Selasa, 14 Januari 2014

ISLAM SEBAGAI SEBUAH SPIRIT DALAM TRANFORMASI PARADIGMA DEMOKRASI (Studi Tentang Sprit Islam dalam mentranformasi Nilai-Nilai dan Paradigma Demokrasi Terkini)


I.       Pendahuluan
Secara mendasar Islam hadir ke permukaan bumi ini, sebagai sebuah proses pencapaian terhadap akar ideologisnya, yaitu sebagai Rahmatan Lil ‘alamien. Sejarah telah mencatat bahwa Islam telah banyak merubah tatanan dan pola kehidupan manusia, hingga saat ini. Semenjak awal, Islam yang dibawa oleh Muhammad Ibnu ‘Abdillah, telah membuktikan keberhasilannya, baik dalam pendidikan, ekonomi, pun dalam dinamika politik (Lihat: Tarikh al-Islam).
Sebagai sebuah tolak ukur keberhasilannya, di berbagai belahan dunia terdapat umat Islam, yang meyakini bahwa hanya Islamlah nantinya yang akan membawa mereka ke dalam kebahagiaan sejati. Apapun yang terjadi nantinya, mereka telah meyakini walaupun dengan berbagai konsekuensi yang ada, terhadap apa yang mereka yakini itu benar.
Dalam keberagaman memilih kepercayaan (dien;agama) khususnya di Indonesia, Islam menduduki peringkat teratas penduduk Indonesia yang memilih kepercayaan mereka terhadap Islam. Hal ini mengindikasikan bahwa keberhasilan Islam dalam membangun tatanan kehidupan yang islami, dan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan (al-Qur’an dan al-Hadits) masih menggema di negeri ini.
Aturan-aturan islami yang berlaku tentunya melekat erat dengan individu pemeluknya. Dengan mendominasinya Islam sebagai kepercayaan yang diyakini penduduk negeri ini, cara pandang hidup merekapun akan lebih tercermin islami. Islam mendominasi dibanding aturan-aturan kepercayaan (dien;agama) lainnya. Hal tersebut, juga tercermin dalam paham demokorasi sebagai landasan kenegaraan kita Indonesia, setelah reformasi 1998 lalu (Munir Fuady, 2010:26).
Walaupun memang beberapa buku yang menjelaskan mengenai Demokrasi, seperi Konsep Negara Demokrasi, yang ditulis Munir Fuady, sekaligus sebagai rujukan utama pada makalah ini, menafsirkan bahwa para pemimpin bangsa khususnya di Indonesia, seperti Soekarno dan Soeharto pada dasarnya telah melaksanakan konsep demokrasi tadi. Kendatipun pada hakekatnya mereka berdua antidemokrasi. Meminjam istilah Munir Fuady mengenai demokrasi, sebetulnya demokrasi mempunyai wajah buram, sebab demokrasi bukanlah masalah hitam atau putih yang jelas, dan bukan pula dalam hitungan angka-angka dengan menggunakan rumus matematis. Sehingga, dengan buramnya wajah demokrasi tadi, Munir Fuady, mengatakan bahwa demokrasi memiliki seirbu wajah  (Munir Fuady, 2010:10).
Dengan seribu wajah yang ada pada tubuh demokrasi, menjadi sulit untuk ditebak bahwa pola kepemimpinan pada suatu pemerintahan menganut paham demokrasi apa tidak. Hanya saja, yang menjadi kata kunci dasar pada demokrasi tersebut bagi penulis, tentunya tidak terlepas dari asas dasar demokrasi tersebut (democracy; rakyat dan pemerintahan).
Peta perpolitikan di Indonesia, yang notabenenya demokrasi dan politik merupakan sekawanan yang selalu terikat, atau bahkan demokrasi merupakan sepupunya politik menurut Munir Fuady. Hal tersebut tentunya, menurut tafsiran Munir Fuady, bahwa demokrasi dan politik bisa jadi “malaikat”, tetapi di sisi lain juga bisa jadi “setan” (Munir Fuady, 2010:11). Di sinilah, kemudian Islam memasukkan paham ideologisnya sebagai rahmatan lil ‘’alamien, sebagai pengontrol untuk mencapai sebuah pemerintahan yang adil dan makmur. Bahkan tidak hanya karena Islam menjadi salah satu kepercayaan yang mendominasi di Indonesia, tetapi lebih kepada historikalnya, bahwa Islam punya peranan penting terhadap berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini (Asep Saeful Muhtadi, 2008:89).
Untuk membaca peta Islam dan Demokrasi, penulis tidak akan membahas Islam dari sisi ajarannya. Melainkan, Islam akan lebih diposisikan sebagai sebuah spirit (Rahmatan lil ‘alamien), sedangkan demokrasi akan lebih ditafsirkan sebagai sebuah tatanan nilai nantinya. Ketika, Islam dibaca sebagai sebuah ajaran, sedangkan demokrasi dibaca sebagai sebuah tatanan nilai, maka tidak akan terdapat korelasi nantinya. Begitupun ketika demokrasi dibaca sebagai sebuah bentuk, dan wujud, sedangkan Islam dibaca spirit, tentu akan mendapat kebuntuan nantinya. Tetapi, ketika Islam dibaca sebagai sebuah spirit (Rahmatan Lil ‘Alamien) tentu ada korelasi yang berkaitan antara keduanya.
Adapun yang menjadi tumpuan permasalahan di sini terletak pada, sudahkah Islam dan Demokrasi benar-benar menjadi satu pemahaman majemuk tentang sebuah sistem kenegaraan? Di samping itu juga, wacana politik Islam, menjadi bagian penting dalam kajian pada tulisan ini. Dengan harapan, nantinya bisa menemukan titik temu antara demokrasi dan islam, dalam sebuah sistem pemerintahan di Indonesia.

II.      Pembahasan;  Sejarah Demokrasi Klasik dan Modern
Pembahasan ataupun wacana yang tidak henti-hentinya menjadi topik menarik untuk  dikaji adalah mengenai demokrasi, politik, dan tebtybta Islam. Banyak yang mengkaji dan mengkritisi bahwa antara Islam, demokrasi, dan ataupun politik tidak bisa disatukan. Hal itu justru melanggar kodrati absolut, mengenai Islam yang merupakan ajaran dari langit, sedangkan demokrasi dan politik lahir di bumi.
Tidak sedikit pula, yang menyatakan bahwa Islam sebagai sebuah ajaran yang berakar ideologis Rahmatan Lil ‘alamien, tentunya memiliki korelasi terkait terhadap segala sesuatu yang lahir di bumi, pun dalam demokrasi dan ataupun politik. Seorang intelektual Pakistan, Jamil Wasti Syed, menulis artikel yang berjudul Islam dan Sosial-Demokrasi (versi bahasa Indonesia, diambil dari majalah Ummat, No. 4 Thn. IV/3 Agustus 1998).
Dalam tulisannya tersebut, yang juga pernah dimuat dalam harian berbahasa inggris yang terbit di Pakistan, edisi 3 Juli 1998. Jamil Wasti Syed menyatakan bahwa Islam merupakan agama yang sangat demokratis dan egaliter, hanya saja sering disalah artikan, dan bahkan menurutnya Islam sering dianggap sebagai agama konservatif, yang mendukung status quo masyarakat feudal.
Anggapan yang demikian itu dibantah secara tegas oleh Jamil Wasti Syed,bahwa Islam tidak demikian adanya, bahkan dia mengutip sebuah perkataan Abu Bakar diwaktu pelantikannya sebagai khalifah pertama, yaitu, "Saudara-saudara, aku telah terpilih menjadi pemimpin (khalifah) kalian. Aku akan mematuhi hukum yang kalian miliki dan aku tak punya hak untuk menentukan hukum yang baru. Aku memerlukan saran dan bantuan kalian. Jika aku berlaku benar, dukunglah. Jika melakukan kesalahan, tegurlah."

A.     Demokrasi Klasik
Untuk melacak akar sejarah Demokrasi, tentu penulis berkaca kepada bangsa Yunani, sebab demokrasi diyakini lahir pada bangsa Yunani. Secara etimologi (asal muasal kata), demokrasi berasal dari kata “demos” yang berarti rakyat, dari “kratos” yang berarti pemerintahan. Dari itulah, demokrasi dimaknai sebagai “pemerintahan dari rakyat” atau “pemerintahan oleh rakyat” (Munir Fuady, 2010:1).
Dengan kata lain, demokrasi merupakan sebuah sistem pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sebagai sebuah sistem pemerintahan yang berakar terhadap rakyat, tentu keberpihakan kebijakan pemerintahan juga semestinya berpihak kepada rakyat. Bukan berpihak terhadap elit politik dan penguasa kekuasaan pada sebuah pemerintahan. Ketika keberpihakan itu mendominasi terhadap elit politik dan penguasa, praktik politik-demokrasi yang demikian telah melanggar asas dasar dari sebuah sistem demokrasi.
Dari berbagai perdebatan yang ada, penulis berinisiatif untuk membahas sejarah demokrasi. Pada pembahasan sejarah ini, penulis membaginya ke dalam berbagai sub, ada yang berkonsentrasi dalam bidang sejarah klasik demokrasi (Yunani), dan sejarah demokrasi modern.
Sejarah demokrasi klasik sudah membuktikan, demokrasi menjadi sebuah pilihan pada suatu sistem pemerintahan yang belum menemui lawan mainnya. Demokrasi bahkan selalu hidup walaupun dengan pola dan konsep yang berbeda-beda dalam mengaplikasikan demokrasi tersebut. Hanya saja secara prinsip, demokrasi tetap sama. Dalam sejarahnya, Plato yang dianggap sebagai salah satu peletak pertama konsep demokrasi, memang pada awalnya Plato tidak mendukung konsep ini, tetap pada masa akhir kehidupannya dia meninggalkan peta konsep pemikrannya tersebut tentang the Philosopher King dan the planned society (Munir Fuady, 2010:63-65).
Berbagai literatur menyatakan bahwa Plato tidak mendukung dengan konsep demokrasi ini, dilatar belakangi dengan dihukum matinya Socrates yang sekaligus juga sebagia gurunya. Gagasan-gagasan Socrates pada masanya dianggap sebagai suatu gagasan yang menyesatka, karena memang pada masanya degan berbagai gagasan yang dibawa olehnya, dianggap aneh dan menyimpang dari ajaran-ajaran yang telah berlaku sebelumnya. Sehingga setelah melewati pengadilan rakyat, dan diambil suara terbanyak tentang putusan hukuman mati Socrates, akhirnya keputusan final adalah menghukum mati.
Inilah yang menjadi alasan Plato tentang ketidak mendukungannya terhadap pola dan konsep  demokrasi pada masanya. Tetapi pada akhirnya, Plato justru mendukung pola dan konsep demokrasi tersebut, tentunya dengan ajaran-ajaran tentang demokrasi yang tidak sama secara prinsipil dengan Socrates.
Ajaran dan paham demokrasi sangat terasa di belahan dunia barat, sebab pemikir-pemikir Yunani kuno melalui analisis untuk mengkongretkan secara lebih detail tentang hakikat demokrasi, tetap terasa hingga saat ini, khususnya di barat, sebut saja Amerika. Pada awalnya, melalui warisan civilisasi Helenisme yang diusung oleh Socrates, dengan berkonsentrasi terhadap analisis yang berpusat pada masalah manusia, pemikiran dan tujuan keberadaannya, penentuan benar atau salah secara objektif, dan hubungan antara faktor benar dan salah terhadap kodrat dan institusi kemanusiaan, termasuk bernegara secara benar melalui sistem pemerintahan demokrasi. Hal itu merupakan warisan nilai bangsa Yunani Kuno dalam civilisasi Helenisme.
Akar sistem pemerintahan demokrasi, yaitu pemerintahan oleh rakyat, telah senter terdengar pada sekitar tahun 500 SM. Pemahaman kongret mengenai demokrasi ini, kemudian diwariskan dalam suatu sistem pemerintahan yang berhaluan demokratis, seperti Amerika tadi. Tidak bisa dielakkan, pasca revormasi 1998 di Indonesia, melalui sistem pemilihan presiden secara langsung, telah melahirkan Indonesia baru dengan sistem demokrasi yang diwarisi oleh civilisasi Helenisme bangsa Yunani.
Hanya saja yang perlu digaris bawahi di sini, adalah demokrasi yang diwariskan oleh civilisasi Helenisme tadi lebih berpaham sekuler. Tetapi, demokrasi sekuler inilah yang telah membentuk peradaban baru dalam tatanan kenegaraan dalam peradaban barat. Adapun berbagai pemikiran dan perenungan yang kemudian membentuk peradaban barat, Munir Fuady (2010:65),  menuliskannya dengan mengutip dari tulisan George Charles Roche III (1970:xiv), yang tertuang ke dalam delapan skema, meliputi: Pertama, Realisasi dari potensi individu dari bangsa Yunani. Kedua, gagasan sistem nilai yang tetap (fixed value system) dari Socrates. Ketiga, gagasan pengembangan pengembangan intelegensia pengontrol (contolling intelligence) dari Plato dan Aristoteles. Keempat, gagasan Plato tentang lebih pentingnya bentuk (forms) dan nilai (values) dibandingkan dengan kepentingan materi (materials conterns). Kelima, pengembangan cita-cita konstitusi pemerintahan terbatas (limited government). Keenam, gagasan kaum Stoa tentang kemulyaan (dignity) dan tanggung jawab. Ketujuh, kesuksesan dari karakter Romawi kuno yang di.dasarkan atas tanggung jawab dari pribadi, keluarga, dan kehormatan (honor), dan Kedelapan, dampak moralitas dari agama-agama di dunia. Kedelapan pemikiran dan perengungan tersebut, diyakini telah membentuk peradaban Barat (Western Civilization).
Cita-cita memiliki sebuah sistem pemerintahan yang demokratis, pada awalnya memang lahir pada masa pemerintahan bangsa Yunani sekitar abad ke-7 sebelum masehi. Athena, sebagai sebuah kota Negara yang besar pada masanya, awalnya mengantut sistem aristokrasi yang bertentangan dengan sistem pemerintahan demokrasi tadi. Negara aristokrasi merupakan sebuah pemerintahan yang dipimpin langsung oleh aristokrat (golongan bangsawan). Kejenuhan kepemimpinan aristokrat yang dirasakan oleh rakyat pada waktu itu, kemudian memunculkan salah seorang tokoh terkenal, yang juga disebut sebagai salah satu orang bijak dalam sejarah dunia klasik, yaitu Solon. Dia juga merupakan satu dari 23 pembuat undang-undang terbesar di dunia, yang kemudian undang-undang tersebut sebagai Kitab undang-undang Solon.
Pola pemerintahan yang dipimpin oleh para aristokrat tadi, kemudian memunculkan banyak perpecahan, mulai dari permasalahan politik, ekonomi, sosial dan semacamnya. Sehingga, Solon, kemudian merancang sebuah sistem pemerintahan yang demokratis di Athena. Jelas, sebuah sistem pemerintahan yang dibangung olehnya, kemudian memunculkan banyak perdebatan di kalangan bangsawan (aristokrat). Karena, salah satu sistem yang dibuatnya, dengan sebuah “jalan adil”, dalam artian rakyat juga memilik hak progratif yang sama dengan bangsawan. Rakyat juga diberikan hak untuk mengikuti dan memungut suara dalam sebuah pemilihan ataupun dalam dewan, yang pada masanya disebut sebagai Ecclesia.
Sistem pemerintahan yang diusung salah satunya oleh Solon, dengan sebuah sistem pemerintahan demokratis, berdampak pula terhadap Negara-negara yang saat ini menganut paham demokrasi, seperti Amerika, pun Indonesia. Di Negara Athena (abad 6 SM), merupakan puncak terjadinya revolusi besar dengan berubahnya sistem dan pola pemerintahan, dari aristokrasi ke demokrasi. Setelah sistem pemerintahan demokrasi diterapkan di Athena, dewan pembuat undang-undang, dewan pengesahan undang-undang, sudah terbentuk di sana. Hal inipun tercermin dalam sistem pemerintahan kita (Indonesia) yang demokratis saat ini, adanya Mahkamah Konstitusi (MK), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), pada masa Yunani (Athena) sudah berlaku hal-hal yang demikian, setelah berlakunya sistem dan pemerintahan demokrasi.
Tidak berjalan mulus memang, sebuah perjalanan sistem demokrasi ini di Athena. Sebab setelah kepergian Solon, di Athena sistem dan konsep pemerintahan aristokrasi, berlaku kembali, dan bahkan selama tiga kali berturu-turut (Peisisthenes-Hiipias-Hipparchus). Tetapi, setelah pemerintahan Cleisthenes, sistem pemerintahan demokrasi dipertegas sebagai sebuah sistem pemerintahan di Athena. Sehingga, pada masa itulah, banyak kebijakan dan berbagai perubahan, seperti, perubahan organisasi politik, memperkenalkan dan menjalankan prinsip persamaan hak (rakyat dan bangsawan), memberikan lebih banyak akses kekuasaan kepada lebih banyak warga Negara, merubah susunan organisasi tentara, dan pada masa ini pula untuk pertama kalinya, digunakan kata “dnuokpacia” yang menjadi muasal dari kata “demokrasi” yang kita saat ini.
Sebuah perjalanan yang cukup panjang memang, dalam mempertahankan sebuah sistem pemerintahan yang tidak berpihak terhadap suatu etnis tertentu, suatu sistem yang menyuarakan kesamaan hak, baik antara bangsawan dan rakyat kecil. Semuanya (rakyat kecil dan bangsawan) diberikan hak yang sama.

B.     Demokrasi Modern
Secara sadar kita tentu menyadari, bahwa demokrasi yang dulunya hanya berkutat dalam lingkup politik, tetapi saat ini demokrasi telah masuk ke dalam berbagai denyut nadi kehidupan kita. Demokrasi yang dulu hanya di lingkup perpolitikan, tetapi saat ini, dalam dunia ekonomi, sosial, dan banyak hal lainnya, demokrasi seringkali dedengungkan. Padahal, demokrasi yang pada awalnya menggema di Yunani kuno pada sekitar abad ke-6, demokrasi telah tumbuh besar di Negara yang terkenal dengan sebutan Negara Athena.
Semenjak abad pertengahan mulai muncul, demokrasi tidak terdengar lagi gaungnya. Bahkan di seluruh penjuru dunia demokrasi hampir tidak terdengar. Dan bahkan terbilang merata di seluruh dunia tidak mengenal sebuah sistem pemerintahan demokrasi, pun di bangsa Yunani dan Romawi, yang notabenenya merupakan basis dari sebuah sistem pemerintahan demokrasi (Munir Fuady, 2010:75).
Sistem pemerintahan demokrasi, sudah mulai terlacak dan diyakini sudah dimulai semenjak abad ke-6 SM. Pada waktu itu, Athena sebagai Negara yang cukup pesat perkembangannya sudah menerapkan sistem pemerintahan demokrasi. Model demokrasi yang diterapkan Athena, berbagai literatur menyebutnya dengan istilah “demokrasi primitif” atau “demokrasi kesukuan” (tribal democracy).
Praktis, Athena dijadikan pintu awal masuk dalam penerapan sistem pemerintahan demokrasi. Walaupun tidak menutup kemungkinan, berbagai Negara di belahan dunia lainnya, menerapkan sistem pemerintahan demokrasi seperti ini. Hal ini tercermin dalam penerapan pemerintahan di kerajaan Sumeria, dengan rajanya Gilgamesh. Dalam pemerintahannya,  tidak menjalankan sistem pemerintahan secara otokrasi, melainkan Negara kota sebagai Negara kekuasaannya diberikan kewenangan untuk memutus kepada “Dewan Orang-Orang Tua”, sebagai perwakilan orang-orang tua, dan “Dewan Anak-Anak Muda”, sebagai perwakilan kaum muda. Gambaran tersebut tentu mencerminkan sistem pemerintahan yang demokratis.
 Puncaknya memang, dalam modernisasi demokrasi di dunia, dapat dibagi ke dalam beberapa tahapan sejarah, mulai dari Periode pemaknaan demokrasi oleh Socrates, Plato, dan Aristoteles, periode demokrasi praktis pada zaman Yunani, Periode Demokrasi Kristen dan Islam, Periode terjadinya penafsiran kembali terhadpa konsep Individualisme, dan Liberalisme, periode Demokrasi partisipasi di era Jeremy Bentham, periode demokrasi modern (Libertarian, dan demokrasi sosial), hingga periode demokrasi zaman postmodern (Lihat, Munir Fuady, 2010:77).  

III.    Islam dan Demokrasi dalam Tafsiran
Perlu dipahami, Islam bisa ditafsirkan sebagai sebuah ajaran, bisa pula dipahami sebagai sebuah spirit dan tatanan nilai dalam proses kehidupan di dunia ini. Sebagai sebuah ajaran (agama;dien) tentu Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi kepasrahan dan ketundukan terhadap Allah Swt. Dengan kata lain, tatanan kehidupan yang sudah diatur, tidak bisa serta merta dirobah oleh tatanan dunia baru.
Ketundukan dan kepasrahan tersebut, merupakan sakralitas yang sangat dijunjung tinggi oleh umat Islam dan bahkan, tidak bisa ditolerir lagi. Penafsiran Islam yang berkonotasi dengan ajaran (agama;dien) tentunya menjadi kecendrungan bahwa, kehidupan ukhrowi merupakan titik temu nantinya setelah dunia ini berakhir dengan yang disebut sebagai kehancuran (kiamat). Keridhoan Allah yang hakiki, akan menyelamatkan umat Islam nantinya, setelah proses kehidupan dunia berlangsung dengan tatanan dan kehidupan yang sesuai dengan aturan Islam yang berlaku.
Islam merupakan ajaran (agama;dien) yang berasal dari samawi, atau sebuah ajaran yang berasal dari langit. Sehingga, aturan dan tatanan kehidupan yang mengatur adalah aturan langit (bahasa penulis), yang diyakini sebagai Tuhan seluruh alam, yaitu Allah Swt. Berbagai aturan kehidupan itu tercermin dalam konsep “kepatuhan” dan “ketundukan”, tentunya dengan melaksanakan “ibadah”, sebagai kunci dasar keselamatan umat Islam.
Sedangkan, ketika Islam ditafsirkan sebagai sebuah spirit, tentu Rahmatan Lil ‘Alamien merupakan landasan dasar terhadap tafsiran tersebut. Islam, sebagai rahmat bagi seluruh alam, tentunya tidak terbatas terhadap mereka yang memilih ajarah (agama;dien) Islam sajah, melainkan seluruh alam juga memperolehh rahmat Islam tersebut.
Hubungannya dengan demokrasi, masih terus menjadi perbincangan menarik untuk dikaji. Seperti penulis sampaikan di atas, ada yang Islam dan Demokrasi bisa berjalan berdampingan. Tetapi, ada yang berpandangan bahwa Islam dan demokrasi tidak bisa berjalan berdampingan, seperti yang disampaikan Aswab Mahasin (1993:30), dalam tulisan Taufikurrahman Saleh, yang berjudul Memperdebatkan Kembali Islam dan Demokrasi, bahwa Islam dan demokrasi memang berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari proses pemikiran manusia.[3]
Itulah, yang penulis maksud ketika Islam dipandang sebagai sebuah ajaran (agama;dien), maka yang ada antara Islam dan demokrasi tidak akan menemukan korelasi yang sepadan. Tetapi, ketika Islam ditafsirkan sebagai sebuah spirit dengan Rahmatan Lil ‘Alamien-nya, tentu Islam dan demokrasi, memiliki korelasi.
Sebagai sebuah spirit, Islam tidak hanya terbatas terhadap mereka yang beragama Islam saja. Dalam Islam terdapat, kedamaian, ketenangan, keikhlasan, dan semacamnya. Ketika Demokrasi dalam tatanan nilai yang berkiblat terhadap Islam, tentu tatanan dalam sebuah pemerintahan yang demokratis tersebut tidak akan menemukan celahnya.    
Memaknai demokrasi, dan tidak terbatas terhadap “demos” dan “kratos” tentu mimiliki indikasi yang baik, lebih-lebih ketika demokrasi ditafsirkan sebagai sebuah tatanan nilai, dan tidak membatasi diri terhadap “rakyat” dan “pemerintahan”, akan menjadi kajian yang menarik tentunya.
Farag Fauda (2007:20) dalam sebuah bukunya, Kebenaran Yang Hilang, menyatakan bahwa “…demokrasi dalam maknanya yang modern, yaitu pemerintahan dari rakyat untuk rakya, sama sekali tidak bertentangan dengan Islam. Mereka juga mengakui bahwa ijtihad-ijtihad mereka yang percaya pada demokrasi dan perlunya sistem perwakilan, pemilihan langsung dan tidak langsung, tidak bertentangna dengan esensi Islam dan semangat kebebasan yang terkandung di dalamnya”.  
Demokrasi dalam tatanan nilai di sini, penulis menganggap bahwa dalam tatanan nilai, demokrasi bisa menjadi sebuah sistem pemerintahan yang majemuk.
Indonesia sebagai sebuah Negara yang demokratis, ketika demokrasi ditafsirkan dalam tatanan nilai dan diaplikasikan dalam bentuk nyata. Konfllik yang terjadi selama ini, lebih-lebih penguasa dan elit politik, akan bisa terselesaikan dengan baik. Tetapi, semenjak awal berdirinya bangsa ini, demokrasi hanya dianggap sebagai sebuah bentuk dan sistem, sehingga kekangan sistem tersebut memenjara akal budi dan tatanan nilai yang belaku, khususnya dalam Islam.
Membaca peta perpolitikan di negeri ini, pasca kemerdekaan (1945), bangsa Indonesia masih berada dalam posisi labil. Konsep Negara yang dipikirkan oleh the founding father menjadikannya kebingungan terhadap konsep dan sistem pemerintahannya pada waktu itu. Sehingga, walaupun sistem pemerintahan demokrasi yang dijalankannya, ada sebuah keterangan yang menyatakannya masih malu-malu untuk mengungkapkan bahwa sistem pemerintahannya pada waktu itu adalah demokrasi. Begitupun, dalam masa pemerintahan Soeharto yang cukup panjang, sistem pemerintahan yang oleh banyak tafsiran dianggap sebagai sebuah sistem pemerintahan otoriter, tetapi tidak semata-mata kebijakannya otoriter, bahkan terkesan demokratis. Hanya saja, karena Soeharto dikenal sebagai pemimpin yang berideologi pancasila, sehingga, ia enggan untuk mengakui dirinya sebagai pemimpin yang demokratis. Begitupun dengan Soekarno, dengan ideologinya NASAKOM (Nasional, Agama, dan Komunis).
Secara terang-terangan memang, demokrasi dimulai setelah runtuhnya orde lama. Era reformasi politik, kemudian menuntut untuk melakukan pemilihan secara langsung, rakyat diberikan hak untuk bersuara dalam pemilihan. Kendatipun demikian, apakah suara terbanyak sudah mewakili kebenaran? Itulah yang selalu menjadi permasalahan yang terjadi, ketika demokrasi hanya dipahami sebagai sebuah perwujudan dari sebuah sistem dan bentuk belaka.
Berbeda ketika demokrasi, dimaknai sebagai sebuah tatanan nilai. Demokrasi akan lebih terasa merakyat ketika tatanan nilai tersebut bisa dilaksanakan dengan baik. Demokrasi di Indonesia, tentu Islam memiliki peranan yang cukup penting, lebih-lebih ketika awal berdirinya bangsa ini dengan nama NKRI (1945).

IV.    Penutup
Sebagai kata akhir, Indonesia dengan sistem pemerintahan demokrasi yang dipilih, mulai dari awal kepemimpinan Soekarno (demokrasi terpimpin), Soeharto (demokrasi pancasila), hingga demokrasi saat ini. Merupakan sebuah pilihan yang tepat, ketepatan inipun ditopang dengan posisi Islam sebagai sebuah spirit, telah memberikan kontribusi nyata terhadap berdirinya NKRI.
Sebuah tatanan nilai dalam batang tubuh demokrasi, harus menjadi skema sistem pemerintahan di negeri ini. Dengan mayoritas penganut agama Islam (moeslem majority) menjadi modal untuk melaksanakan sistem pemerintahan demokrasi yang majemuk.
Keberadaan partai Islam, harus benar-benar menjadi shadow government (bayang-bayang pemerintah) meminjam istilah Koiruddin. Tetapi yang jelas, Islam tidak pernah bertentangan dengan demokrasi, hanya orang-orang yang berada di dalamnyalah yang selalu mempersoalkannya. Bukan malah partai Islam tidak mencerminkan tatanan nilai yang telah berlaku dalam Islam.
     Semoga makalah ini, bisa menjadi rujukan, dan penulis mengharapkan saran dan kritik yang  membangun. Penulis kira tidak ada karya yang sempurna, untuk itulah, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.

DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Wahid, Abdurrahman (editor). 2009. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, the Wahid Institute, dan Maarif Institute.
Fauda, Farag. 2007. KEBENARAN YANG HILANG: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim (terjemahan Novriantoni). Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta Bekerjasama dengan Yayasan Wakaf Paramadina.
Muhtadi, Asep Saeful. 2008. Komunikasi Politik Indonesia: Dinamika Islam Politik Pasca-Orde Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Fuady, Munir. 2010. Konsep Negara Demokrasi. Bandung: PT Reflika Aditama.
Koiruddin. 2005. Menuju Partai Advokasi. Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa (Kelompok Penerbit LKiS Yogyakarta).

Artikel/Surat Kabar/Majalah:
Syed, Jamil Wasti. 1998. Islam dan Sosial-Demokrasi. Majalah Ummat No. 4 Thn. IV/3 Agustus 1998.       
Saleh, Taufikurrahman. 2005. Memperdebatkan Kembali Islam dan Demokrasi. Harian Republika  Jakarta (20 September 2005). 

[3] Lihat, Harian REPUBLIKA Jakarta, edisi Selasa 20 September 2005.

Label: