Minggu, 15 Maret 2015

Hegemoni Patronase-Politik dan Pragmatisme di Pergerakan Mahasiswa

Para Mahasiswa yang terhimpun dalam Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) Cabang Sumedang saat tengah melakukan demonstrasi
Kenaikan Harga BBM (21/11/14)
Kita tidak bisa mengingkari lahirnya sebuah bangsa berawal dari sebuah gejolak dan pergolakan. Bangsa Indonesia terlahir dari sebuah gejolak dan pergolakan yang bermula dari proses panjang penjajahan koloni Belanda-Jepang. Kekejaman para penjajah yang mengebiri rakyat Indonesia di bumi pertiwi, dan hak berkehidupan direnggut dengan secara tidak  manusiawi.

Berbicara mengenai sejarah panjang Indonesia, mulai dari penjajahan Belanda sekitar 350 tahun lamanya dan diakhir dengan kedatangan Jepang. Seperti halnya membuka luka lama yang tidak kian sembuh. Kendatipun dari gejolak dan pergolakan itulah, pergerakan-pergerakan kaum terpelajar pada waktu itu lahir menuntut manisnya kemerdekaan.
Jika mengacu pada literatur sejarah Indonesia, ada empat fase dari pergerakan mahasiswa Indonesia. Mulai dari fase pergerakan nasional (1900-1945), yang ditandai dengan lahirnya perhimpunan Indonesia  oleh mahasiswa Indonesia di Belanda pada 1925. Dari sinilah, ide dan gagasan besar tentang gerakan kaum muda yang terorganisir secara plural lahir. Hal ini ditandai dengan adanya sumpah pemuda pada 28 Oktober 1928 yang menjadi episode lanjutan dari gerakan kaum muda tadi.
Fase kedua dari keempat fase pergerakan mahasiswa, dimulai setelah proklamasi kemerdekaan dideklarasikan. Yaitu dari 1945-1965 yang kemudian lebih dikenal sebagai fase orde lama. Fase ketiga pergerakan mahasiswa semenjak orde baru berkuasa (1965-1998), sedangkan fase terakhir dimulai semenjak era reformasi (1998-sekarang).
Dari awal proklamasi kemerdekaan yang dibacakan oleh sang founding father yaitu Bung Karno, pada 17 Agustus 1945 lalu, gejolak dan pergolakan semakin menjadi-jadi. Banyaknya kepentingan-kepentingan luar negeri untuk kembali mengambil alih bangsa Indonesia, pun termasuk koloni Belanda yang tidak ingin melepas Indonesia menjadi bangsa yang merdeka. Tidak terkecuali ideologi komunis dengan PKI-nya semakin menjadi bumerang dari kemerdekaan itu sendiri. Perang ideologi berbangsa melahirkan tiga kekuatan besar partai politik, yaitu, PNI sebagai partai yang berpatron pada nasionalis-sekuler, Masyumi dengan patron nasionalis-islam, dan PKI dengan ideologi komunisnya.
Lahirnya banyak pergerkan mahasiswa yang dimotori oleh Himpunan Mahasiswa Islam (1947), dan beberapa pergerakan mahasiswa lainnya seperti GMNI, PMII, PMKRI, GEMSOS, dipicu ketimpangan politik. Perang ideologi antar partai dan golongan dalam menentukan ideologi dan asas bangsa Indonesia menjadi spektrum lanjutan, terlebih ketika terbentuknya piagam Jakarta. Bahkan pergerakan mahasiswa yang dijadikan alat dan afiliasi partai politik tertentu menjadi benalu dari proses demokrasi yang tengah diperjuangkan.
Dengan lahirnya order baru (1965), para aktifis pergerakan kemahasiswaan mendapat jatah jabatan dan kedudukan di lingkaran pemerintah. Keberadaan pergerakan kemahasiswaan semakin menguat dengan menyatunya seluruh pergerakan kemahasiswaan dalam tubuh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Kendatipun demikian, pergerakan-pergerakan mahasiswa masih tetap eksis dengan payung ideologinya masing-masing.
Kekuatan besar pergerakan kemahasiswaan terbukti kuat setelah berhasil menggulingkan kekuasaan orde baru. Mereka menganggap orde baru telah memberangus idealisme mahasiswa sebagai agent of change dan agent of social control. Reformasi berkebangsaan menjadi wajib hukumnya, karena pemerintah dinilai belum berhasil membawa rakyat pada tingkat kesejahteraan seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945.
Reformasi Indonesia menjadi titik nadir peran serta pergerakan kemahasiswaan, dimana mahasiswa menjadi aktor utama dari perubahan bangsa ini. Setelah itu, pergerakan mahasiswa kembali vakum dan terjajah dengan pragmatisme kemahasiswaan mereka. Saat ini, setelah reformasi pergerakan mahasiswa layaknya sebuah semak-semak belukar yang tidak terurus.
Padahal peran serta pergerakan mahasiswa tidak hanya sekedar menjadi agent , tetapi juga menjadi director of change dan director of social control. Glamor dan hedon seakan telah menjadi budaya dan tren baru di kalangan mahasiswa, dunia pergerakan kemahasiswaan sepi seperti tidak berpenghuni. Jikapun berpenghuni para aktivis pergerakan kemahasiswaan terlalu nurut dan patuh terhadap kebijakan kampus ataupun pemerintah yang tidak memihak kepada mereka. Dunia pergerakan kemahasiswaan sudah tidak plural, bahkan mahasiswa seperti halnya boneka percobaan dalam dunia pendidikan Indonesia.
Lebih parahnya lagi, dunia pergerakan kemahasiswaan belakangan ini ditunggangi kepentingan-kepentingan yang tidak pro-rakyat. Terlebih pada saat pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun 2014 ini, pergerakan kemahasiswaan terlalu pragmatis dan materialistis. Idealisme pergerakan kemahasiswaan terberangus kepentingan elit, independensi pergerakan kemahasiswaan tergerus oleh politik berbasis patronase.

Pergerakan kemahasiswaan telah terjajah, dan kemerdekaan hanyalah menjadi asap di atas ngebulnya bara api. Pergerakan kemahasiswaan harus segera bangkit, sebab Indonesia sedang krisis. Krisis komitmen berkebangsaan yang memperjuangkan bangsa berlandaskan integritas moral, kecakapan intelektual dan kecakapan manajerial. Lantas sampai kapan pergerakan kemahasiswaan terjajah oleh patronase poliltik?


*Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Gerakan yang terbit November 2014 

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda