Selasa, 16 Desember 2014

MANAJEMEN ORGANISASI SANTRI: (Sebuah Tinjauan Kritis Menuju Organisasi Santri Yang Mandiri)

MANAJEMEN ORGANISASI SANTRI:
(Sebuah Tinjauan Kritis Menuju Organisasi Santri Yang Mandiri)[1]

Prolog
Pondok pesantren berdiri sezaman dengan masuknya Islam ke Indonesia, dan merupakan hasil dari proses akulturasi damai antara ajaran Islam yang dibawa para wali dan pedagang yang umumnya bernuansa mistis, dengan budaya asli (indigenous culture) bangsa Indonesia yang bersumber dari agama Hindu dan Budha.
Mulanya Pondok Pesantren adalah perkembangan dari padepokan atau petapaan pada masa pra-Islam. Yaitu, tempat di mana Kiai sebagai pusatnya (dahulu pertapa atau resi) memberikan pelajaran tentang kebenaran, keyakinan, agama, ilmu kesaktian, dan lain-lain. Setelah memeluk Islam, dengan berbagai penyesuaian, padepokan menjadi Pondok Pesantren. Yaitu, tempat para santri yang sering datang dari tempat yang jauh belajar di bawah bimbingan Kiai.
Bahkan Pondok Pesantren sendiri ada yang bernuansa klasik (salafi) dan modern. Pondok pesantren klasik atau yang biasa disebut dengan Pondok Pesantren Salafi, proses belajar-mengajar masih dilakukan dengan cara dan metode lama. Sejalan dengan perkembangannya, Pondok Pesantren tidak sedikit merubah sistem pendidikannya ke arah yang lebih modern.
Biasanya Pondok Pesantren modern di Indonesia sistem dan proses pendidikan yang berlangsung berkiblat kepada Pondok Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo, atau Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep Madura.
Banyaknya alumni Pondok Pesantren yang terbilang sukses menjadi tokoh dan panutan berbangsa dan bertanah air. Menjadikan Pondok Pesantren tetap bertahan hingga detik ini, di tengah gejolak budaya barat yang mengebiri. Kendatipun berita miring terkait Pondok Pesantren yang dikatakan sebagai saragnya teroris, merupakan isu untuk melemahkan kekkuatan Pondok Pesantren. Kemandirian Pondok Pesantren sepatutnya harus tetap bisa dipertahankan, sebab menurut Clifford Geertz sendiri pendidikan Pondok Pesantren merupakan basis pendidikan tradisional yang merupakan khas pendidikan Indonesia (Jailani, 2010:14).

Organisasi dan Santri
Sebagai penuntut ilmu di sebuah Pondok Pesantren, santri merupakan objek sentral dari sebuah pendidikan di dalamnya. Berbagai aktivitas ke pondok pesantrenan yang tentunya berbasiskan keislaman, mereka dapatkan selama pendidikan. Aktivitas-aktivitas tersebut, tentunya tidak akan berjalan dengan baik ketika sistem yang dipakai tidak memberikan efek baik terhadap santri.
Istilah organisasi seringkali kita jumpai dimanapun, bahkan hampir di semua lini kehidupan kita, terlebih di lingkungan Pondok Pesantren. Organisasi bisa kita jumpai di masjid, kelas, kamar, lapangan, dapur, bahkan di kamar mandi sekalipun. Pertanyaannya adalah apa itu organisasi?
Organisasi jika ditinjau dari kesepakatan banyak tokoh merupakan sekumpulan orang yang memiliki kesepahaman yang sama untuk mencapai tujuan bersama. Jika di sekolah, Organisasi Siswa Intra Sekolah atau yang biasa disebut dengan istilah OSIS merupakan tempat di mana para siswa beraktivitas.
Cukup banyak pendapat para tokoh tentang organisasi, misalnya, James D. Mooney mengatakan bahwa : “Organization is the form of every human association for the attainment of common purpose” (Organisasi adalah setiap bentuk kerjasama untuk mencapai tujuan bersama). Pendapat yang lain seperti Chester I. Barnard (1938) dalam bukunya “The Executive Functions” mengemukakan bahwa : “I define organization as a system of cooperatives of two more persons” (Organisasi adalah system kerjasama antara dua orang atau lebih). Selain itu, Menurut W.J.S. Poerwadarminta, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, organisasi adalah susunan dan aturan dari berbagai-bagai bagian (orang dsb) sehingga merupakan kesatuan yang teratur.[2]
Sedangkan Pawit M Yusup (2012:278) dalam bukunya “Perspektif Manajemen Pengetahuan Informasi, Komunikasi, Pendidikan, dan Perpustakaan”, dengan mengutip dari Greenberg dan Baron mendefinisikan Organisasi sebagai “a social system consisting of groups and individuals working together  to meet some agreed-upon objectives.” Yaitu suatu sistem sosial yang terdiri atas kelompok dan individu yang bekerja secara bersama-sama untuk mencapai tujuan yang disepakati.   
Dari definisi tersebut, setidaknya ada tiga unsur dalam organisasi, yaitu, orang-orang (sekumpulan orang), kerjasama, dan tujuan. Dengan demikian, jika kita mendefinisikan organisasi adalah sarana untuk melakukan kerjasama antara orang-orang dalam rangka mencapai tujuan bersama, dengan mendayagunakan sumber daya yang dimiliki.
Berorganisasi setidaknya seorang santri bisa memperoleh manfa’at-manfa’at terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Jika dirunut manfa’at-manfa’at tersebut bisa menumbuhkan rasa kebersamaan antar santri, memperkuat tali persaudaraan, menyebarkan rasa tolong menolong, memperkaya informasi, meningkatkan kualitas pribadi, membangkitkan semangat juang, meningkatkan kualitas pikir, mengurangi sifat egoisme, membina kesatuan berpikir untuk menyamakanpemahaman mencapai tujuan, dan Melatih toleransi.

Manajemen Organisasi Santri
Istilah manajemen juga tidak asing terlebih di lingkungan Pondok Pesantren. Secara luas manajemen diartikan sebagai ilmu atau seni untuk mengelola ataupun mengatur sesuatu. Dalam software Kamus Microsoft Encarta 2009, banyak definisi dari manajemen yang berasal dari bahasa ingris yaitu management. Defenisi-definisi tersebut  meliputi, management  is administration of business, management is managers as group, management is handling of something successfully, dan management is skill in handling or using something.
 Definisi-definisi tersebut masih tergolong cukup luas, karena masih dalam lingkungan administrasi bisnis, hubugan kolektivitas manajer dan pegawainya, dan seterusnya. Pawit M Yusup (2012:10) masih dalam buku yang sama mendefinisikan bahwa “manajemen adalah seni mengelola sumber daya yang tersedia, misalnya orang, barang, uang, pikiran, ide, data, informasi, infrastruktur, dan sumber daya lain yang ada di dalam kekuasaannya untuk dimanfaatkan secara maksimal guna mencapai tujuan organisasi.”
Melalui definisi tersebut, jika kita mendefinisikan Manajemen Organisasi Santri, merupakan seni mengelola sumber daya yang tersedia untuk mencapai tujuan bersama dengan berdasar kepada aturan yang berlaku di Pondok Pesantren. Selain guru atau ustadz di Pondok Pesantren, santri merupakan sumber daya yang akan berdaya guna di masa depan. Sehingga sistem pendidikan di Pondok Pesantren harus benar-benar berpegang teguh terhadap ajaran keislaman dan keindonesiaan.
 Berpegang terhadap ajaran keislaman yang dimaksud, organisasi apapun yang ada dalam lingkungan Pondok Pesantren tidak boleh lepas dari ajaran keislaman. Karena dasar pemahaman di Pondok Pesantren adalah Islam. Berpegang terhadap ajaran keindonesiaan, karena Pondok Pesantren di Indonesia merupakan basis pendidikan tradisional bangsa Indonesia. Hal tersebut, juga termasuk dalam kualifikasi  mencintai Indonesia sebagai sebuah bangsa dan Negara, sebagaimana Rasulullah menyampaikan dalam haditsnya bahwa “Mencintai Negara/Bangsa adalah sebagian dari Iman.”
Organisasi santri bisa dikatakan solid jika prinsip-prinsip organsisasi bisa dijalankan dengan baik. Prinsip-prinsip tersebut meliputi Pertama, Penetapan tujuan yang jelas, Kedua,  Kesatuan perintah (the principle of unity of command), Ketiga, Keseimbangan, Keempat, Pendistribusian pekerjaan (the principle of distribution of work), Kelima, Rentang pengawasan (the principle of span of control), Keenam, Prinsip pelimpahan wewenang (the principle of delegation of authority), Ketujuh,  Prinsip departementasi (the principle of departementation), Kedelapan, Prinsip penempatan pegawai yang tepat (the principle of the right man in the right place), Kesembilan,  Prinsip koordinasi (the principle of coordination), dan Kesepuluh, Prinsip pemberian balas jasa yang memuaskan.  
Selain itu, organisasi santri yang baik adalah ketika rutinitas, kegiatan ataupun aktivitas organisasi di lingkungan Pondok Pesantren dijalankan dengan beretika, bermoral, dan berakhlaq mulia serta sadar akan peran dan fungsinya di dalam sebuah organisasi santri. Pentingnya nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, yang merupakan definisi dari “Etika” itu sendiri menjadi modal penting dalam berorganisasi (Bertenz, 2011:7).

Epilog
Layaknya sebuah organisasi santri, mengedepankan ajaran Islam adalah menjadi hal utama yang penting untuk di tekankan. Sebab berawal dari organisasi santri inilah, para santri bisa mengembangkan segala kreativitas mereka untuk menjadi pribadi-pribadi yang mandiri. Organisasi santri harus keluar dari kerangkeng perspektif bahwa Pondok Pesantren hanya bisa melahirkan alumni-alumni yang cupu, katro, dan tidak mengerti terhadap kehidupan di luar Pondok Pesantren. Organisasi santri harus bisa dan mampu merubah statemen dan perspektif tersebut, terlebih merubah dan membantah isu yang menganggap Pondok Pesantren adalah sarang dari adanya teroris.
Dari tulisan sederhana ini, penulis berharap Organisasi Santri harus bisa mandiri di tengah gejolak dan isu negatif terkait Pondok Pesantren. Mandiri yang dimaksud adalah kemampuan dalam berorganisasi untuk mengembangkan kemampuan, skill, berwawasan luas. Sehingga melalui organisasi santri inilah, lahir cendikiawan-cendikiawan muslim yang unggul.

Bahan Bacaan:
Bertenz, K. 2011. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Encarta Electronic Encyclopedia. 2009. Knowledge Management. Microsoft Corporation.
Jailani, Abd. Qadir. 2010. Menatap Masa Depan Bangsa. Madura: Kajian Waraal Qitor (KWQ).
Yusup, Pawit M. 2012. Perspektif Manajemen Pengetahuan Informasi, Komunikasi, Pendidikan, dan Perpustakaan. Jakarta: Rajawali Pers.
  









[1] Makalah disampaikan dalam Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa (LDKS) dengan tema “Be Breave and Responsible Leaders” di Pondok Pesantren Al-Aqsha Desa Cibeusi, Kecamatan Jatinangor Sumedang, pada hari Senin 10 November 2014.
[2] Lihat, Makalah Zainullah Rois, berjudul “Pemimpin Sebagai Organisator” disampaikan dalam Pelatihan Kepemimpinan Manajemen dan Organisasi (PKM) di TMI Al-Amien Prenduan Sumenep Madura Pada 12  Februari 2009. 

Label:

Kamis, 26 Juni 2014

MANAJEMEN PENGETAHUAN PERPUSTAKAAN KONVENSIONAL PERPUSTAKAAN BATU API JATINANGOR SUMEDANG

Dokumen Pribadi, diambil pada Sabtu, 17 September 2011|BATU API

Apa yang disampaikan Sulistiyo Basuki (1991:4) dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Perpustakaan mengutip dari Webster’s Third Edition International Dictionary Edisi 1961 menyampaikan bahwa “Perpustakaan merupakan kumpulan buku, manuskrip, dan bahan pustaka lainnya yang digunakan untuk keperluan studi atau bacaan, kenyamanan, atau kesenangan.”

Dari pemaparan di atas, ada pemandangan menarik yang dipertontonkan oleh Perpustakaan Batu Api yang berada di Jl. Jatinganor 142 A Sumedang dan berada tepat di sebelah mall Jatinangor Town Square (jatos). Pemandangan dari sekumpulan mahasiswa yang bergerombolan berkunjung ke perustakaan Batu Api, yang tidak hanya menyediakan koleksi-koleksi seperti perpustakaan biasanya, seperti perpustakaan universitas dan perpustakaan lembaga lainnya.

Penulis, dan teman-teman menemukan hal yang berbeda yaitu dari koleksi yang disediakan, mulai dari pelayanan, dan pemanfaatan layanan perpustakaan tersebut. Memang secara legal, Batu Api bukan termasuk perpustakaan lembaga apapun. Melainkan, milik pribadi yang bisa dikonsumsi oleh siapapun, dengan catatan harus jadi anggota perpustakaan terlebih dahulu. Pengalaman penulis, setelah menyambangi perpustakaan ini, kesan yang kami peroleh sangat unique.

Anton Solihin, pemilik perpustakaan Batu Api menuturkan bahwa semenjak awal perpustakaan ini, sudah didesain supaya menjadi perpustakaan yang bisa dinikmati oleh siapapun. Dari tahun ke tahun, setelah perpustakaan didirikan 1 April 1999 yang sudah berumur seikitar 13 tahun, sudah mengalami peningkatan yang cukup pesat. Mulai dari koleksi bahan pustaka, pun dengan anggota yang sudah cukup bertambah dari waktu ke waktu.

Hal ini dirasakan oleh penulis sendiri (Abd. Qadir Jailani) yang juga merupakan anggota dari perpustakaan Batu Api, merasakan kenyamanan dalam memanfaatkan bahan pustaka yang ada. Sesuai dengan apa yang disampaikan Sulistiyo Basuki di atas, perpustakaan seyogyanya memberikan kenyamanan terhadap pemustaka, dan hal inipun dirasakan oleh penulis (Abd. Qadir Jailani) dan beberapa anggota perpustakaan lainnya.

Ruang diskusi yang disediakan, memang memberikan pelayanan yang nyaman ditambah bisa berinteraksi dengan teman-teman lintas fakultas, dan bahkan lintas universitas (perguruan tinggi). Di samping itu, interaksi lebih lanjut dengan teman-teman anggota perpustakaan bisa berlangsung melalui media sosial seperti group facebook yang disediakan oleh pemilik perpustakaan ini.

Koleksi Yang disediakan
Sebagai sebuah perpustakaan milik pribadi, tentunya mulai dari pengadaan koleksi, pemeliharaan, dll. Tentunya melalui budgeting yang dikelola secara pribadi juga, sehingga tidak ada campur tangan dari lembaga apapun terkait hal tersebut. Hanya saja, Solihin menuturkan bahwa perpustakaan Batu Api memiliki jatah tiga sampai empat kali kegiatan yang bekerja sama secara langsung dengan penerbit Gramedia. Tentunya, dengan kerja sama tersebut, dalam pengelolaan perpustakaan ini jauh lebih membantunya untuk terus mengembangkan perpustakaan miliknya.

Di samping itu pula, perpustakaan Batu Api juga menyediakan koleksi lainnya yang tidak kalah menariknya, seperti Film, Vide Dokumenter, dll. Apa yang dilakukan oleh Solihin, senada dengan apa yang disampaikan Pawit M. Yusup (2012: 438) dalam bukunya Perspektif Manajemen Pengetahuan Informasi, Komunikasi, Pendidikan, dan Perpustakaan. Dia menulis bahwa:
“kita masih ingat bahwa pengetahuan (knowledge) yang dikelola oleh perpustakaan, termasuk perpustkaaan konvensional adalah jenis pengetahuan yang cenderung berkategori eksplisit, bahkan lebih mengarah kepada jenis penyimpanan pengetahuan yang eksplisit tadi, yakni ‘pustaka’, yang sering diidentikkan dengan buku dan urutannya. Padahal makna pustaka yang sebenranya adalah semua jenis bahan bacaan yang terdiri atas bahan dari kertas dan bahan dari bukan kertas, bahkan cetakan dan bahan noncetakan, dan bahkan sekarang berkembang dengan bahan-bahan audio dan audiovisual. Dari konsep yang terakhir ini nantinya dikenal dengan nama ‘bahan pustaka’ untuk maksud pustaka tadi. “

Inilah, yang dilakukan oleh Solihin dalam memanaj perpustakaannya sebagai perpustakaan pribadi yang diperuntukkan untuk siapapun tanpa memandang status apapun. Sehingga, dengan hal inilah perpustakaan Batu Api dari tahun ke tahun semakin berkembang maju.

Daftar Bacaan:
Basuki, Sulistiyo. 1991. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: PT Gramedia

Yusup, Pawit M. 2012. Perspektif Manajemen Pengetahuan Informasi, Komunikasi, Pendidikan, dan Perpustakaan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.  


*Catatan: tulisan ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Pengetahuan Perpustakaan (MPP) tahun 2013 lalu, ditulis oleh saya (Abd. Qadir Jailani), Ekky Risdiyanto Wicaksono, Anggie Oktaviana, dan Anggi Santosa. 

Label:

Rabu, 25 Juni 2014

WISUDA DAN BUDAYA LAUNCHING BUKU DI PP. AL-AMIEN PRENDUAN SUMENEP MADURA

Sore ini saya membaca sebuah status salah satu kawan saya di Pesantren, dalam statusnya memuat sebuah berita wisuda lulusan TMI Al-Amien Prenduan. Kebetulan, yang menulis status tersebut adalah salah seorang guru (ustadz) di pesantren yang dulu saya menimba ilmu di sana selama lima tahun. Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan yang berlokasi di ujung timur   pulau Madura, tepatnya di Kabupaten Sumenep, setiap tahunnya selalau menyelenggarakan acara wisuda. Baik itu di tingkat pendidikan pemula sampai di tingkat yang paling tinggi, yaitu di tingkat perguruan tinggi (Institute Dirosat Islamiyah Al-Amien).

Alan Setiawan
Pondok Pesantren Al-Amien terdapat tiga kelembagaan, Al-Amien I, Al-Amien II, dan Al-Amien III. Pembagian antara Al-Amien satu hingga Al-Amien tiga, barangkali bukan ingin menunjukkan perbedaan dan kualitas antar kelembagaan. Melainkan, lebih kepada kesukaan dan minat santri yang ingin mengembangkan keahlian dan kreatifitasnya dalam bidang apa. Tapi, yang jelas, saya tidak ingin menulis terkait profile lembaga ya, melainkan saya ingin menulis terkait ingatan saya yang kembali ke beberapa tahun silam, setelah melihat berita Wisuda.

Saya ingin menulis dan bercerita tentang Wisuda dan Launching buku di TMI (Tarbiyatul Mu’allimien al-Islamiyah) di Al-Amien II. Sebab, dulu saya belajar dan menimba ilmu di TMI, setidaknya  kurang lebih lima tahun. Boleh dibilang, perantara di Pesantren inilah saya bisa kemana-mana dengan tanpa khawatir  sedikitpun saya tidak bisa hidup. Saya yakin, dengan bekal yang saya peroleh di pesantren inilah saya bisa hidup mandiri dan bisa berdiri di atas kaki sendiri. Begitulah, keyakinan saya dulu sebelum saya merantau, meninggalkan Madura menuju Bandung, dengan satu tujuan “BELAJAR”.
***
Saya kemudian tertarik untuk membuka laman yang memuat berita tersebut, dengan segera saya langsung berselancar menuju laman yang ternyata laman tersebut adalah website Koran Radar Madura. Mengingat masa-masa di Pesantren dulu, yang bersinggungan dengan Koran Radar Madura, saya jadi teringat bagaimana dulu beberapa tulisan saya dimuat di Koran tersebut. Beberapa tulisan saya dalam bentuk opini, beberapa kali dimuat di kolom “Pesantren” yang memberi kesempatan kepada siapapun untuk bisa menulis di sana. Ah, sudahlah itu beberapa tahun yang lalu. Ya, sekitar lima tahun yang lalu beberapa tulisan saya beredar di Koran Radar Madura.
Moh. Nurul Kamil

Memang jauh-jauh hari saya mendapat kabar, bahwa di pesantren saya akan digelar wisuda bulan ini. Hanya saja, saya tidak terlalu tertarik untuk mengikuti berita perkembangan Wisuda. Tetapi, setelah membaca sebuah laman tadi, dari status seorang teman, saya kemudian tertarik untuk mengikuti perkembangannya, begitupun tertarik untuk menulis catatan ini. Ya, melalui laman judul berita “Lulus Pesantren Tulis Buku Tentang Dahlan”, inilah saya mencari tahu, siapa penulisnya, dan darimana.

Jujur saja saya kaget, ketika membaca lanjutan beritanya bahwa penulis buku dengan judul “The Way of Dahlan Iskan to be Succes” adalah anak yang saya mengira tidak punya potensi menulis. Namanya Benny Yuris Pratama, anak dari tetangga saya di rumah, yang dulunya dititipkan ke saya waktu saya masih di Pesantren. Istilah menitipkan anak itu merupakan istilah pesantren, dengan maksud supaya anaknya bisa mendapat perhatian khusus dari kakak kelasnya, ataupun dari kiyai dan ustadz di pesantren.   

Dan ternyata tidak hanya Benny saja yang mampu menulis , menerbitkan bukunya dan dilaunching ketika prosesi wisuda. Dari 310 wisudawan, 146 wisudawan berhasil melaunching bukunya dalam prosesi wisuda. Ini adalah prestasi yang luar biasa, dan barangkali belum ada pesantren di Indonesia yang bisa menyamai rekor santri di pesantren Al-Amien. Barangkali, jika Museum Rekor Indonesia (MURI) mengetahui hal ini, saya yakin, Al-Amien, terlebih TMI akan mendapat rekor MURI.

Sayangnya, negeri ini terlalu birokratis untuk berbicara penghargaan dan rekor, begitupun dengan rekor MURI.  Saya meyakini, mereka menulis buku dan melaunching dalam prosesi wisuda lahir karena kemauan dan kesadaran untuk menulis, seperti yang selalu dipesankan almarhum KH. Mohammad Idris Jauhari.

Budaya menulis buku dan melaunchingnya di saat prosesi wisuda, dimulai semenjak lulusan saya (2010), sebab tahun-tahun sebelumnya belum pernah ada wisudawan yang melaunching bukunya disaat prosesi wisuda. Saya dan teman-teman waktu itu meyakini, bahwa ini akan menjadi sejarah besar yang akan dikenang. Masih saya ingat dengan jelas, pada saat yudisum wisuda yang diadakan dimalam hari waktu itu, Alm. KH. Mohammad Idris Jauhari, sebagai pengasuh pesantren melaunching secara simbolis delapan buku yang ditulis oleh saya dan teman-teman saya. Dan sebagian besar dari buku yang kami tulis, sudah mendapat ISBN dan terdaftar di Perpustakaan Nasional.

Dengan hanya delapan buku, saya dan teman-teman saya pada 2010 lalu menulis buku dan melaunchingnya pada prosesi wisuda, tetapi pada tahun ini, 2014, sudah ada 146 buku yang ditulis oleh santri TMI Al-Amien. Setiap tahun, pada prosesi wisuda, saya memang mendapat kabar bahwa melaunching buku karya santri pada prosesi wisuda sudah menjadi budaya setiap tahunnya. Dan setiap tahunnya, selalu bertambah banyak jumlah buku yang dilaunching. Ini sungguh luar biasa, tahun depan semoga Rekor Muri bisa memberikan penghargaan rekor MURI. Tentu harus ada yang menginisiasinya, lantas siapa yang akan menginisiasinya? Semoga teman-teman saya, dan yang membaca tulisan ini, juga punya keinginan yang sama dengan saya.

Semoga budaya menulis di pesantren tidak pernah berhenti sampai kapanpun, begitupun dengan budaya melaunching buku pada saat prosesi wisuda. Saya selalu berdo’a demikian, hal ini sebagai bukti bahwa lulusan pesantren mempunyai nilai lebih dibandingkan mereka yang sekolah. Lulusan pesantren mempunyai nilai lebih, di samping karakter, kemampuan, dan berjiwa besar lulusan pesantren bisa dibilang multi talent.

Saya selalu marah besar ketika ada orang yang mengatakan bahwa lulusan pesantren katro, kolot, dan tidak berwawasan luas. Bahkan, pesantren yang hanya dipandang sebelah mata oleh pemerintah, begitupun dengan lulusannya. Terlebih karena TMI Al-Amien prenduan, tidak mengikuti evaluasi belajar nasional yang disebut Ujian Nasional (UN), sehingga Al-Amien dan beberapa pesantren mu’adalah yang lain susah untuk bisa masuk ke Perguruan Tinggi Nasional (PTN) melalui SNMPTN.

Jelas ini kesalahan terbesar pendidikan nasional saat ini, yah sudahlah, jadi terlalu serius tulisan saya karena membahas SNMPTN, PTN, dan pendidikan nasional hehe. Yang jelas, saya hanya ingin menulis catatan ini, dengan harapan, bahwa lulusan pesantren pasti bisa untuk melanjutkan studi di PTN, lulusan pesantren memiliki kelebihan dan kemampuan yang lebih dibandingkan mereka yang tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren. Lulusan pesantren, bisa dan mampu untuk bersaing dengan lulusan pendidikan-pendidikan SMS unggulan sekalipun.

Terlebih lulusan TMI Al-Amien Prenduan, dibekali kemampuan berbahasa yang baik (Arab dan Inggris), kemampuan menulis, kemampuan menalar (logic) dan menganalisis (research), dan masih banyak lagi kemampuan santri lulusan TMI Al-Amien yang akan mereka diketahui nanti setelah mereka hidup di alam lepas.


Tulisan dan catatan sederhana ini akan saya tutup dengan sebuah catatan yang ditulis oleh salah satu santri Al-Amien, yang mengutip sebuah rumus tantangan—respon Arnold J. Tonybe bahwa, tingkat keberlangsungan dan derajat kekokohan individu di masa depan akan selalu berbading—lurus dengan tingkat kemauan dan derajat komitmen individu hari ini untuk merespon tantangan terkininya secara cepat dan tepat. Dan lulusan Al-Amien mampu merespon tantangan terkininya secara cepat dan tepat. (*) 

Label: , ,

ORANG MADURA TAPI TAK PERNAH KE MADURA

http://commons.wikimedia.org/wiki/File:Madura_Decoration.jpg


Dua tahun yang lalu, tepatnya di akhir tahun 2012 saya ke Yogjakarta. Perjalanan dari Bandung-Yogjakarta memang tidak selama pulang kampung ke Madura, ya kurang lebih membutuhkan waktu dua belas jam dengan Bus. Kalau dengan Kereta Api, kurang dari itu tentunya apalagi dengan pesawat. Saya ke Yogyakarta karena ada acara pertemuan mahasiswa nasional yang menggeluti dunia jurnalistik, lebih tepatnya ada Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) di sana.

Bagi saya Yogyakarta bukan menjadi kota yang asing bagi saya, sebab dua tahun sebelumnya saya juga ke sana, kendatipun maksud dan tujuannya berbeda. Terlebih di Yogyakarta, sangat banyak teman-teman saya yang menimba ilmu di sana. Sehingga, saya tidak terlalu khawatir tidak ada siapa-siapa di Yogyakarta. Teman-teman dari kampung, pun teman-teman saya dari pesantrena yang menumpuk di Yogyakarta untuk menimba ilmu.
Jembatan Suramadu di malam hari, kerren luar biasa, hehe.
Foto diambil di http://antarjemputbandarajuanda.blogspot.com/

Saya berdua dengan kawan saya dari Bandung, saya dan kawan saya satu kampus, lebih tepatnya dia senior saya di kampus. Waktu itu kami berangkat sekitar jam delapan atau jam Sembilan malam. Esok harinya, kami harus sudah di Yogyakarta mengikuti pembukaan acaranya yang kebetulan lokasinya di kampus UIN Sunan Kalijaga. Prediksi saya benar, esok harinya sekitar jam delapan pagi saya dan senior saya sudah sampai di UIN Yogyakarta. Memang saya sengaja tidak mengabari teman-teman saya di Yogyakarta, saya sengaja akan mengabari mereka sesampainya di sana.

Sekitar jam delapan kami sampai, bukan langsung istirhat di hotel, asrama, atau apalah namanya. Melainkan kami langsung mengikuti acara pembukaan yang berlangsung di Gedung Serba Guna UIN Sunan Kalijaga. Sudah cukup ramai yang datang, ya kalau dihitung ada seribuan atau bahkan lebih yang mengikuti prosesi acara pembukaan. Acara ini diikuti oleh hampir seluruh daerah di Indonesia mengirimkan delegasinya.

Dari awal saya sudah yakin, pasti dari Madura aka nada perwakilannya untuk hadir dalam acara ini. Peserta yang hadir sangat meriah, ditambah keberadaan media massa baik cetak ataupun non cetak sangat ramai juga meliput prosesi acara pembukaan itu. Saya tidak terlalu banyak kemana-mana, saya mengikuti dengan serius prosesi pembukaan acara. Ada banyak tokoh nasional yang datang, hanya saja saya lupa namanya kecuali Akbar Tanjung yang saya tahu, selebihnya saya lupa.

Acara pembukaan berakhir sekitar jam dua siang,  ternyata duduk dari jam delapan sampai jam dua cukup melelahkan. Saya keluar dari tempat acara, sambil mencari secangkir kopi, paling tidak untuk tidak memanjakan mata saya yang sudah mulai menatap tak mampu meminta untuk dipejamkan. Tanpa disengaja, ternyata dari kejauhan saya melihat cukup banyak teman-teman saya dari Madura di sini, saya sengaja memang tidak langsung nyamperi teman-teman saya.

Dari kejauhan, setelah membeli secangkir kopi saya duduk di pojokan yang tidak banyak orang-orang berhamburan disana-sini. Di depan Gedung Serba Guna, saya melihat senior saya di pesantren sedang menjaga lapak (tempat) penjualan buku. Lebih terkejutnya lagi, ada senior saya di pesantren sedang jualan kopi, rokok, dan minuman ringan di bawah pohon depannya Gedung Serba Guna. Beres minum kopi, rasa kantuk yang sudah hilang saya hubungi teman-teman saya yang kuliah di sini, satu demi satu berdatangan teman-teman. Luar biasa loyalitas teman-teman saya di sini memang.

Di Yogyakarta, memang menjadi sarangnya orang Madura. Termasuk teman-teman saya, di Yogyakarta sangat banyak. Saya tidak ingin bercerita banyak tentang perjalanan saya selama di Yogyakarta. Saya hanya ingin bercerita tentang sahabat, teman, dan kawan saya yang baru kenal di acara ini.

Selesai acara pembukaan, peserta Mukernas termasuk saya dan senior saya dari Bandung dibawa ke Villa yang berlokasi dekat sekali dengan Gunung Merapi. Hanya saja, saya tidak beserta mereka dengan kendaraan yang disiapkan oleh panitia. Saya meminta teman saya nganterin ke Villa, setelah keliling-keliling Yogyakarta sebentar.

Di Villa inilah, saya bertemu dengan banyak orang dari asal daerah, mulai dari Papua (Jayapura) sampai dari Aceh saya bertemu dengan mereka. Menariknya, saya bertemu dengan banyak orang Madura. Ada yang memang delegasi dari Madura sendiri, tapi yang menarik saya bertemu dengan orang Madura, yang menjadi delegasi daerah-daerah lain, seperti dari Jember, Jakarta, Yogyakarta, dan dari Pontianak. Termasuk saya dari Madura, yang menjadi wakil dari Bandung. Begitupun dengan pengurus nasional yang mengadakan Mukernas, sekjennya berasal dari Madura (Pamekasan).

Dari sekian banyak yang saya temui dari Madura, saya tertarik untuk menceritakan orang Madura yang menjadi delegasi dari Pontianak. Hamidun namanya yang saya kenal, dari nama saja memang sudah Madura banget. Logat bahasa Maduranya juga sangat kental dank has sekali. Menariknya, Hamidun belum pernah sama sekali ke Madura walaupun dia keturunan Madura tulen, ayah dan ibunya juga Madura.  Hamidun bercerita, kalau sebetulnya di Madura juga masih banyak sanak familinya di sana.

Inilah menariknya, sebab terujinya kecintaan, loyalitas terhadap kesukuan dan keadatan ketika mereka sudah tidak di tanah asalnya (Madura). Bagaimana cerita selanjutnya tentang Hamidun yang  belum pernah ke Madura? Kecintaannya terhadap Madura, sungguh luar biasa, kendatipun Hamidun tidak di Madura, tetapi kebanggaannya terhadap Madura selalu dia tunjukkan.

Hamidun barangkali adalah satu dari sekian banyak orang Madura yang tidak tinggal di Madura, barangkali di tempat lainnya juga masih banyak. Bahkan, mungkin tidak hanya di dalam negeri saja, di luar negeri pun barangkali masih sangat banyak. Hanya merekalah yang bisa menentukan bagaimana kultur, adat, dan ataupun kesukuan Madura yang sebenarnya. 

Hanya merekalah yang di luar Madura yang bisa menunjukkan bahwa orang Madura mampu dan bisa menjaga kultur, terlebih kultur keislaman yang mendominasi di Madura. Melalui simbol sarung dan kopiah yang biasa mereka kenakan, sudah selayaknya tetap dijaga dimanapun berada, budaya mengaji ke surau di waktu maghrib sampai isya, juga budaya menghormati tamu dengan penghormatan yang sebaik-baiknya. Merupakan budaya yang terbangun di Madura, termasuk rumus Bapa, Babu, Guru Rato. (*)              

Label: ,

Selasa, 24 Juni 2014

SELEMBAR PUISI UNTUK SANG DEWI

Kutitipkan sederet puisi di sana
Ada semerbak rindu dan cinta ingin ku sampaikan
Sebab, Aku memang selalu ingin menulis puisi untukmu
Tanpa koma dan tanpa titik di sana

Tak perlu cemas, tak perlu khawatir
Karena puisi selalu melahirkan keindahannya sendiri
Seperti Rumah Puisi ini, selalu indah dipandang
Ditemani Gunung Singgalang dan Merapi yang menjulang

Semoga saja kau membacanya, seperti kau baca getaran rindu

Padang Panjang, 30 Juni 2013

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=4868646998790&set=a.1235857581325.2032760.1375784295&type=3&src=https%3A%2F%2Fscontent-a-sin.xx.fbcdn.net%2Fhphotos-xfp1%2Ft31.0-8%2F977008_4868646998790_824995734_o.jpg&smallsrc=https%3A%2F%2Fscontent-a-sin.xx.fbcdn.net%2Fhphotos-prn2%2Fv%2Ft1.0-9%2F1014382_4868646998790_824995734_n.jpg%3Foh%3D8f92201bc6313e6069d5403298776b84%26oe%3D541AE6BD&size=2048%2C1536

SEMOGA HUJAN

http://onedayonejuz.org/post/detail/31/teori-terbentuknya-hujan


Semoga hujan di kotamu bukan butiran air matamu, sayang

Sebab air matamu selalu melahirkan rindu yang menggenang

Tak perlu cemas dengan hujan yang datang siang ini, karena di tanahku hujan pun turun dengan riang


Ada canda yang belum sempat kita selesaikan
Karena hujan terburu-buru datang dari kayangan
Mengeja setiap tutur yang tak terbalaskan

Bukan harap yang menjadi keniscayaan keabadian
Bukan pula percintaan Adam dan Hawa yang seringkali melenakan 
Tapi, karena kita tidak pernah bisa memahami pesan hujan

Barangkali, hujan kali ini berjodoh

13/10/2013 14:31 WIB

https://www.facebook.com/notes/abd-qadir-jailani-el-a/semoga-hujan/10151807529244751

Label:

PEMBENTUKAN KESAN POSITIF DALAM PEMILU MELALUI PENERAPAN PSIKOLOGI LINGKUNGAN (Lingkungan informasi dan Komunikasi)


Pendahuluan
Belakangan ini, pesta demokrasi tengah marak di Negara kita Indonesia. Pemilihan gubernur tergelar di berbagai tempat, februari yang lalu Jawa Barat menggelar pesta demokrasinya. Beberapa waktu yang lalu, Jawa Tengah dan Bali telah melaksanakan pemilihan umum (pemilu) gubernurnya, dan sebentar lagi Sumatera Selatan juga akan menggelar pemilu. Perhelatan akbar yang digelar dan dikemas dalam bentuk pemilu merupakan bagian dari sebuah paham demokrasi dalam suatu Negara, khususnya Indonesia.

Kaitannya dengan pemilu, desain politik yang dibangun oleh cagub atau cawagub telah membentuk persepsi publik terhadap mereka. Berbagai pencitraan positif dibangun untuk meraup suara terbanyak, memberikan kesan positif terhadap publikpun terjadi setiap waktu. Baik melalui media, atau terjun langsusng (blusukan) seperti yang dilakukan Joko Widodo, gubernur DKI Jakarta sekarang dari fraksi PDI-P di kala kampanyenya.

Baik itu cagub ataupun cawagub dalam proses pencalonannya, ketergantungan terhadap media sangat tampak. Di mana mereka mengiklankan pencalonannya di berbagai media, baik media cetak ataupun media elektronik lainnya. Kita bisa lihat, betapa lingkungan informasi dan keomunikasi (politik) tengah dibangun dengan tujuan untuk meraup suara terbanyak dalam pemilu.

Dalam konteks lingkungan informasi dan komunikasi yang dibangun oleh para cagub atau cawagub, khususnya pada media elektronik. Tentunya publik yang kesehariannya tidak terlepas mengikuti perkembangan informasi melalui media elektronik, perlahan akan mulai terhipnotis dengan desain politik tersebut. Pencitraan, blusukan dan membentuk kesan positif untuk publik menjadi senjata ampuh dalam liputan media.

Proses pembentukan kesan positif publik terhadap mereka yang mencalonkan diri menjadi cagub dan cawagub, menurut penulis diawali dengan sebuah pemahaman dalam teori psikologi lingkungan seperti yang ditulis Avin Fadilla Helmi (1999; 1), dalam buletin psikologi, berjudul Beberapa Teori psikologi Llingkungan bahwa manusia, dalam hal ini publik dianggap sebagai sebuah black-box yaitu kotak hitam yang siap dibentuk menjadi apa saja.

Dari itulah, pada tulisan ini penulis ingin mencoba membuat sebuah analisis sederhana terkait pemilu begitupun dengan lingkungan informasi dan komunikasi yang terbentuk di dalamnya. Dengan berbagai kasus yang terjadi, tidak hanya money politic atau politik uang yang terjadi, tetapi asumsi penulis banyak publik yang mulai terhipnotis dengan desain politik yang dibangun sedemikian rupa. Sehingga pada suatu waktu, publik memilih dan pada akhirnya merasa kecewa dengan pilihannya sendiri terhadap cagub dan cawagub yang dipilihnya.

Harapannya, tulisan ini bisa menjadi rujukan baru terhadap tulisan terkait komunikasi politik, informasi, dan semacamnya yang berkaitan dengan psikologi lingkungan, dan atau pun lingkungan informasi dan komunikasi.  
Permasalahan
Merujuk terhadap latar pendahluan di atas, penulis ingin menyimpulkan beberapa masalah terkait Lingkungan Informasi dan Komunikasi dalam pemilu, yang nantinya akan penulis coba untuk mencari penyelesaiannya. Beberapa masalah tersebut meliputi: 
1)   Apa yang dimaksud dengan Lingkungan Informasi dan Komunikasi, terkhusus dalam kaitan pemilu dalam desain politik.
2)   Bagaimana sebetulnya karakteristik dan tafsiran terhadap manusia (publik) dalam kajian psikologi lingkungan (informasi dan komunikasi).
3)   Benarkah manusia (publik) bisa dibentuk menjadi pribadi apa saja?

Pembahasan
Rujukan tunggal yang penulis ambil dalam pembahasan ini, adalah tulisan Avin Fadilla Helmi seperti yang tertulis dalam kata pendahuluan di atas. Dalam teorinya, manusia dianggap sebagai Black-Box atau kotak hitam yang bisa apa saja. Teori ini, digunakan dalam psikologi lingkungan untuk memahami terkait manusia.

Kajian yang dilakukan oleh Avin dalam tulisannya, dinyatakan bahwa Psikologi Lingkungan merupakan bagian dari psikologi, yang merupakan cabang dari psikologi yang masih muda. Pernyataan ini ditulis sekitar empat belas tahun yang lalu (1999), hingga saat ini kajian ini terus dilakukan khususnya oleh para akademisi. Begitupun dengan penulis saat ini, mencoba mencari sebuah pembenaran terkait dengan psikologi lingkungan, yang berkaitan dengan terbentuknya sebuah persepsi public melalui lingkungan yang lingkungan yang sengaja dibentuk dan dikemas (baca:desan politik).

Dari beberapa permasalahan yang tersebut di atas, pada awalnya menurut asumsi penulis munculnya lingkungan informasi dan komunikasi diawali dengan munculnya Psikologi Lingkungan dalam cabang psikologi. Avin dalam pengantar tulisannya menulis tentang tradisi yang ada dalam psikologi.  Menurutnya, teori psikologi berorientasi untuk menjelaskan dan memprediksi perilaku manusia. Adapun tradisi-tradisi yang ada dalam Psikologi, yaitu ada sebuah perilakuk yang disebabkan oleh faktor dari dalam (deterministik), ada juga perilaku yang disebabkan oleh faktor lingkungan atau proses belajar, dan yang terakhir dari tradisi-tradisi dalam psikologi bahwa perilaku disebabkan oleh interaksi manusia-lingkunga.

Mengenai psikologi lingkungan, Avin menyebutnya sebagai suatu ilmu perilaku yang berkaitan dengan lingkungan fisik. Seperti disebut sebelumnya, psikologi lingkungan tergolong masih muda (1999). Dari asumsi di atas, jika mencari muasal munculnya lingkungan informasi dan komunikasi, boleh dibilang muasalnya dari psikologi lingkungan ini.

Lantas kemudian, jika diambil sebuah kongklusi sementara, penulis menyatakan bahwa lingkungan informasi dan komunikasi, merupakan suatu ilmu yang mempelajari terkait informasi, dari mulai prosesnya hingga ke tahapan mengkomunikasikannya. Dalam kasus pemilu gubernur dan cawagub, anggapan penulis bahwa desainer politik ataupun konseptor yang berada di balik proses kampanye pemenangan salah satu calon, tentu sudah bisa memetakan dan menafsir publik pemilihnya.   

Menurut Avin dalam tulisannya, yang memaparkan bahwa manusia seperti halnya Black-Box yang bisa dibentuk menjadi apa saja. Di sisi lain, penulis setuju dengan pernyataan ini sebab menusia bisa dibentuk apa saja tergantung proses,  bagaimana membentuknya, dan siapa yang membentuknya. Dari tafsiran ini, penulis membaca bahwa publik pemilih dalam pemilu cagub dan cawagub layaknya kotak hitam tadi. Mereka (publik) bisa digiring untuk memilih siapapun tergantung bagaimana proses pembentukannya berlangsung. Pencitraan, menciptakan kesan dengan blusukan yang kemudian dipublikasi di media, akan menciptakan persepsi publik tentunya.

Pada tahapan kampanye dengan pencitraan, pembentukan kesan publik dengan blusukan yang langsung dipublish di media, menjadi sebuah hypnotist method untuk meraup suara terbanyak dari publik. Dalam teorinya, yang dikenal dengan “Teori Level Adaptasi” semestinya dalam kampanye pemenangan salah satu calon, harus mengenal teori ini. Bagaimana kemudian stimulasi level yang optimal  bisa menciptakan pemilih yang optimal terhadap calon yang diusungnya.

Teori Level Adaptasi ini, merupakan teori yang menjelaskan bagaiamana stimulasi level yang rendah maupun level tinggi mempunyai akibat negative bagi perilaku. Level stimulasi yang optimal adalah yang mampu mencapai perilaku yang optimal pula (Veirtch & Arkkelin, 1995, dalam Avin, 1999;11).

Walaupun dalam teori media massa, kita mengenal teori uses and gratification yang berarti masyarakat (massa) sudah bisa menilai informasi yang baik dan yang tidak baik. Tapi sampai saat ini, pencitraan, penciptaan kesan positif melalui media massa masih cukup efektif diberlakukan oleh banyak orang, terkhusus cagub dan cawagub dalam pemilu.

Dengan kata lain, manusia ataupun publik bisa dibentuk menjadi apa saja tergantung bagaimana dan cara apa yang digunakan untuk membentuknya.  

Penutup
Tulisan sederhana ini, tidak akan bernilai apa-apa jika tidak mendapatkan respon melalui tanggapan-tanggapan dari berbagai pihak berupa kritik yang membangung. Untuk itulah, lingkungan informasi dan komunikasi tidak hanya menjadi sebuah formality grand theories ketika manusianya tidak ikut aktif dalam lingkungan tersebut.

Begitupun dari apa yang penulis coba kaji dengan studi kasusnya pemilu cagub dan cawagub, melalui sebuah teori yang dinamakan “Teori Adaptasi Lingkungan” kita bisa melakukan apa saja tergantung bermain di ranah dan di level mana komunikasi dan informasi yang terbangun. Lebih-lebih dalam pemilu, level yang optimal akan menghasilkan hasil yang optimal pula dan begitulah seterusnya.

Sebagai penutup, semoga tulisan ini bisa membuka cakrawala berpikir kita menjadi lebih berwarna dan berwawasan lagi. Terakhir, penerapan teori akan berdaya guna optimal ketika digunakan secara optimal pula. Terima kasih!

Rujukan:
Helmi, Avin Fadilla. 1999. Beberapa Teori Psikologi Lingkungan. Bulletin Psikologi:tahun VII, No. 2 Desember.


*Catatan: Tulisan ini dibuat oleh Saya (Abd. Qadir Jailani) dan Fitri Leona. Ditulis tahun 2013 lalu, untuk memenuhi tugas kuliah. Semoga Bermanfaat. 

Label:

HIMAKA ADALAH BAGIAN SEJARAH BERHARGA KAMI (Catatan Di Akhir Kepengurusan)

Setiap Orang [adalah] sejarawan untuk dirinya sendiri (Every Man His Own Historian)
-Carl Becker-
Ucapan syukur tak terhingga terus menghiasi lidah dan bibir kami atas karunia dan nikmat Allah, sehingga dengan karunia dan nikmat Allah tersebut kami bisa menjalankan kewajiban kami dengan penuh rasa tanggung jawab akan amanah yang kami emban, sehingga kami bisa menjalankan tugas-tugas sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu Informasi dan Perpustakaan atau yang familiar disingkat HIMAKA (Ketua dan Wakil) “Kabinet Sinergi” periode 2013-014 dengan baik, meski di sana sini masih terdapat kesalahan dan kekurangan. Karena hal itu merupakan bagian dari kami sebagai makhluk ciptaan Allah yang tidak mempunyai sifat kesempurnaan.
           Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan tiada berujung dan penghargaan kami khususnya kepada Ketua Prodi/Jurusan Ilmu Informasi dan Perpustakaan periode sebelumnya dan periode yang baru menjabat, Ibu Dra. Wina Erwina, MA., dan Drs. Pawit M Yusup, MS. Begitupun kepada para Dosen di Prodi Ilmu Informasi dan Perpustakaan, yang tiada lelah telah membimbing, membina, memberi arahan, saran dan masukan kepada kami selaku pengurus HIMAKA.
            Tentunya, kami menyadari tidak ada yang sempurna di dunia ini. Begitupun dengan kepengurusan yang kami emban selama satu periode. Hiruk-pikuk, susah-senang, ataupun kesan dan kesan yang lainnya barangkali hal itu menjadi bagian yang paling berharga yang kami rasakan di akhir kepengurusan. Mengapa demikian? Bagi kami nikmatnya berorganisasi, nikmatnya menjadi aktivis walaupun skala kecil telah memberikan pengalaman dan dampak yang luar biasa bagi kami.
            Kami masih ingat jelas, ketika kami dilantik pertama kali dengan adat sunda. Kami dikukuhkan oleh pihak Prodgram Studi Ilmu Informasi dan Perpustakaan, yang diwakili oleh Pak Asep Saeful Rahman, Pak Kusnandar, Pak Samson CMS, dan yang lainnya. Dengan senjata kujang yang diserahkan kepada kami, melalui Ketua dan Wakil Ketua HIMAKA sungguh menjadi momentum yang sacral bagi kami.
            Tidak terasa, ternyata sudah setahun yang lalu momentum itu kami rasakan. Hari ini, semuanya telah menjadi bagian dari sejarah kami. Karena bagaimanapun setiap orang adalah sejarawan untuk dirinya sendiri (every man his own historian) kata Carl Becker. Begitupun dengan perjalanan yang selama ini telah kami jalankan sekuat tenaga kami selama menjadi pengurus.
            Menjadi bagian dari HIMAKA adalah suatu kehormatan bagi kami, ketika kami meneriakkan “HIMAKA” secara kompak kami seluruh pengurus menjawab dengan teriakan yang keras “Information is Our Quality” dan “Ijo Ijo Ijo”. Sungguh, kala itu bulu kuduk seakan berdiri. Setelah semuanya hanya menjadi bagian dari sejarah perjalanan kami, seketika itu pula sejarah perjalanan kami harus terus berjalan seiring waktu ke waktu. Perjalanan dan perjuangan hidup, tidak boleh berhenti ketika kami teleh selesai menjadi pengurus HIMAKA. Bagi kami, sampai kapanpun HIMAKA terus melekat erat dalam dalam diri kami seperti rembulan di malam hari. Cerah, bersinar, menjadi jawaban dari pertanyaan “Kemana akan melangkah”.
            Ber-HIMAKA telah mengajarkan kami bagaimana membina sebuah keluarga yang harmonis dan romantis. Dengan berbagai terpaan dan cobaan yang kami hadapi, kami masih bisa tersenyum lepas, tertawa terbahak-bahak. Sebab, bagi kami seberapa besar cobaan yang menerpa kami, kami tidak berjalan sendiri-sendiri. Kami selalu bersama, menjalankan sebuah keluarga yang telah kami bangun susah payah ini. Karena HIMAKA tidak bisa hanya dijalankan sendiri-sendiri, HIMAKA harus dijalankan bersama-sama secara sinergis demi mencapai tujuan bersama.
            Setelah perjalanan ini berada pada suatu titik nadir, yaitu kami harus menyerahkan keluarga (HIMAKA) yang telah kami bangun selama satu periode, di mana adik-adik kami-lah yang akan meneruskan perjuangan ini. Tidak ada yang sempurna (no one is perfect) di dunia ini, kesempurnaan hanya milih Allah, Tuhan sekalian alam. Begitupun dengan kepengurusan yang selama satu periode kami jalankan, pasti ada banyak kekurangan, kesalahan, dan kami mengakui itu semua. Dengan harapan, adik-adik kami bisa lebih baik menjalankan kepengurusan HIMAKA di periode selanjutnya.
           Bagi kami, tantangan-tantangan di masa mendatang telah menunggu kami. Walau bagaimanapun kami harus siap dengan tantangan-tantangan yang ada, karena masa mendatang hanya kamilah yang bisa menentukan. Barangkali rumus Arnold J. Tonybe, sejarawan berkebangsaan ingris yang menyatakan bahwa, tingkat keberlangsungan dan derajat kekohan individu di masa depan, akan selau berbading lurus dengan tingkat kemauan dan derajat komitmen individu hari ini untuk merespon tantangan terkininya secara cepat dan tepat. Semua itu, kami dapatkan selama kami menjadi pengurus HIMAKA.          
           Kepada siapapun yang telah berjasa dalam perjalanan kami, kami ucapkan banyak terima kasih yang tak terhingga. Kami memohon ampun kepada Allah, jika kami belum bisa mengemban amanah selama dikepengurusan HIMAKA dengan baik. Kami juga mohon maaf, kepada siapapun khususnya kepada keluarga besar Program Studi Ilmu Informasi dan Perpustakaan Fikom Unpad, apabila selama ini kami banyak salah. Semoga Allah, selalu memberikan yang terbaik bagi kita semua. Amien…!!!

Label: ,

Sabtu, 21 Juni 2014

MATI SURINYA PERADABAN MAHASISWA


Mubes HIMAKA Tahun 2012
Gejolak dan geliat pemikiran yang semakin rapuh, telah melahirkan sebuah peradaban baru; mahasiswa tanpa nilai. Tersisih oleh kemajuan peradaban barat, pun dengan K-Pop ala korea telah memudarkan semangat nilai-nilai kemahasiswaan yang semestinya terbangun. Tugas mahasiswa yang semestinya menjadi agen perubahan (agent of change) dan agen pengontrol sosial (agent of social control), hanya menjadi bumbu-bumbu penyedap rasa kemahasiswaan yang mulai pudar.
           
Kondisi mahasiswa terkini, tak jauh beda seperti melihat kondisi bangsa ini yang mulai rapuh nilai-nilai kebangsaannya. Degradasi moral mahasiswa, mencerminkan betapa kondisi bangsa ini tengah mati suri dan belum bisa bangun kembali. Westernisasi budaya yang sudah merajalela, telah meninabobokkan mahasiswa untuk terlelap dalam keindahan semu. Hedonisme dan budaya konsumtif, telah melekat erat dalam diri mahasiswa terkini.

Di mana kondisi mahasiswa yang terkenal kritis, idealis walaupun agak terlihat pragmatis. Dan dimana kondisi mahasiswa yang dulunya mempunyai peranan penting dalam memerdekakan dan ikut serta membangun bangsa ini. Toh walaupun bangsa ini telah merdeka sekian tahun yang lalu, tapi nyatanya kemerdekaan sejati belum ada di negeri ini. Lihat kaum miskin di pinggiran jalan, penderitaan terjadi di hampir pelosok negeri ini. Tidak hanya itu pula, berbagai tindakan kejahatan yang dilakukan oknum penguasa telah menjadi sarapan pagi di berita nasional.

Sangat frontal sekali, melihat kondisi mahasiswa terkini dibanding dengan kondisi mahasiswa dulu awal-awal diproklamirkannya kemerdekaan bangsa ini. Kritis, intelektualis, dan penuh dengan semangat kemerdekaan untuk memerdekakan bangsa ini kearah sejatinya kemerdekaan. Tetapi saat ini mahasiswa, hanya menjadi labelitas jenjang pendidikan yang belum menemui arah kependidikannya.

Buktinya, kualitas pendidikan Indonesia menurut UNESCO tahun 2011 mencatat bahwa, kualitas pembangunan pendidikan (Education Development Index) Indonesia berada pada posisi 69 dari 127 negara di dunia. Kualitas pendidikan Indonesia masih kalah jauh dengan Negara tetangga seperti Malaysia dengan posisi ke-65 dan Brunei, yang merupakan Negara kecil berada pada posisi ke-34.   

Bangsa ini belum merdeka
Sejatinya, mahasiswa adalah tonggak keberhasilan suatu bangsa. Sebab itulah amanat pembukaan UUD 1945 yaitu “…mencerdaskan anak bangsa”, semestinya harus direalisasikan dengan seutuhnya. Generasi bangsa ini tidak boleh ada yang tidak berpendidikan, generasi muda harus mengenyam pendidikan. Mirisnya memang, kendala biaya selalu menjadi momok besar ketidak berhasilnya pemerintah dalam mengelola pendidikan bangsa ini.

Dalam hal ini, pendidikan seharusnya disakralisasi menjadi sebuah kesepemahaman hidup bahwa pendidikan adalah nyawa kebangsaan. Di tingkat mahasiswa, pendidikan di perguruan tinggi masih dianggap cupu dan seakan tidak sakral. Terbukti, dunia kampus saat ini sepi dari kekritisan mahasiswa. Tidak keliru jika muncul istilah kupu-kupu dan istilah kunang-kunang di dunia kampus.

Saat ini, mahasiswa lebih gemar mendengarkan ceramah dosen di kelas tanpa mengkritisi apa yang disampaikan dosen. Padahal, dosen bukan Dewa yang selalu harus diikuti kata-katanya (Soe Hok Gie). Bahkan, dunia kampus terlihat sepi ketika kegiatan perkuliahan usai. Sebab mahasiswanya telalu bangga dengan sebutan kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang). Begitupun mahasiswa terlalu senang ketika disebut sebagai mahasiswa kunang-kunang, kuliah nangkring-kuliah nangkring.

Bagus, kalau misalnya tempat nangkringnya adalah ruang baca, diskusi, dan ataupun ruang intelektualitas lainnya. Tetapi, bukan perpustakaan atau ruang diskusi yang menjadi tempat nangkring, akan tetapi mall, bioskop, dan tempat hiburan lainnyalah yang menjadi tempat nangkring. Apakah ini budaya mahasiswa, entahlah.

Militansi mahasiswa sudah tidak kita temui saat ini, jiwa kekritisannya sudah ternodai oleh budaya barat dan K-Pop ala korea. Mahasiswa saat ini sudah dijajah oleh budaya luar, terasing oleh budaya sendiri. Sungguh menyakitkan ketika bangsa ini dipersandingkan dengan negara lain (Malaysia, Brunei, dll), Indonesia selalu tersisih dan terasingkan.


Mahasiswalah yang semestinya harus keluar dari singgasana hedonisme dan konsumtif, menuju singgasana yang lebih megah lagi yaitu singgasana kemerdekaan sejati. Sudah saatnya mahasiswa sebagai agent of change dan agent of social control untuk menjadi komando terdepan kemajuan bangsa ini. Bobroknya peta perpolitikan bangsa ini, seharusnya memicu untuk mendobrak degradasi moral politik kebangsaan. Semoga, mahasiswa menemukan kembali gairah kritis, dan intelektualitasnya. 

Label: