, jika Museum Rekor Indonesia (MURI) mengetahui hal ini, saya yakin, Al-Amien, terlebih TMI akan mendapat rekor MURI.

Sayangnya, negeri ini terlalu birokratis untuk berbicara penghargaan dan rekor, begitupun dengan rekor MURI.  Saya meyakini, mereka menulis buku dan melaunching dalam prosesi wisuda lahir karena kemauan dan kesadaran untuk menulis, seperti yang selalu dipesankan almarhum KH. Mohammad Idris Jauhari.

Budaya menulis buku dan melaunchingnya di saat prosesi wisuda, dimulai semenjak lulusan saya (2010), sebab tahun-tahun sebelumnya belum pernah ada wisudawan yang melaunching bukunya disaat prosesi wisuda. Saya dan teman-teman waktu itu meyakini, bahwa ini akan menjadi sejarah besar yang akan dikenang. Masih saya ingat dengan jelas, pada saat yudisum wisuda yang diadakan dimalam hari waktu itu, Alm. KH. Mohammad Idris Jauhari, sebagai pengasuh pesantren melaunching secara simbolis delapan buku yang ditulis oleh saya dan teman-teman saya. Dan sebagian besar dari buku yang kami tulis, sudah mendapat ISBN dan terdaftar di Perpustakaan Nasional.

Dengan hanya delapan buku, saya dan teman-teman saya pada 2010 lalu menulis buku dan melaunchingnya pada prosesi wisuda, tetapi pada tahun ini, 2014, sudah ada 146 buku yang ditulis oleh santri TMI Al-Amien. Setiap tahun, pada prosesi wisuda, saya memang mendapat kabar bahwa melaunching buku karya santri pada prosesi wisuda sudah menjadi budaya setiap tahunnya. Dan setiap tahunnya, selalu bertambah banyak jumlah buku yang dilaunching. Ini sungguh luar biasa, tahun depan semoga Rekor Muri bisa memberikan penghargaan rekor MURI. Tentu harus ada yang menginisiasinya, lantas siapa yang akan menginisiasinya? Semoga teman-teman saya, dan yang membaca tulisan ini, juga punya keinginan yang sama dengan saya.

Semoga budaya menulis di pesantren tidak pernah berhenti sampai kapanpun, begitupun dengan budaya melaunching buku pada saat prosesi wisuda. Saya selalu berdo’a demikian, hal ini sebagai bukti bahwa lulusan pesantren mempunyai nilai lebih dibandingkan mereka yang sekolah. Lulusan pesantren mempunyai nilai lebih, di samping karakter, kemampuan, dan berjiwa besar lulusan pesantren bisa dibilang multi talent.

Saya selalu marah besar ketika ada orang yang mengatakan bahwa lulusan pesantren katro, kolot, dan tidak berwawasan luas. Bahkan, pesantren yang hanya dipandang sebelah mata oleh pemerintah, begitupun dengan lulusannya. Terlebih karena TMI Al-Amien prenduan, tidak mengikuti evaluasi belajar nasional yang disebut Ujian Nasional (UN), sehingga Al-Amien dan beberapa pesantren mu’adalah yang lain susah untuk bisa masuk ke Perguruan Tinggi Nasional (PTN) melalui SNMPTN.

Jelas ini kesalahan terbesar pendidikan nasional saat ini, yah sudahlah, jadi terlalu serius tulisan saya karena membahas SNMPTN, PTN, dan pendidikan nasional hehe. Yang jelas, saya hanya ingin menulis catatan ini, dengan harapan, bahwa lulusan pesantren pasti bisa untuk melanjutkan studi di PTN, lulusan pesantren memiliki kelebihan dan kemampuan yang lebih dibandingkan mereka yang tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren. Lulusan pesantren, bisa dan mampu untuk bersaing dengan lulusan pendidikan-pendidikan SMS unggulan sekalipun.

Terlebih lulusan TMI Al-Amien Prenduan, dibekali kemampuan berbahasa yang baik (Arab dan Inggris), kemampuan menulis, kemampuan menalar (logic) dan menganalisis (research), dan masih banyak lagi kemampuan santri lulusan TMI Al-Amien yang akan mereka diketahui nanti setelah mereka hidup di alam lepas.


Tulisan dan catatan sederhana ini akan saya tutup dengan sebuah catatan yang ditulis oleh salah satu santri Al-Amien, yang mengutip sebuah rumus tantangan—respon Arnold J. Tonybe bahwa, tingkat keberlangsungan dan derajat kekokohan individu di masa depan akan selalu berbading—lurus dengan tingkat kemauan dan derajat komitmen individu hari ini untuk merespon tantangan terkininya secara cepat dan tepat. Dan lulusan Al-Amien mampu merespon tantangan terkininya secara cepat dan tepat. (*) 

Label: , ,

ORANG MADURA TAPI TAK PERNAH KE MADURA

http://commons.wikimedia.org/wiki/File:Madura_Decoration.jpg


Dua tahun yang lalu, tepatnya di akhir tahun 2012 saya ke Yogjakarta. Perjalanan dari Bandung-Yogjakarta memang tidak selama pulang kampung ke Madura, ya kurang lebih membutuhkan waktu dua belas jam dengan Bus. Kalau dengan Kereta Api, kurang dari itu tentunya apalagi dengan pesawat. Saya ke Yogyakarta karena ada acara pertemuan mahasiswa nasional yang menggeluti dunia jurnalistik, lebih tepatnya ada Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) di sana.

Bagi saya Yogyakarta bukan menjadi kota yang asing bagi saya, sebab dua tahun sebelumnya saya juga ke sana, kendatipun maksud dan tujuannya berbeda. Terlebih di Yogyakarta, sangat banyak teman-teman saya yang menimba ilmu di sana. Sehingga, saya tidak terlalu khawatir tidak ada siapa-siapa di Yogyakarta. Teman-teman dari kampung, pun teman-teman saya dari pesantrena yang menumpuk di Yogyakarta untuk menimba ilmu.
Jembatan Suramadu di malam hari, kerren luar biasa, hehe.
Foto diambil di http://antarjemputbandarajuanda.blogspot.com/

Saya berdua dengan kawan saya dari Bandung, saya dan kawan saya satu kampus, lebih tepatnya dia senior saya di kampus. Waktu itu kami berangkat sekitar jam delapan atau jam Sembilan malam. Esok harinya, kami harus sudah di Yogyakarta mengikuti pembukaan acaranya yang kebetulan lokasinya di kampus UIN Sunan Kalijaga. Prediksi saya benar, esok harinya sekitar jam delapan pagi saya dan senior saya sudah sampai di UIN Yogyakarta. Memang saya sengaja tidak mengabari teman-teman saya di Yogyakarta, saya sengaja akan mengabari mereka sesampainya di sana.

Sekitar jam delapan kami sampai, bukan langsung istirhat di hotel, asrama, atau apalah namanya. Melainkan kami langsung mengikuti acara pembukaan yang berlangsung di Gedung Serba Guna UIN Sunan Kalijaga. Sudah cukup ramai yang datang, ya kalau dihitung ada seribuan atau bahkan lebih yang mengikuti prosesi acara pembukaan. Acara ini diikuti oleh hampir seluruh daerah di Indonesia mengirimkan delegasinya.

Dari awal saya sudah yakin, pasti dari Madura aka nada perwakilannya untuk hadir dalam acara ini. Peserta yang hadir sangat meriah, ditambah keberadaan media massa baik cetak ataupun non cetak sangat ramai juga meliput prosesi acara pembukaan itu. Saya tidak terlalu banyak kemana-mana, saya mengikuti dengan serius prosesi pembukaan acara. Ada banyak tokoh nasional yang datang, hanya saja saya lupa namanya kecuali Akbar Tanjung yang saya tahu, selebihnya saya lupa.

Acara pembukaan berakhir sekitar jam dua siang,  ternyata duduk dari jam delapan sampai jam dua cukup melelahkan. Saya keluar dari tempat acara, sambil mencari secangkir kopi, paling tidak untuk tidak memanjakan mata saya yang sudah mulai menatap tak mampu meminta untuk dipejamkan. Tanpa disengaja, ternyata dari kejauhan saya melihat cukup banyak teman-teman saya dari Madura di sini, saya sengaja memang tidak langsung nyamperi teman-teman saya.

Dari kejauhan, setelah membeli secangkir kopi saya duduk di pojokan yang tidak banyak orang-orang berhamburan disana-sini. Di depan Gedung Serba Guna, saya melihat senior saya di pesantren sedang menjaga lapak (tempat) penjualan buku. Lebih terkejutnya lagi, ada senior saya di pesantren sedang jualan kopi, rokok, dan minuman ringan di bawah pohon depannya Gedung Serba Guna. Beres minum kopi, rasa kantuk yang sudah hilang saya hubungi teman-teman saya yang kuliah di sini, satu demi satu berdatangan teman-teman. Luar biasa loyalitas teman-teman saya di sini memang.

Di Yogyakarta, memang menjadi sarangnya orang Madura. Termasuk teman-teman saya, di Yogyakarta sangat banyak. Saya tidak ingin bercerita banyak tentang perjalanan saya selama di Yogyakarta. Saya hanya ingin bercerita tentang sahabat, teman, dan kawan saya yang baru kenal di acara ini.

Selesai acara pembukaan, peserta Mukernas termasuk saya dan senior saya dari Bandung dibawa ke Villa yang berlokasi dekat sekali dengan Gunung Merapi. Hanya saja, saya tidak beserta mereka dengan kendaraan yang disiapkan oleh panitia. Saya meminta teman saya nganterin ke Villa, setelah keliling-keliling Yogyakarta sebentar.

Di Villa inilah, saya bertemu dengan banyak orang dari asal daerah, mulai dari Papua (Jayapura) sampai dari Aceh saya bertemu dengan mereka. Menariknya, saya bertemu dengan banyak orang Madura. Ada yang memang delegasi dari Madura sendiri, tapi yang menarik saya bertemu dengan orang Madura, yang menjadi delegasi daerah-daerah lain, seperti dari Jember, Jakarta, Yogyakarta, dan dari Pontianak. Termasuk saya dari Madura, yang menjadi wakil dari Bandung. Begitupun dengan pengurus nasional yang mengadakan Mukernas, sekjennya berasal dari Madura (Pamekasan).

Dari sekian banyak yang saya temui dari Madura, saya tertarik untuk menceritakan orang Madura yang menjadi delegasi dari Pontianak. Hamidun namanya yang saya kenal, dari nama saja memang sudah Madura banget. Logat bahasa Maduranya juga sangat kental dank has sekali. Menariknya, Hamidun belum pernah sama sekali ke Madura walaupun dia keturunan Madura tulen, ayah dan ibunya juga Madura.  Hamidun bercerita, kalau sebetulnya di Madura juga masih banyak sanak familinya di sana.

Inilah menariknya, sebab terujinya kecintaan, loyalitas terhadap kesukuan dan keadatan ketika mereka sudah tidak di tanah asalnya (Madura). Bagaimana cerita selanjutnya tentang Hamidun yang  belum pernah ke Madura? Kecintaannya terhadap Madura, sungguh luar biasa, kendatipun Hamidun tidak di Madura, tetapi kebanggaannya terhadap Madura selalu dia tunjukkan.

Hamidun barangkali adalah satu dari sekian banyak orang Madura yang tidak tinggal di Madura, barangkali di tempat lainnya juga masih banyak. Bahkan, mungkin tidak hanya di dalam negeri saja, di luar negeri pun barangkali masih sangat banyak. Hanya merekalah yang bisa menentukan bagaimana kultur, adat, dan ataupun kesukuan Madura yang sebenarnya. 

Hanya merekalah yang di luar Madura yang bisa menunjukkan bahwa orang Madura mampu dan bisa menjaga kultur, terlebih kultur keislaman yang mendominasi di Madura. Melalui simbol sarung dan kopiah yang biasa mereka kenakan, sudah selayaknya tetap dijaga dimanapun berada, budaya mengaji ke surau di waktu maghrib sampai isya, juga budaya menghormati tamu dengan penghormatan yang sebaik-baiknya. Merupakan budaya yang terbangun di Madura, termasuk rumus Bapa, Babu, Guru Rato. (*)              

Label: ,