Jumat, 21 Agustus 2009

SELAMAT JALAN SAHABAT

Hari ini aku bener-bener sial, aku telat bangun tidur meski tadi malam aku gak nobar (nonton bareng) pertandingan MU vs Barselona. Tahunya aku Barcelona menang 2-0 tahu bener apa kagak. Tadi malam aku tidur larut karena banyak kerjaan, artikel untuk majalah Qalam masih belum selesai ditambah tadi malam aku masih disuruh ngetik artikel bahasa inggris sama ustadz Munif selesainya kurang lebih jam setengah dua belas malam. Tapi ada kabar gembira sih bagi aku, aku ama temanku Hasan diberi izin untuk tinggal di Perpustakaan Pusat Al-Amien. Sehabis ngetik artikel yang akan dikirim ke jakarta untuk Majalah Qalam nasional aku bergegas menuju kantor ISMI tapi sesampainya depan masjid aku dikagetkan dengan Mading SSA yang terpampang di papan pengumuman, aku kagum tapi aku juga iri karena aku masih belum bisa merealisasikannya. Mading yang terpampang di depan masjid itu berisi cerpen dan beberapa puisi yang ditulis oleh temenku Nurul Hasan dan Nurul Kamil. Aku cukup kagum dengan karang an mereka. Tapi aku optimis kalau aku cepat atau lambat karyaku juga akan tertempel disana.
Sesampainya di kantor ISMI aku kantor kelihatan gelap seperti tak ada penghuninya. Tapi setelah aku langkahkan kakiku untuk menyusuri ruangan lebih dalam lagi aku lihat ternyata ada Alan dan Faiz lagi tiduran diruangan khusus pengurus harian yang berukuran tak terlalu lebar tapi cukuplah untuk menampung sepuluh orang. Di ruangan itu terdapat satu buah komputer yang terletak di dalam lemari berwarna hitam kemilau. Lemari itu sebenarnya kepunyaanku tapi ditukar untuk sementara sama Humam.
Tak lama aku berdialog dengan mereka, karena aku mikirin tugasku yang belum kelar. Aku bergegas mengihidupkan komputer. Komputer yang telah aku instal kemaren sore dengan widnows V.3 ternyata lumayan bagus. Komputerku , aku beri pasword yang jarang orang tahu Cuma sebagian saja yang tahu. Sehabis aku buka pasword itu, tampilan dekstop masjid Qudus (Menara Qudus) dan berdiri seorang disana itulah aku. Foto yang aku ambil ketika Rihlah JQH.
Aku ingat kalau aku punya tugas membuat tulisan Refleksi/Deskripsi, aku bingung apa yang akan aku tulis?. Padahal dedlinnya malam ini, tapi untunglah kata ustadz munif besok juga gak apa-apa. Aku masih bingung dengan apa yang akan aku tulis. Udahlah gak usah ambil ribet mungkin besok otakku bisa encer sehingga bisa lancar ngembangin otakku.
“Dar…..” Beberapa kali terdengar sehingga akupun terbangun dari tidurku yang bisa dibilang tak lebih dari satu jam aku tidur. Suara teriakan Ustadz Ja’far terdengar begitu menggema ditelingaku. Aku bergegas bangund dari lelapku, karena aku takut bermasalah lagi dengan beliau. Aku bergegas dari kantor ISMI menuju masjid. Untung saja Ustadz Ja’far gak ngelihat aku terlambat bangun tidur.
Alhamdulilah aku masih diberi kesempatan ma Allah untuk shalat tahajju dan witir berjama’ah, sayangnya ba’da syubuh kedua bola mataku serasa ingin terpejam terus. Maka dari itu, aku bergegas dari tempat sujudku. Aku bergegas menuju lantai dua masjid pas dipilar ketiga bagian utara dari barat, disana aku tidur dengan lelapnya sehingga tanapa aku sadari matahari sudah kelihatan terang banget. “Apa, aku terlambat bangun tidur. Ya Alaha masa sekarang aku gak masuk kelas lagi. Kemaren aku sudah gak masuk kelas alasan sakit, terus sekarang gimana? Aku turun dari lantai dua setela aku lihat anggota yang berpakain pramuka naik ke lantai dua masjid. Aku lihat jam yang

Aku tidak pernah membayangkan kalau teman satu kelas sama aku akan diskorsing dari pondok. Ketika dibacakan absensi kelas dia tidak hadir katanya sih menemui orang tuanya. “Ali Wafa” salah seorang guru membacakan absensi kelas. “Izin tad, katanya sih menemui orang tuanya karena dia punya masalah”. Aku tidak tahu kalau permasalahannya bisa serumit seperti ini, hati ini merasa sedih sekali karena aku tidak bisa berbuat apa-apa. Sehingga dimalam perpulangannya aku hanya bisa menangis dengan sejadi-jadinya menyaksikan seorang sahabat pergi dari dekapanku. Aku hanya bisa menangis tidak bisa berbuat apa-apa, sedang teman-teman yang lainnya ikut menemani kepergiannya. Aku berharap kalau BUS malam ini tidak datang karena aku masih mau bercakap-cakap dengannya, namun hal itu hanya hayalanku semata. Bus itu datang membawa keberisingan yang tak menentu. “Fa, aku minta maaf aku gak bisa berbuat apa-apa dan aku juga tidak menyangka kalau permasalahannya bisa sampai seperti ini”, itulah kata-kata terakhirku sebelum kepergiannya. Sambil tersedu-sedu aku mengatakan itu. Aku merasa bersalah sekali, karena sebagai teman curhatnya aku gak bisa berbuat seperti apa yang ia harapkan.
Bus itu datang satu jam kemudian setelah kami menunggu lama di depan Babussalam. “Teman-teman jangan sampai kalian lupa sama aku” itulah pesan Wafa terakhir kalinya kepada kami. Kami mengiringi kepergiannya. Entah mengapa aku merasakan kehilangan yang begitu besar. Terkadang aku berfikir, kenapa Ust. Aminullah seakan tenang-tenang saja melihat anaknya diskorsing dari pondok, apakah memang ini merupakan kekesalannya kepada kami sebagai anak didiknya karena memang kami kurang care kebeliau.
Ya Allah berikanlah kesabarang kepada keluarganya, karena aku tahu betul bagaimana perasaan ayahnya ketika dipanggil langsung untuk mendatangi pondok, tidak jauh beda dengan permasalahanku kemaren. Aku akui aku memang bersalah tapi kesalahnku tidak seperti apa yang mereka sangkakan kepadaku. Hanya saja ini adalah takdir aku. Aku merasa bersalah terhadap kedua orang tuaku, meski mereka tidak menunjukkan wajah sedih Cuma saja aku tahu bagaimana perasaannya. Tapi aku bangga punya orang tua seperti mereka. Mereka sadari bahwa segala hal yang terjadi terhadap buah hatinya itu merupakan takdir, karena ayahku berkata ketika aku minta maaf kebeliau beliau berkata “ Nak, segala hal yang terjadi terhadap kamu, ketika kamu bahagia maka kami juga ikut bahagia dan ketika kamu bersedih kami juga ikut bersedih. Karena kamu merupakan tanggungan kami, kamilah yang bertanggung jawab terhadap kamu, diri kamu, pendidikan kamu dll. Nak cobaan orang yang punya anak kadang mujur/ bahagia dan begitu sebaliknya. Itulah hidup nak”.
Hati ini menangis mendengar jawaban yang begitu bijak dari seorang ayah. Begitujuga dengan ayahnya wafa. Karena aku masih ingat pepatah lama mengatakan bahwa sebuas-buasnya singa tidak mungkin makan anaknya. Aku masih heran dengan ucapan yang wali kelasku ucapkan, hati-hati jangan sekali-kali melanggar peraturan mungkin satu kali tidak ketahuan, tapi suatu saat pasti ketahuan. Mereka yang disebutkan namanya sama beliu “The Next”, termasuk aku dan wafa tidak ada yang selamat semuanya terkena masalah.
Wafa, aku hanya bisa mengatakan semoga kita masih bisa dipertemukan lagi sehingga kita bisa bercanda lagi dan kita bisa bercerita tentang masa lalu kita. Selamat jalan sahabat.

Kamis 28 Mei 2009

Label:

Cinta Itu Milikmu

Masih ingatkah kamu celoteh tentang bunga?
Yang menjadi penghias kala kita berjumpa
Ditempat biasa kita bicara

Itulah tempat cinta

Pada hamparan kehidupan ini
Kutelan masa menjadi sekuntum bunga
Untuk kupersembahkan kepadamu nanti
Ketika kita bisa berjumpa

Entah kapan
Aku pun tak tahu

Karena sekuntum bunga itu kini ditanganmu

Selasa 23 Juni 2009

Label:

NOVEL

Sehabis makan siang aku duduk di pojok selatan masjid. Sambil menunggu dikumandangkannya adzan ashar aku baca sebuah novel dengan tulisan di cover depan “Atas Nama Cinta”. Sebuah novel yang menceritakan kisah seorang pemuda yang diasuh oleh seorang pelacur dengan ayah angkatnya mantan pilot maskapay penerbangan. Novel ini begitu meyakinkan saya kalau cinta itu hanya milik Allah semata. Tak lama kemudian salah seorang teman mengagetkanku dari belakang sambil berkata “ Uy, lagi baca apaan ni serius amat. Sampe gak dengar panggilan aku. Emang baca apaan kamu?”. Biasa lah By namanya juga pemuda aku lagi baca novel “Atas Nama Cinta” lumayan untuk ngerefresh otak, soalnya sejak tadi pagi otakku lagi dipusingkan dengan pelajaran Matematika yang sulitnya minta ampun. Makanya aku baca novel ini kata teman-teman sih bagus.
“Waduh Bintang hari gini masih baca novel “Atas Nama Cinta”, Coba baca ni novel bagus, novel terjemahan karya Teresa Rodriguez bersama Diana Montane dan Lisa Pulitizer novel terbitan Atria Books, New York, 2007 ini diterjemahkan kedalam bahasa indonesia oleh Rigakittindiya dan Hilmi Akmal. Novel ini lebih mengerikan daripada novel stephen king, pernah baca belum novel ini memiliki banyak liku dan persimpangan daripada plot agatha christie, dan memiliki lebih banyak jumlah korban dibandingkan seri James Bond mana pun dan semua ini nyata bin”.
Novel ini di tulis dari kisah nyata dengan judul terjemahannya di cover depan “Tangisan Di Tengah Gurun” (The Daughters Of Juarez). Novel ini menceritakan tentang jerit dan tangis pilu para ibu yang kehilangan putrinya, rasa takut yang mencekam setiap permpuan di juarez. Sebuah tempat yang terletak di slelatan perbatasan meksiko dengan amerika serikat. Selama lebih dari dua belas tahun kota juarez in menjadi pusat epidemi kejahatan mengerikan terhadap perempuan. Penculikan, pemerkosaan, mutilasi dan pembunuhan. Tak kurang dari 400 tubuh perempuan tak bernyawa telah ditemukanm dan ratusan lainnya masih dinyatakan hilang.
“Haqqon (Beneran) novel ini bikin aku menemukan wahana baru tentang meksiko, jangan Cuma urusan cinta doang diurusin. Baca ni novel selain berisi tentang cerita sedih saja tapi Novel ini berisi tentang sejarah kelam yang dialami kota Juarez di meksiko sana.”
Tanpa basa basi aku ambil novel dengan judul “Tangisan Di Tengah Gurun” (The Daughters Of Juarez). Keesokan harinya dijam yang sama aku telah menamatkan novel yang tebalnya mencapai 396 halaman itu.
Aku baru menyadari bahwa hidup ini harus menyisakan sesuatu yang berharga dan hal itupun tak kan pernh aku capai tanpa aku membaca buku karena buku sebik-baiknya sahabat sepanjang zaman adalah buku, ternyata memang benar buku merupakan paling baiknya teman sepanjang zaman. Buku juga merupakan warisan paling berharga dibandingkan warisan lainnya karena buku menyimpan banyak fenomena yang tak ternilai harganya..
Di muat di Majalah QALAM Nasional edisi IV Juni 2009.

Label: