Hegemoni Patronase-Politik dan Pragmatisme di Pergerakan Mahasiswa
Para Mahasiswa yang terhimpun dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Sumedang saat tengah melakukan demonstrasi Kenaikan Harga BBM (21/11/14) |
Kita tidak bisa mengingkari lahirnya sebuah
bangsa berawal dari sebuah gejolak dan pergolakan. Bangsa Indonesia terlahir
dari sebuah gejolak dan pergolakan yang bermula dari proses panjang penjajahan
koloni Belanda-Jepang. Kekejaman para penjajah yang mengebiri rakyat Indonesia
di bumi pertiwi, dan hak berkehidupan direnggut dengan secara tidak manusiawi.
Berbicara mengenai sejarah panjang Indonesia,
mulai dari penjajahan Belanda sekitar 350 tahun lamanya dan diakhir dengan
kedatangan Jepang. Seperti halnya membuka luka lama yang tidak kian sembuh.
Kendatipun dari gejolak dan pergolakan itulah, pergerakan-pergerakan kaum
terpelajar pada waktu itu lahir menuntut manisnya kemerdekaan.
Jika mengacu pada literatur sejarah Indonesia,
ada empat fase dari pergerakan mahasiswa Indonesia. Mulai dari fase pergerakan
nasional (1900-1945), yang ditandai dengan lahirnya perhimpunan Indonesia oleh mahasiswa Indonesia di Belanda pada 1925.
Dari sinilah, ide dan gagasan besar tentang gerakan kaum muda yang terorganisir
secara plural lahir. Hal ini ditandai dengan adanya sumpah pemuda pada 28
Oktober 1928 yang menjadi episode lanjutan dari gerakan kaum muda tadi.
Fase kedua dari keempat fase pergerakan
mahasiswa, dimulai setelah proklamasi kemerdekaan dideklarasikan. Yaitu dari
1945-1965 yang kemudian lebih dikenal sebagai fase orde lama. Fase ketiga
pergerakan mahasiswa semenjak orde baru berkuasa (1965-1998), sedangkan fase
terakhir dimulai semenjak era reformasi (1998-sekarang).
Dari awal proklamasi kemerdekaan yang dibacakan
oleh sang founding father yaitu Bung Karno, pada 17 Agustus 1945 lalu, gejolak
dan pergolakan semakin menjadi-jadi. Banyaknya kepentingan-kepentingan luar
negeri untuk kembali mengambil alih bangsa Indonesia, pun termasuk koloni
Belanda yang tidak ingin melepas Indonesia menjadi bangsa yang merdeka. Tidak
terkecuali ideologi komunis dengan PKI-nya semakin menjadi bumerang dari
kemerdekaan itu sendiri. Perang ideologi berbangsa melahirkan tiga kekuatan
besar partai politik, yaitu, PNI sebagai partai yang berpatron pada
nasionalis-sekuler, Masyumi dengan patron nasionalis-islam, dan PKI dengan
ideologi komunisnya.
Lahirnya banyak pergerkan mahasiswa yang
dimotori oleh Himpunan Mahasiswa Islam (1947), dan beberapa pergerakan
mahasiswa lainnya seperti GMNI, PMII, PMKRI, GEMSOS, dipicu ketimpangan politik.
Perang ideologi antar partai dan golongan dalam menentukan ideologi dan asas
bangsa Indonesia menjadi spektrum lanjutan, terlebih ketika terbentuknya piagam
Jakarta. Bahkan pergerakan mahasiswa yang dijadikan alat dan afiliasi partai
politik tertentu menjadi benalu dari proses demokrasi yang tengah
diperjuangkan.
Dengan lahirnya order baru (1965), para aktifis
pergerakan kemahasiswaan mendapat jatah jabatan dan kedudukan di lingkaran
pemerintah. Keberadaan pergerakan kemahasiswaan semakin menguat dengan
menyatunya seluruh pergerakan kemahasiswaan dalam tubuh Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia (KAMI). Kendatipun demikian, pergerakan-pergerakan mahasiswa masih
tetap eksis dengan payung ideologinya masing-masing.
Kekuatan besar pergerakan kemahasiswaan
terbukti kuat setelah berhasil menggulingkan kekuasaan orde baru. Mereka
menganggap orde baru telah memberangus idealisme mahasiswa sebagai agent of
change dan agent of social control. Reformasi berkebangsaan menjadi
wajib hukumnya, karena pemerintah dinilai belum berhasil membawa rakyat pada
tingkat kesejahteraan seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945.
Reformasi Indonesia menjadi titik nadir peran
serta pergerakan kemahasiswaan, dimana mahasiswa menjadi aktor utama dari
perubahan bangsa ini. Setelah itu, pergerakan mahasiswa kembali vakum dan
terjajah dengan pragmatisme kemahasiswaan mereka. Saat ini, setelah reformasi
pergerakan mahasiswa layaknya sebuah semak-semak belukar yang tidak terurus.
Padahal peran serta pergerakan mahasiswa tidak
hanya sekedar menjadi agent , tetapi juga menjadi director of change dan
director of social control. Glamor dan hedon seakan telah menjadi budaya
dan tren baru di kalangan mahasiswa, dunia pergerakan kemahasiswaan sepi
seperti tidak berpenghuni. Jikapun berpenghuni para aktivis pergerakan
kemahasiswaan terlalu nurut dan patuh terhadap kebijakan kampus ataupun
pemerintah yang tidak memihak kepada mereka. Dunia pergerakan kemahasiswaan
sudah tidak plural, bahkan mahasiswa seperti halnya boneka percobaan dalam
dunia pendidikan Indonesia.
Lebih parahnya lagi, dunia pergerakan
kemahasiswaan belakangan ini ditunggangi kepentingan-kepentingan yang tidak
pro-rakyat. Terlebih pada saat pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun 2014
ini, pergerakan kemahasiswaan terlalu pragmatis dan materialistis. Idealisme
pergerakan kemahasiswaan terberangus kepentingan elit, independensi pergerakan
kemahasiswaan tergerus oleh politik berbasis patronase.
Pergerakan kemahasiswaan telah terjajah, dan
kemerdekaan hanyalah menjadi asap di atas ngebulnya bara api. Pergerakan
kemahasiswaan harus segera bangkit, sebab Indonesia sedang krisis. Krisis komitmen
berkebangsaan yang memperjuangkan bangsa berlandaskan integritas moral,
kecakapan intelektual dan kecakapan manajerial. Lantas sampai kapan pergerakan
kemahasiswaan terjajah oleh patronase poliltik?
*Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Gerakan yang terbit November 2014
Label: ARTIKEL
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda