Sabtu, 21 April 2012

KIPRAH MEMBACA (BUKU) DALAM PROSES MENCERDASKAN ANAK BANGSA

    ”Buku adalah jendela dunia”
Begitulah kata yang tidak asing lagi kita dengar, buku adalah sebuah panduan intelektual begitulah kalau boleh penulis bilang. Mencerdaskan anak bangsa sebagaimana tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar, menjadi hal yang cukup intens dan keharusan untuk dicapai. Untuk mencapai hal tersebut, membaca menjadi pilihan utama dalam proses mencerdaskan anak bangsa. Maka tidak salah, jika dalam Islam kita mengetahui bahwa wahyu yang pertama kali diturunkan oleh Allah kepada Rasulnya, Muhammad Ibnu Abdillah, adalah wahyu mengenai “membaca” atau dikenal dengan “Iqra’.”
   
Dalam lingkup perguruan tinggi saat ini, tingkat keberlangsungan pendidikan bertumpu kepada sejauh mana mahasiswa, berada dalam lingkungan dan semangat (ghiroh) membaca. Ketika membaca menjadi konsumsi utama mahasisawa, maka keberlangsungan pendidikan untuk mencerdaskan anak bangsa akan terealisasi dengan baik. Akan tetapi, ketika, lingkungan membaca tidak bisa terbentuk dalam lingkup perguruan tinggi, maka yang terjadi adalah kegagalan dalam proses mencerdaskan tadi. Sehingga boleh dibilang, membaca menjadi jalan utama dalam proses mencerdaskan anak bangsa.
    Fenomena yang terjadi belakangan ini, lingkungan membaca dan aktifitas membaca di perguran tinggi, masih belum berjalan maksimal. Tentu hal ini dilatar belakangi minimnya pemahaman dan pengetahuan betapa “membaca” menjadi tumpuan utama dalam proses mencerdaskan anak bangsa, khususnya di lingungan kampus. Benar adanya, jika boleh penulis bilang, saat ini, dunia perguruan tinggi tengah mengalami kemerosotan yang cukup drastis.
    Pasalnya, seperti yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si, dalam tulisannya yang berjudul “Peringkat Pendidikan Indonesia Menurun”, ia menulis bahwa pendidikan Indonesia pada tahun 2011 kemaren menurun, dari peringkat sebelumnya 65 menjadi peringkat 69. Berdasarkan laporan korang Kompas (3/3/2011) yang didasarka  pada paparan data dalam Education For All (EFA) global monitoring report yang dikeluarkan oleh UNESCO dan diluncurkan di New York (Senin, 1/3/2011), peringkat pendidikan Indonesia mengalami penurunan, dari 127 negara yang disurvei, Indonesia berada pada peringkat 69.
    Berdasarkan fenomena di atas, tentu kita akan merasa miris menyaksikan sebuah drama pendidikan bangsa Indonesia yang kian tahun semakin tertinggal. Sebenarnya  apa yang terjadi dalam tubuh pendidikan kita? Sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban dari masing-masing orang, entah karenah memang dari pelajar ataupun mahasiswanya yang tidak mau, atau dari pemerintah, Dosen, dan Guru yang kurang memperhatikan pendidikan kita.
    Terlepas dari itu semua, Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si, juga dalam tulisan yang sama menyampaikan bahwa, “pemerintah telah merumuskan ‘peningkatan daya saing’ atau competitiveness sebagai salah satu pilar visi pendidikan nasional. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah juga telah memperolah alokasi anggaran sebesar 20% dari APBN khusus untuk pendidikan.” Lantas, kenapa peringkat pendidikan Indonesia menurun?
    Nah, kaitannya dengan  membaca tadi, satu hal mungkin yang paling mendasar yang boleh penulis asumsikan saat ini, yaitu, lemahnya tingkat keberlangsungan aktifitas dan kebutuhan membaca dalam lingkup sekolah ataupun perguruan tinggi.

Buku; Jendela Dunia
Saat ini, informasi menjadi kebutuhan yang tidak bisa terelakkan lagi. Kebutuhannya hampir sejajar dengan kebutuhan hidup manusia saat ini, begitulah kalau boleh penulis bilang. Begitupun dengan keberadaan buku, maka sungguh luar biasa orang yang menciptakan sebuah kalimat yang menyatakan bahwa buku adalah jendela dunia. Walaupun, penulis sendiri tidak mengetahui siapa yang mencetuskan sebuah kalimat tersebut.
    Sebagai sebuah objek, buku merupakan alat di mana realisasi “Iqra’” yang terdapat dalam wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad SAW., bisa terpenuhi. Hanya saja, dalam konteks yang berbeda mungkin. Penulis di sini, mengasumsikan bahwa buku merupakan objek utama dari sebuah landasan utama dalam mencerdaskan anak bangsa yang kemudian diIkuti dengan proses dan kegiatan membaca.
    Hanya saja tidak seperti apa yang terjadi belakangan ini, mengenai kasus LKS (buku) yang terjadi terhadap siswa di berbagai sekolah di negeri ini, tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sesuai dengan laporan Koran Republika (21/04/2012) dalam tajuk yang diberitakan. Dalam laporannya, dinyatakan bahwa buku bisa menjadi alat yang menyesatkan. Buku bisa menjadi alat propaganda. Buku bisa menjadi alat yang berbahaya jika tidak tepat dalam penggunaannya.
Sebuah kasus yang tejadi di, di Majene, Sulawesi, sebuah buku agama untuk SMP, menerangkan bahwa Nabi pertama yang turun ke Bumi adalah Nabi Nuh serta ajaran Al-Qur’an disebarkan berdasarkan kebencian. Itulah sedikit penyesatan dalam sebuah buku yang bisa penulis sampaikan. Akan tetapi sebenarnya masih banyak kasus lainnya yang terjadi seperti “Istri Simpanan” yang terdapat dalam Buku pelajaran siswa SD di Jakart, dan seterusnya. 
    Tentu, bukan hal yang demikian yang diharapkan di sini. Sehingga bukan mencerdaskan anak bangsa yang terjadi, melainkan penyesatan dan propaganda politik mungkin akan terjadi di sini. Untuk itulah, penyeleksian buku yang baik dan sesuai proporsi dan kadar kemampuan siswa harus menjadi penting adanya.

Budaya Membaca; Sebuah landasan intelektual
Sebuah buku yang ditulis oleh Rohanda, Dosen Jurusan Ilmu Informasi dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Jatinangor, dengan judul “Budaya Baca Remaja”, menjadi buku yang cukup menarik untuk melengkapi tulisan ini. Sebuah buku yang mengupas tentang budaya (culture) baca remaja, dalam hal ini, Rohanda, mengambil responden yang menjadi objek dalam konten buku tersebut adalah remaja yang berada di kota besar seperti Bandung. Kendatipun, buku tersebut lebih fokus terhadap media cetak yang menjadi sumber bacaan remaja, namun memang, budaya membaca harus menjadi sebuah landasan utama dalam perjalanan hidup pendidikan bangsa ini.
    Jika stagnasi pendidikan, dan proses mencerdaskan anak bangsa terhenti dalam ranah politik praktis yang kian marak terjadi belakangan ini, lantas bagaimana masa depan pendidikan bangsa ini, yang lambat laun bukan tambah maju melainkan tambah pilu. Sejarah yang dipertontonkan saat ini, tengah jauh dari harapan kesejahteraan masyarakat pada umumnya, melainkan kesengsaraan dan kemelaratan kian menambah catatan merah bangsa Indonsia.
    “Sejarah tidak pernah beringsut secara linier. Evolusi senantiasa disertai oleh involusi. Ada kemajuan sekaligus ada kemunduran. Tidak terkecuali Indonesia.” Begitulah Donny Gahral Adian, mengungkapkan dalam tulisannya “Masa Depan Bernama Indonesia” yang dimuat di harian Kompas (21/12/2011). Lantas apakah Indonesia akan terus mengalami kemunduran? Tentu, kita tidak mengharapkan hal itu terjadi.
    Kembali kepada konten pembahasan, minimnya membaca, menjadi batu ganjalan utama perkembangan pendidikan di Indonesia. Untuk itulah, langkah praktis yang seharusnya dilakukan oleh berbagai pihak, baik itu, kalangan pemerintah, Dosen atau Guru, dan ataupun pelajar serta mahasiswa yang menjadi tonggak generasi penerus bangsa ini, bertindak seefektif mungkin bagaimana budaya membaca menjadi batu loncatan utama untuk mencapai generasi yang intelek dalam proses mencerdaskan anak bangsa. Akan menjadi sebuah mimpi using mencerdaskan anak bangsa ketika “budaya membaca” dikesampingkan dalam lingkup pendidikan di negeri ini.
    Entahlah, bagaimana masa depan pendidikan bangsa ini akan diusung.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda