Jumat, 26 Juni 2015

Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia, Mimpikah?



Berbicara Indonesia terkini tidak hanya menyoal politik yang menjadi konsumsi publik setiap detiknya. Dari sekian banyak berita di media, pemberitaan politik selalu menjadi bahasan dan topik yang tiada habisnya. Padahal Indonesia mempunyai PR besar untuk berbenah diri supaya kedaulatan bangsa Indonesia bisa tercapai.
Tentunya dengan pemerintahan baru ini, bangsa Indonesia berharap besar supaya kedaulatan bangsa benar-benar bisa tercapai. Kedaulatan bangsa yang berpihak kepada rakyat bukan berpihak kepada penguasa  yang selalu mengebiri bangsa ini.

Read More »

Label: ,

Minggu, 15 Maret 2015

Hegemoni Patronase-Politik dan Pragmatisme di Pergerakan Mahasiswa

Para Mahasiswa yang terhimpun dalam Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) Cabang Sumedang saat tengah melakukan demonstrasi
Kenaikan Harga BBM (21/11/14)
Kita tidak bisa mengingkari lahirnya sebuah bangsa berawal dari sebuah gejolak dan pergolakan. Bangsa Indonesia terlahir dari sebuah gejolak dan pergolakan yang bermula dari proses panjang penjajahan koloni Belanda-Jepang. Kekejaman para penjajah yang mengebiri rakyat Indonesia di bumi pertiwi, dan hak berkehidupan direnggut dengan secara tidak  manusiawi.
Read More »

Label:

Senin, 05 Mei 2014

PROFESI PUSTAKAWAN; ETIKA, MORAL DAN PROFESIONALISME DALAM MENGHADAPI TANTANGAN TERKINI

Pustakawan Fikom Library and Knowledge Centre Fakultas
Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran sedang melayani
Pemustaka (User)
Dari awal, perpustakaan selalu hadir di tengah-tengah kehidupan akademisi sebagai sebuah tools. Menyibak perpustakaan kekinian, justru lebih menarik ketimbang mempersoalkan perpustakaan konvensional yang selalu dipandang sebelah mata. Belakangan ini memang berkembang, perpustakaan-perpustakaan termodernisasi yang menganggap bisa lebih dekat dengan pemustaka atau usernya.


Kita bisa melihat, bagaimana Taman Baca Masyarakat atau yang biasa kita kenal dengan TBM bisa jadi lebih merakyat dan lebih dekat dibandingkan perpustakaan-perpustakaan pemerintah yang ada. TBM pada dasarnya transformasi dari perpustakaan, tetapi tidak mengubah fungsi dan tujuan dari perpustakaan itu sendiri. Bahkan, keberhasilan TBM ini dibuktikan oleh Sudut Baca Soreang (SBS) yang dipimpin langsung oleh Agus Munawar. Dan terbukti pada tahun yang lalu (2013), SBS menjadi TBM terbaik tingkat nasional.

Kaitannya TBM dengan perpustakaan, pada dasarnya sangat berkaitan erat, mengingat TBM sendiri menurut interpretasi penulis merupakan afiliasi dari sebuah perpustakaan yang ada. Barangkali, di sinilah peran pustakawan memainkan peranannya sesuai dengan kode etik yang berlaku pada sebuah institusi.

Peran Pustakawan
Belakangan ini, dengan maraknya perpustakaan dalam wujud yang bermacam-macam menuntut pustakawan baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional, untuk ikut serta memperhatikan, dan mengevaluasi bagaimana sebuah perpustakaan yang ideal. Perpustakaan, pada dasarnya memiliki tanggung jawab yang besar demi mewujudkan amanat pembukaan undang-undang dasar yaitu untuk mencerdaskan anak bangsa.

Sutarno NS (2005:46) dalam bukunya yang berjudul Tanggung Jawab Perpustakaan: Dalam Mengembangkan Masyarakat Informasi, memberi penjabaran bahwa bagaimana sebuah perpustakaan memilliki konsekuensi logis atas keberadaannya di tengah-tengah masyarakat. Sutarno juga melanjutkan bahwa masyarakat yang dimaksud merupakan kelompok atau segmen masyarakat yang telah dtetapkah dan diarahkan untuk menjadi pemakai perpustakaan.

Tentu menjadi jelas, ketika kita berbicara mengenai perpustakaan terkini akan selalu bersinggungan dengan kiprah pustakawan sebagai pengelola dari sebuah perpustakaan. Barangkali, jika merujuk terhadap sebuah buku yang diterbitkan oleh Pengurus Besar Ikatan Pustakawan Indonesia yang disusun oleh Harahap (1998:4), dijelaskan bahwa:
“Pustakawan seseorang yang berijazah dalam bidang perpustakaan, dokumentasi, dan informasi sekurang-kurangnya tingkat pendidikan professional dan atau berkualifikasi setingkat yang diakui oleh Ikatan Pustakawan Indoensia, dan berkarya dalam bidang perpustakaan, dokumentasi, dan informasi, sesuai dengan metodologi keimuan yang diperolehnya.”

Peranan dari pustakawan sendiri bisa dibilang cukup sentral, hal ini dikarenakan berkaitan dengan berhasil atau tidaknya tujuan dan fungsi dari perpustakaan itu sendiri. Dalam hal pelayanan misalnya, Rachmawan Herwaman dan Zulfikar Zen (2010:57-59) menjabarkan dalam hal pelayanan pustakawan cukup beragam dalam hal melayani pemustaka atau user. Seperti di perpustakaan sekolah, perguruan tinggi ataupun perpustaaan khusus.

Di perpustakaan sekolah, pustakawan di samping menjadi tugas utamanya juga berperan sebagai guru. Sedangkan di perpustakaan perguruan tinggi pustakawan juga berperan sebagai dosen di beberapa institusi tertentu. Bahkan di perpustakaan khusus, pustakawan juga dituntu untuk menjadi peneliti, ataupun paling tidak sebagai mitra dari peneliti tersebut.

Paling tidak menurut Hermawan dan Zen di atas, peran dari pustakawan bisa dibagi menjadi empat peranan. Pertama, edukator. Edikator yang dimaksud, pustakawan dalam tugasnya sebagai pustakawan harus berjiwa pendidik, tentunya harus sesuai dengan fungsi pendidikan itu sendiri yaitu mendidik, mengajar dan melatih.

Kedua, manajer. Secara  nyata pustakawan merupakan manajer dari sebuah informasi, pustakawan melakukan manajerial informasi sebelum dikonsumsi oleh pemustaka atau user. Peranan dan tanggung jawab dari seorang pustakawan adalah, bagaimana kualitas dan kelayakan sebuah informasi dalam sebuah lembaga informasi, dalam hal ini adalah perpustakaan.

Ketiga, administrator. Peran pustakawan sebagai administrator menganggap bahwa pustakawan harus mampu melakukan tugas-tugas administrator seperti mampu menyusun, melaksanakan, dan mengevaluasi program perpustakaan. Selain itu, pustawakan juga harus mampu melakukan analisis problem dan mampu menghasilkan solusi-solusi.

Keempat, supervisor. Pustakawan berperan sebagai supervisor paling tidak mampu melaksanakan pembinaan professional baik terhadap sesama pustakawan, ataupun terhadap pemustaka itu sendiri. Selain itu, dalam hal ini pula dituntut mampu untuk bisa meningkatkan prestasi, kemampuan, dan keterampilan, serta memiliki wawasan yang luas.

Kode Etik dan Etika Kepustakawanan
Berbicara mengenai kode etik, tidak terlepas dengan yang disebut etika, etika merupakan bagian ataupun cabang dari filsafat. Seringkali kita mendengar istilah etika, etik, etis, ataupun moral. K. Bertens (2011:3-4) dalam bukunya yang berjudul “Etika” memberikan penjabaran yang cukup luas terkait etika. Menurut Bertens, etika berasal dari bahasa Yunani kuno (etimologi) yaitu ethos. Artinya cukup beragam, tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang habitat; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, dan cara berpikir.

Sedangkan dalam bentuk jamak yaitu ta etha, yang berarti adat kebiasaan. Bertens menjabarkan bahwa dari bentuk jamak itulah yang melatar belakangi terbentuknya istilah “etika”. Istilah “etika” ini menurut Bertens sudah dipakai oleh Aristoteles (384-322 S.M) seorang filsuf Yunani yang tidak asing namanya.

Kaitannya dengan etika, Hermawan dan Zen (2010:75-76) juga memberi penjabaran menarik. Etika (ethics), mempunyati pengertian standar tingkah laku dan perilaku manusia yang baik, yaknti tindakan yang tepat, yang harus dilaksanakan oleh manusia yang sesuai ketentuan moral pada umumnya.”

Kemudian apa yang dimaksud dengan kode etik, Hermawan dan Zen (2010:80) juga memberi penjelasan daam halaman yang selanjutnya bahwa kode etik merupakan sejumlah aturan yang mengatakan bagaimana orang berperilaku dalam dalam hidupnya atau dalam situasi tertentu. Dalam kacamata penulis, kode etik merupakan suatu aturan yang mengikat terhadap seseorang baik dalam kehidupan keluarga, ataupun dalam kehidupan organisasi yang terus berkelanjutan. Ketika aturan-aturan ini dilanggar maka akan ada konsekuensi terhadap orang yang melakukan pelanggaran kode etik tersebut.

Cukup banyak ragam dari kode etik tersebut, mulai dari kode etik pustakawan, Pegawai Negeri Sipil (PNS), kode etik guru atau dosen, kode etik wartawan atau jurnalis, dan banyak lagi kode etik yang lainnya. Hal itu, bertujuan supaya apa yang menjadi tujuan dan tanggung jawab baik lembaga ataupun perseorangan bisa terealisasi dengan baik.

Kaitannya dengan etika kepustakawanan itu sendiri, sesuai dengan penjabaran mengenai etika tadi, boleh dibilang merupakan perilaku atau tingkah laku yang baik pustakawan yang dilakukan terhadap pola pelaksanaan tugas perihal kepustakawanan tersebut.

Setidaknya, dalam kode etik pustawakan Indonesia terdapat kewajiban-kewajiban yang tentunya mengikat para pustakawan untuk patuh dan tunduk terhadap kewajiban-kewajiban tadi. Hermawan dan Zen (2010:111-120) menulis bahwa ada lima kewajiban pustakawan yang harus dilaksanakan dengan baik. Namanya sebuah kewajiban, tentunya mengikat pustakawan untuk mengaplikasikannya dalam kehidupannya pada lingkup kinerja. Kewajiban-kewajiban itu meliputi, kewajiban kepada Bangsa dan Negara, kewajiban Kepada Masyarakat, kewajiban kepada Profesi, kewajiban kepada rekan sejawat, dan kewajiban kepada pribadinya.

Ketika kode etik ini berlangsung dengan baik dalam pelaksanaannya, terutama oleh pustakawan, tidak akan terdapat pelanggaran-pelanggaran terlebih dengan tanggung jawab yang diembannya. Bukan malah, aturan ataupun kode etik itu hanya sebagai formalitas saja untuk melengkapi berkas-berkas kelembagaan belaka.

Problema dan Tantangan Pustakawan
Perpustakaan lagi-lagi kembali harus kita perbincangkan, hal ini karena seringkali perpustakaan tidak hanya dijadikan sebagai batu sandaran sukses tidaknya sebuah pendidikan. Melainkan, seringkali pula perpustakaan dijadikan alat untuk melakukan pelanggaran, baik dalam hal keuangan, pelayanan, ataupun yang lainnya.

Beberapa waktu yang lalu, menurut laman yang dirilis kompas online (22 Agustus 2013), terjadinya kasus korupsi dalam proyek pengadaan dan instalasi perpustakaan UI tahun 2010-2011, yang menjerat Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Manusia, Keuangan, dan Administrasi Umum Universitas Indonesia Tafsir Nurchamid. Menjadi rekam jejak buruk bagaimana perpustakaan menjadi ladang basah untuk memperkaya diri sendiri (korupsi).

Kasus tindak korupsi di atas, merupakan tindakan eksploitasi yang dilakukan oleh personal. Tentu hal itu merupakan pelanggaran dan kejahatan berkaitan dengan perpustakaan. Terjadainya suatau kasus tertentu, dalam hal ini adalah korupsi tidak terlepas dari kelalaian yang dilakukan oleh pustakawan dalam pengelolaan perpustakaan. Bahkan boleh jadi, terjadinya pembiaran terhadap orang-orang yang melakukan eksploitasi terhadap perpustakaan.

Bahkan mungkin tidak hanya kasus itu saja, dalam proses pengadaan koleksi bahan pustaka rentan terjadinya kejahatan. Eksploitasi, manipulasi dan lainnya yang termasuk dalam kejahatan terkait perpustakaan seharusnya pustakawan mengambil peranannya sebagai edukator, manajer, administrator, dan supervisor sebaik mungkin. Upaya-upaya untuk meminimalisir pelanggaran dan kejahatan terkait dengan perpustakaan, adalah tanggung jawab dari pustakawan sebagai manajer khususnya.
Berkaitan dengan keuangan ataupun anggaran, seringkali bersinggungan dengan kejahatan terhadap keuangan dan anggaran. Apalagi Perpustakaan dalam sebuah institusi pemerintahan ataupun swastas. Terlebih lagi di perguruan tinggi, yang notabenenya anggaran perpustakaan terbilang besar.

Merujuk terhadap apa itu perpustakaan menurut Sulistyo Basuki (1991:3) dalam Pengantar Ilmu Perpustakaan bahwa:
Perpustakaan ialah sebuah ruangan, bagian sebuah gedung, ataupun gedung itu sendiri yang digunakan untuk menyimpan buku dan terbitan lainnya yang biasanya disimpan menurut tata susunan tertentu untuk digunakan pembaca, bukan untuk dijual. Dalam pengertian buku dan terbitan lainnya termasuk di dalamnya semua bahan cetak (buku, majalah, laporan, pamphlet, prosiding, manuskrip (naskah), lembaran music, berbagai karya media audio-visual seperti film, slaid (slide), kaset, piringan hitam, bentuk mikro seperti mikro film, mikrofis, dan mikroburam (microopaque).”     

Itulah perpustakaan, eksploitasi dan kejahatan masih saja selalu ada. Tidak memandang siapapun orangnya, jabatannya, ataupun agamanya. Sehingga, etika dan moral itulah yang bisa menentukan bagaimana kualitasi kinerja seseorang terhadap organisasi ataupun terhadap institusinya, bertanggung jawabkah atau tidak.

Pustakawan juga harus mampu dan bisa menyikapi sebuah anggapan yang mengatakan bahwa pustakawan, hanya menjadi salah satu dari sekian banyak professional di bidang informasi. Pergeseran fungsi pustakawan  tadi dipengaruhi olehh paradigma baru perpustakaan sebagai sebuah sistem informasi global yang telah membuat kemungkinan tersedianya saluran-saluran informasi dan pengetahuan. Sedangkan paradigma lama tentang perpustakaan adalah sebagai pemeihara utama sumber informasi dan pengetahuan (Suwarno,2009:66).

Pustakawan dituntut untuk mampu menjawab tantangan terkini terkait kepustakawanan. Sehingga peranannya tidak dipandang sebelah mata oleh pihak manapun.



DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Basuki, Sulistyo. 1991. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.      
Bertens, K. 1993. Etika.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Harahap, Basyral Hamidy. 1998. Kiprah Pustakawan: Seperempat Abad Ikatan Pustakawan Indonesia. Jakarta: Pengurus Besar Ikatan Pustakawan Indonesia.
Hermawan, Rachman, dan Zen, Zulfikar. 2010. Etika Pustakawan. Jakarta: Sagung Seto.
Suwarno, Wiji. 2009. Psikologi Perputakaan. Jakarta: Sagung Seto
NS, Sutarno. 2005. Tanggung Jawab Perpustakaan: Dalam Mengembangkan Mayarakat Informasi. Jakarta: Panta Rei.
Internet:

Label: ,

Kamis, 27 Oktober 2011

SURAMADU DAN MEDITASI MORAL PEMUDA


Pasca peresmian SURAMADU oleh presiden Susilo Bambang Yudoyono 10 juni lalu. Pulau garam Madura seakan kedatangan wahana baru bagi perkembangan pendidikan dan penurunan kualitas moral pemuda madura. Bagaimana tidak, Madura yang dikenal sebagai pulau yang mendominasi daerah pesantren yang mengatas namakan pendidikan moral harus digusur dengan kebudayaan baru yang menyusup pasca peresmian SURAMADU. Hal ini terbukti dengan pemberitaan miring mengenai cewek Bispak (Bisa Pakai) yang terjaring dari siswi SMP dan SMA.
Oleh karena itu, penulis menganggap perlu membahas sepintas melalui tulisan sederhana ini mengenai hal tersebut. Sebenarnya siapakah yang patut disalahkan terhadap kejadian atau peristiwa tersebut?. Hal inilah yang mendasari penulis untuk menanggapi tentang pertanyaan di atas.
Read More »

Label:

Senin, 17 Agustus 2009

KURANG RELEVANSINYA UNAS DI INDONESIA TERKINI



Pendidikan Nasional kian tahun semakin merosot, diakui atau tidak, namun hal itu menjadi suatu permasalahan yang cukup rumit sekali untuk dipecahkan baik dikalangan pemerintah maupun dikalangan masyarakat. Hal tersebut tentunya disebabkan karena keteledoran pemerintah yang kurang teliti menghadapi berbagai persoalan mengenai sistem pendidikan Nasional pada era modernisasi saat ini, sehingga bisa dibilang kemerosotan pendidikan Nasional tersebut sangat drastis. Selalin itu, kemerosotan terhadap sistem pendidikan Nasional juga disebabkan karena sistem pendidikan Nasional memang sudah tidak relevan lagi dipergunakan dinegara Indonesia ini.

Buktinya, Sudah banyak korban dari kejahatan sistem pendidikan Nasional yang mengacu terhadap UNAS (Ujian Nasional). Ada yang putus sekolah, ada yang langsung terjun kedunia gelap dalam hal ini mengacu pada bisnis pemuas nafsu, bahkan ada yang sampai mengakhiri hidupnya dikarenakan tidak lulus dalam Ujian Nasional. Sungguh sangat mengecewakan.
Untuk mencapai kepada suatu keberhasilan dalam pendidikan tentunya pendidikan nasional saat ini sudah tidak mumpuni. Kenepa seperti itu, karena kita lihat kepada realita yang dihasilkan dari hasil pendidikan nasional dari tahun-ketahun agaknya semakin merosot. Dalam hal ini, penulis sangat setuju sekali terhadap sistem pendidikan pesantren. Karena pendidikan pesantren merupakan sarana pendidikan yang serba bisa dan luar biasa.
Sebagaimana KH. Muhammd Idris Jauhari menyatakan dalam bukunya bahwa pendidikan pesantrenlah yang mumpuni untuk dijadikan sistem pendidikan Nasional. Karena pada hakekatnya pendidikan pesantren merupakan hasil dari proses akulturasi damai antara ajaran Islam yang dibawa para wali dan pedagang (dulu) yang umumnya bernuansa mistis, dengan budaya asli (indigenous culture ) bangsa Indonesia yang bersumber dari agama Hindu dan Budha. Dalam sistem pendidikan pesantren, Alm. KH Mohammad Tidjani Djauhari, MA (Djauhari, 2008:82-84) juga mengatakan bahwa sistem pendidikan Pesantren memiliki keunggulan yang kompetitif (excellences atau mazaya) dibanding dengan sistem pendidikan lainnya.
Sebagai sebuah institusi yang berjiwa dan berbentuk pondok pesantren, tentu misi utama dan pertama dari pondok pesantren tersebut adalah pendidikan. Pondok pesantren bisa dibilang sebagai mubtadi’ dari lahirnya lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia yang cendrung mengikuti pola “Barat” yang modern. Oleh karenanya, pendidikan pondok pesantren acap kali dijuluki sebagai basis pendidikan tradisional yang merupakan khas pendidian Indonesia. Bahkan, Clifford Geertz menyebutkan bahwa pendidikan pesantren sebagai subkultural (Baca: Masa Depan Pesantren Agenda Yang Belum Terselesaikan).
Pasalnya, berdasarkan Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional pasal 36 ayat 3 menyatakan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan peningkatan Iman dan Takwa, peningkatan akhlak mulia, peningkatan (potensi, kecerdasan dan minat peserta didik), keragaman potensi daerah dan lingkungan, tuntutan pembangunan daerah dan nasional, perkembangan (ilmu pengetahuan, teknologi dan seni), agama, dinamika perkembangan global dan persatuan Nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Akan tetapi, jika hal itu kita pandang secara teoritis memang betul tapi berdasarkan realita yang ada, hal itu tidak terealisasi sama sekali khususnya dalam peningkatan Iman dan Takwa. Kenapa penulis menyatakan seperti itu. Karena berdasarkan bukti yang ada sistem pendidikan Nasional bukan membawa peserta didik dalam hal ini siswa/i terhadap kemajuan malah para peserta didik (siswa/i) frustasi yaitu, ketika mereka terbukti tidak lulus dalam Ujian Nasioanl (UNAS). Sehingga hal ini menjadi momok (problem) paling besar dibenak para pelajar Nasional dan akhirnya mereka bisa putus sekolah.
Disadari atau tidak oleh pihak pemerintah maupun masyarakat Indonesia. Sistem pendidikan nasional memang sudah tidah relevan lagi untuk dijadikan sistem pendidikan nasional saat ini. Maka dari itu, sebagaimana yang dikatakan KH. Moh. Idris Jauhari diatas bahwa sistem pendidikan pesantren-lah yang mumpuni dan relevan untuk dijadikan sistem pendidikan nasional saat ini. Wallahu A’lam Bissowab.

Label:

Jumat, 29 Mei 2009

INTEGRITAS PENDIDIKAN PESANTREN MODERN

Gambar Masjid PP. Al-Amien Prenduan Sumenep Madura Jawa Timur| Dok. Pribadi
Sebagai sebuah institusi yang berjiwa dan berbentuk pondok pesantren, tentu misi utama dan pertama dari pondok pesantren tersebut adalah pendidikan. Pondok pesantren bisa dibilang sebagai mubtadi’ dari lahirnya lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia yang cendrung mengikuti pola “Barat” yang modern. Oleh karena itu, pendidikan pondok pesantren acap kali dijuluki sebagai basis pendidikan tradisional yang merupakan khas pendidian Indonesia. Bahkan, Clifford Geertz menyebutkan bahwa pendidikan pesantren sebagai sub-kultural masyarakat Indonesia.

Pondok pesantren berdiri sezaman dengan masuknya Islam ke Indonesia, dan merupakan hasil dari proses akulturasi damai antara ajaran islam yang dibawa para wali dan pedagang yang umumnya bernuansa mistis, dengan budaya asli (indigenous culture ) bangsa Indonesia yang bersumber dari agama Hindu dan Budha.

Selain itu, Pendidikan pesantren merupakan sarana yang dirancang khusus oleh para ulama’ (dulu) untuk membentuk pola fikir yang produktif dan progresif. Dengan adanya pola fikir yang produkif dan progresif tersebut maka natinya akan menghasilkan pribadi-pribadi unggul yang nantinya diharapkan dapat merealisasikan sumbangsih pemikiran yang begitu besar terhadap agama dan bangsa. sehingga Pendidikan pesantren menjadi suatu hal yang sangat urgen sekali untuk dikonsumsi oleh berbagai kalangan khususnya di negeri kita ini, ketika zaman sudah mulai merancang pola kehidupan modernnya seprti halnya sekarang ini. Karena, sejarah berbicara, bahwa mayoritas mereka yang sukses khususnya di Indonesia merupakan alumni pondok pesantren. Seperti halnya Prof. Dr. Din Syamsuddin sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jamal D Rahman sebagai Pimpinan Redaksi majalah sastra terpopuler di Indonesia yaitu majalah Horison, Maftuh Basuni sebagai mentri agama dan masih banyak yang lainnya yang merupakan alumni pesantren.

Sistem pendidikan pesantren sudah terbukti bisa mencetak para santrinya menjadi pribadi-pribadi unggul, produktif dan progresif. Oleh karena itu, anggapan pemerintah yang sering menganak tirikan pesantren itu sebenarnya anggapan yang salah besar. Karena realita membuktikan para alumni pesantren sudah banyak yang membuktikan taringnya seperti halnya menjadi seorang politkus, penulis dan seorang pemimpin umat yang mempunyai karismatik tinggi.

Dengan berkembangnya zaman dari tahun ketahun, menandakan bahwa pondok pesantren itu harus mengadakan suatu penambahan sistem pendidikan. Karena kalau tidak direalisasikan penambahan sistem pendidikan tersebut maka pendidikan pesantren itu akan terkucilkan. Penambahan sistem tersebut tentunya dengan tidak menghapus kebiasaan-kebiasaan dari sistem pendidikan pesantren, yaitu seperti keterampilan baca kitab kuning. Penambahan-penambahan sistem pendidikan tersebut seperti halnya ilmu-ilmu mantiq dan ilmu-ilmu umum lainnya yang biasa diterapkan di sekolah-sekolah umum pada umumnya. Pendidikan pesantren seprtiinilah yang disebut sebagai pendidikan pesantren modern.

Sistem pendidikan pesantren modern merupakan acuan yang harus dikembangkan. Pendidikan pesantren modern seperti yang tercantum diatas bahwa tidak hanya mengajarkan anak didiknya supaya bisa baca kita kuning saja dan ilmu-ilmu umum lainnya, melainkan juga diajari bagaimana berinteraksi dengan masyarakat. Nah, inilah sebetulnya yang menjadi corak dari pendidikan pesantren modern. Karena kita tidak mungkin menemukan sistem seperti ini selain di pesantren modern, pendidikan diluar pesantren seperti yang kita ketahui hanya bisa menyajikan bagaimana siswanya bisa ahli ilmu mantiq, matematika, sosiologi. Pada dasarnya pendidikan itu bukan hanya diajarkan seperti hal itu saja.

Kita bisa mengambil kesimpulan, bahwasanya pendidikan pesantren modern merupakan pendidikan yang paling komunikatif untuk dijadikan konsumsi bagi masyarakat Indonesia sehingga bangsa Indonesia dapat dibentuk menjadi pribadi-pribadi unggul, produktif dan progresif. Oleh karena itu, seyogyanyalah bagi kita untuk mengimplemintasikan sistem pendidikan pesantren tersebut supaya anatomi pemerintah yang menganak tirikan pendidikan pesantren modern itu bisa terhapus di negeri Inodonesia ini.

Label:

Sabtu, 29 November 2008

MEREKA TAK PERLU DIEKSEKUSI

” Dan hendaklah kalian berlomba-lomba dalam kebaikan dan mencegah kemungkaran dan berimankepada Allah”

Reaksi luar dan dalam pada 12 oktober 2002 lalu yang telah Amrozi realisasikan dan kawan-kawan terhadap pulau syurga yang dikenal oleh berbagai macam ras maupun Negara itu memang bisa dikatakan begitu tragis yang telah menewaskan 202 orang. Negara Indonesia yang dikenal dengan Negara hukum itu harus disibukkan dengan perkara yang mereka lakukan sehingga mahkamah agung memutuskan utnuk melakukan eksekusi terhadap Amrozi dkk.
Akan tetapi, beberapa kali rencana itu gagal dengan alasan yang tak menentu, sehingga pada akhirnya mereka juga dikabarkan dieksekusi minggu dinihari 00.15 WIB. Hal yang sangat mengejutknan bahwasanya para eksekutor itu ada yang salah tembak , atinya tidak tepat sasaran.

Kenapa Mereka Harus Dieksekusi?

Kenapa mereka harus dieksekusi? Ya itu lah yang menjadi tanda Tanya besar dalam benak bangsa Indonesia khususnya bagi Islam itu sendiri. Karena realita yang ada mereka tidak bersalah yang salah itu justru pemerintah itu sendiri. Kenapa? Dikarenakan bangasa Indonesia bukanlah bangsa yang semena-mena dirusak oleh kelakuan para turis yang berkunjung ke Indonesia dengan membawa budaya mereka yang semrautan dan tidak memikirkan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangasa yang terkanal dengan budaya agamisnya. Berbagai aliansi telah memperingatkan pemerinah supaya para turis yang berkunjung ke Indonesia harus menjaga norma-norma yang berlaku di Indonesia. Akan tetapai, realita yang ada pemerintah tidak memperhatikan hal itu secara tegas mmalah dibiarkan begitu saja.
Maka jangan disalahkan mereka bertinak seperti itu karena hal itu merupakan upaya meminimalisir kerusakan moralitas bangsa Indonesia. Mereka beranggapan seperti ini kalau mereka melhat suatu kemungkaran dan mereka sudah memperingatkan tapi hal itu mereka anggap sebagai angin saja. Makanya mereka menganggap hal atau perbuatan mereka merupakan suatu kemungkaran yang harus dimusnahkan salah satunya dengan membom bardir klub-klub dibali. Pertanyaanya sekrang kenapa harus bali?
Jawaban yang begitu relevan adalah dikarenakan pulau bali merupakan sarang maksiat, dimana-mana maksiat didaratan maupun dipesisier pantai yang begitu banyak sumur-sumur bergelimpangan seperti kehilangan buih saja. Perbuatan mereka bisa dibilang menurut paham sang penulis adalah sebuah jihad untuk memperjuangkan dan untuk memperbaiki moraliltas bangsa yang sudah mulai terkikis disebabkan budaya-budaya barat yang berkembang dibangsa ini. Selain itu, islam itu tidak hanya sekedar agama yang bisa dikatan orang barat adalah agama yang lemah dan tidak idiologis contohnya kata mereka kalau mencuri harus dipotang tangannya dan masihbanyak lagi cemoohan yang mereka lontarkan terhadap agama islam.
Dengan adanya trio bombers bali itu yang telah melaksanakan tugasnya membom bardir bali membuktikan bahwasanya islam itu adalah agama yang kuat yang berdasar terhadap Al-Quran dan Al-hadits. Apabila ada suatu kemungkaran yang tidak bisa diselesaikan denga bahasa lisan maka kekerasn pulalah yang bakal menyelesaikannya.
Memang Rasulullah tidak mengajarkan umatnya untuk melakukan pembunuhan kalau beliu mengajarkan kepada umatnya untuk melakuykan pembunuhan maka umatnya akan mejnadi umat yang pembunuh. Tidak seperti itu, akan tetapi kemungkaran itu haus dimusnahkankalau tidak maka bencana-bencana kerusuhan dimana akan terjadi. Contoh kecilnya saja Aceh daerah yang termasyhur denga serambi mekkah itu harus menerima cobaan yaitu dengan adanya tsunami. Hal itu tiada lain adalah sebagai peringatan suapaya kemungkaran harus diminimalisr karena kabar terkahir bahwasanya disana ditemukan kebun ganja yang jika dipersentasekan lebih dari satu haktar. Selain itu juga kerusahn yang terjadi antara Gerakan Aceh Merdeka atau yang sering disebut GSM dengan NKRI yang menginginkan bhwa Aceh harus pisah dengan Indonesia. Aka teapi dengan adanya tsunami tadi semuanya bisa diminimalisir GAM sudah menyerahkan senjata terhadap NKRI kebunganja sudah dimusnahkan.
Kembali kepada permasalahan tadi tentang Amrozi dkk. Berbagai anathema yang dilontarkan para korban bom bali bahwasanay mereka harus secepatnya diseksekusi. Akan tetapi Australila yang telah kehilangan 88 orang akibat bom bali tadi banyak yang menyatakan supaya mereka tidak dieksekusi tapi di hukum seumur hidup saja.
Jadi menurut hemat sang penulis, eksekusi yang telah direalisasikan oleh pemerintah merupak tindakan yang salah karena akan berakibat fatal bagi bangsa Indonesia sendiri. Karena para teroris dunia tidak akan diam saja denga dieksekusinya Amrozi dkk. Pastinya mereka akan melakuakn tindakan lain.
Intinya, pembom bardiran yang dilakukan tri bombers bali itu begitu berdampak postif sekalli karena bisa meminimalisir perusakan terhadap moralitas bangsa Indonesia. Salah satunya para turis sedikit berkurang keindonesia khusunya ke bali dengan membawa budaya yang tidak etis bagi bangsa Indonesia.
Dan akhirnya semoga tullisan ini bisa bermanfaat bagi para pembaca dan supaya bisa menjadi investasi akhirat bagii sang penulis. Amien

Label: