Senin, 08 Juli 2013

PEMAHAMAN ROLE DISTANCE-NYA GOFFMAN DALAM LINGKUNGAN SOSIAL-MASYARAKAT

http://nasional.news.viva.co.id/news/read/347133-sby--lingkungan-sosial-harus-ramah-untuk-anak
Pendahuluan
Terbentuknya sebuah masyarakat yang tengah kita jalani saat ini, tidak terlepas dari sebuah proses panjang yang dilalui nenek moyang kita terdahulu. Di mana dalam lipatan ilmu sejarah kita mengenal dua istilah, yaitu manusia pra sejarah dan manusia sejarah. Sebuah tatanan kemasyarakatan yang belum mengenal tulisan dalam kehidupan bersosialnya, itulah yang disebut sebagai manusia atau masyarakat pra-sejarah. Sedangkan manusia yang kehidupan sosialnya sudah bisa mengenal tulisan, maka manusia itu sudah disebut sebagai manusia sejarah (lihat:sejarah). 

Berbagai proses yang dijalani oleh nenek moyang kita terdahulu sehingga terbentuknya masyarakat seperti sekarang ini, merupakan bagian kecil yang berawal dari sebuah keinginan individu masing-masing untuk bersatu dengan individu lainnya. Dewi Wulansari (2009;44), menyatakan dalam bukunya Sosiologi (konsep dan teori) bahwa semenjak lahir manusia telah memiliki keinginan untuk menjadi satu dengan manusia yang lain di sekelilingnya, yaitu masyarakat dan keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya.

Dengan kata lain, sebuah fitrah manusia untuk hidup bermasyarakat. Manusia tidak bisa hidup sendirian, manusia membutuhkan individu-individu lainnya untuk hidup berdampingan, begitupun dengan lingkungan alam sekitarnya. Pada awal penciptaan manusiapun, Tuhan menciptakan Adam yang kemudian diciptakanlah Hawa untuk menemani Adam, karena Tuhan tahu Adam tidak bisa hidup sendirian. Kemudian berawal dari dua manusia inilah yang beranak-pinak dan terbentuklah masyarakat seperti sekarang ini.

Belum ada fakta yang menguak sebuah misteri kehidupan yang bisa dijalani hanya seorang diri, tanpa siapapun dan apapun untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Bahkan, dalam sebuah film “Cast Away” pun diceritakan ketika salah seorang dalam film tersebut terdampar dalam sebuah pulau sendirian, karena kecelakaan pesawat yang akhirnya menempatkannya di sebuah pulau terpencil hingga beberapa tahun. Dalam kondisi itupun, seorang tadi yang bernama Chuck akhirnya mencari solusi untuk berinteraksi dan berkomunikasi, sehingga dengan sebuah bola yang juga ikut terdampar, Chuck membentuknya layaknya sebuah kepala manusia. Sehingga dengan bola itulah Chuck berinteraksi dan berkomunikasi, selama bertahun-tahun.

Tidak ada yang bisa hidup tanpa berinteraksi dan berkomunikasi, begitupun kalau boleh penulis bilang, tidak ada yang bisa hidup tanpa masyarakat dan kehidupan sosial dan lingkungannya. Karena, kehidupan sosial-masyarakat adalah suatu keniscayaan hidup yang tidak bisa terlepas dari kehidupan seseorang. Dari itulah munculnya kelompok-kelompok sosial yang bermacam-macam, juga merupakan suatu keniscayaan terhadap tujuan untuk bisa bertahan hidup, baik dalam lingkup kelompok yang berskala kecil ataupun kelompok yang berskala besar. 

Jikalau Emile Durkehim, memberikan suatu gambaran bahwa pengelompokan manusia dalam satu kelompok atau masyarakat terjadi atas dasar organisatorik fungsional. Ferdinand Toennies-pun senada dengan apa yang digambarkan Emile Durkehim. Terjadinya pengelompokan dari segi organisatorik fungsional, terbagi menjadi dua bentuk. Pertama, bentuk mekanik (naluriah). Bentuk yang pertama ini, menyatakan bahwa terbentuknya suatu kelompok atau pengelompokan manusia ditentukan atas dasar ikatan geografik, biogenetik, dan keturunan lebih lanjut. Seperti halnya, manusia (individu) yang hidup dan berasal dari Papua, misalnya, tentunya ikatan emosionalnya akan terbangun karena Papua (geografik). 

Kedua, bentuk yang kedua ini merupakan pengelompokan yang didasarkan atas kesadaran manusia, dan dihasilkan dari keinginan yang rasional. Kita bisa lihat kelompok partai yang ada, ataupun kelompok ikatan mahasiswa, kesemuanya didasarkan atas dasar kesadaran dan keinginan individunya. Ferdinand Toennies mengistilahkan bentuk pertama dengan Geminschaft dan bentuk kedua dengan Gesellscaft .

Kaitannya dengan hal tersebut, proses sosial yang berlangsung akan membentuk sebuah tatanan dan struktur sosial. Menurut Kamanto Sunarto (2004:52), pembahasan mengenai struktur sosial akan mengenal dua konsep penting, yaitu status (status) dan peran (role). Pembahasan lebih lanjut akan dibaas dalam konten atau pembahasan dalam tulisan ini.

Layaknya sebuah pendahuluan, penulis ingin mencoba untuk memberikan sebuah gambaran awal bagaimana pola kehidupan sosial yang terbangun saat ini. Selain itu, tulisan ini bertujuan untuk melacak jarak peran (role distance) dalam kehidupan sisioal-masyarakat. Dalam pengelompokan suatu masyarakat, dan struktur sosial yang ada, bagaimana jarak peran (role distance) mengatur ritme sosial-masyarakat yang ada. Harapannya, tulisan ini bisa menemukan titik temu yang bisa menggambarkan bagaimana sebenarnya Goffman menggambarkan jarak peran (role distance) dalam kehidupan sosial-masyarakat.  

Rumusan Masalah              
Berdasarkan penyampaian penulis dalam pendahuluan di atas, penulis akan merumuskan beberapa permasalahan yang nantinya akan penulis coba melalui analisis sederhana dalam pembahasan berikutnya. Beberapa masalah tersebut, penulis simpulkan ke dalam dua bagian permasalahan, yaitu:
1) Bagaimana proses terbentuknya sebuah kelompok masyarakat dalam kehidupan sosial.
2) Bagaimana jarak peran (role distance) dalam proses kehidupan sosial-masyarakat pada sebuah status sosial tertentu.

Pembahasan Masalah
Dalam pendahuluan, penulis membahas sepintas terkait proses pengelompokan manusia dalam sebuah masyarakat. Melalaui Emile Durkehim dengan fungsional organisatoriknya, yang kemudian juga digambarkan oleh Ferdinand Toennies dengan istilah Geminschaft dan Gesellscaft. 

Gambaran masyarakat yang dipaparkan oleh Emile Durkehim dengan Ferdinand Toennies, pada dasarnya sama. Tonnies menggambarkan Geminschaft sebagai sebuah:
 “…bentuk kehidupan bersama dimana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alami srta kekal. Dengan hubungan yang didasarkan atas dasar rasa cinta dan rasa kesatuan batin yang kodrati yang ditemukan pada kehidupan keluarga, suku, dan kelompok kekerabatan, rukun tetangga dan sebagainya”.  

Sama halnya dengan fungsional organisatoriknya Emile Durkehim yang pertama, bentuk mekanik (naluriah). Sedangkan Gesellscaft, Tonies menggambarkan sebagai suatu: 
“…kelompok pergaulan hidup yang terbentuk disebabkan oleh kehendak atau keinginan dari anggota kelompok sendiri atau pimpinan anggota kelompok untuk mencapai tujuan tertentu seperti perkumpulan, perusahaan/badan hukum, partai politik, yayasan, lembaga pendidikan dan sebagainya”.   

Begitupun dengan bentuk yang kedua yang dipaparkan dalam fungsional organisatoriknya Emile Durkehim, yang menyatakan bahwa suatu kelompok dibangun atas dasar kesadaran dan hasil keinginan yang rasional. 

Senada dengan hal itu, baik fungsional organisatoriknya Emile Durkehim ataupun Geminschaft dan Gesellscaft-nya Ferdinand Toennies, dengan terbentuknya sebuah sosial-masyarakat tentunya akan melahirkan sebuah struktur sosial yang menjadi unsur-unsur pokok dalam masyarakat, begitulah Dewi Wulansari menuturkan dalam bukunya (2009:43).

Seperti yang penulis sampaikan dalam pendahuluan, membahas mengenai struktur sosial, kita akan dipertemukan ke dalam dua hal penting di dalmnya, yaitu: status (status) dan peran (role). Dalam bukunya, Kamanto Sunarto (2004: 52-53) meminjam deskripsi yang dipaparkan oleh Ralph Linton terkait status dan peran. Dinyatakan bahwa, seseorang yang menjalankan sebuah peran manakala ia menjanlakan hak dan kewajiban yang merupakan statusnya. 

Sunarto melanjutkan, dengan percontohan status dosen yang terdiri atas sekumpulan kewajiban tertentu seperti kewajiban mendidik mahasiswa, melakukan penelitian ilmiah, dan melakukan pengabdian pada masyarakat. Sedangkan peran seorang dosen mengacu pada bagaimana seseorang yang berstatus sebagai dosen menjalankan hak dan kewajibannya seberti mengajar, membimbing, dan mengevaluasi. 

Dari beberapa percontohan tersebut, penulis kemudian dapat mengambil kesimpulan awal bahwa ternyata dari proses awal pembentukan suatu kelompok masyarakat, tidak selamanya memiliki status dan peran yang sama rata. Melainkan, dalam status sosial ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah status sosialnya. Dengan itulah kemudian, Eving Goffman memberikan sebuah gambaran status sosial yang dikemas dalam konsep Jarak Peran (role distance). 

Mengenai jarak peran (role distance), Eving Goffman (1961:73-100) dalam bukunya Encounters: two studies in the sociology of interaction membuat sebuah pemaparan yang cukup kompleks. Pemaparannya dimulai dengan menjelaskan bagaimana konsep peran (role concept) yang di dalamnya terdapat sebuah pembahasan status (status) dan peran (role). Goffman menulis bahwa:
“A status is a position in some system or pattern of positions and is related to the other positions in the unit through reciprocal ties, through rights and duties binding on the incumbents.  Role consists of the activity the incumbent would engage in were he to act solely in terms of the normative demands upon someone in his position.  Role in this normative sense is to be distinguished from role performance or role enactment, which is the actual conduct of a particular individual while on duty in his position (Goffman, 1961: 75).”

Digambarkan, bahwa status merupakan sebuah posisi di dalam beberapa sistem ataupun pola posisi yang memiliki hubungan timbal balik dalam suatu unit tertentu, dan saling memiliki hak dan kewajiban yang mengikat dalam suatu jabatan. Sedangkan peran sendiri terdiri dari berbagai kegiatan-kegiatan yang mengikat yang dilakukan ataupun dikerjakan hanya sebatas tuntutan normatif saja. Goffman meneruskan penjelasannya mengenai peran (role) dalam pengertian normatif, menurutnya harus dibedakan antara  kinerja peran (role performance) dan pemberlakuan peran (role enactment) dari seorang individu saat bertugas dalam posisinya (terj. penulis).

Antara status dan peran sebenarnya menjadi satu tubuh yang tidak terpisahkan satu sama lain, tetapi kadang kala keduanya dipisahkan karena satu paham dan bisa jadi ada tujuan tertentu di dalamnya. Penggambaran ini, oleh Goffman dianalogikan pada sebuah peran dalam sebuah pertunjukan tertentu. Digambarkan pula bagaimana status dan peran seorang dokter saling menyesuaikan dengan pasien, dan berbagai hal yang berkaitan di dalamnya.   

Tidak jauh berbeda pemahaman antara Ralph Linton dan Eving Goffman, yang sama-sama menggambarkan tentang status (status) dan peran (role). Hanya saja perbedaannya, terletak dalam pemberian contoh status dan peran Dosen yang disampaikan Linton, dan contoh yang diberikan Goffman dalam bukunya (1961:75-76) adalah seorang Dokter, Pasien, Administrator Rumah Sakit, dan lainnya. Walaupun di dalam beberapa pembahasan terkait status dan peran, Goffman lebih memberikan sebuah deskripsi bahwa, seorang performers bisa menampilkan hal-hal yang di luar jangkauan orang-orang sekitarnya. 

Dari itulah, Goffman menyampaikan bahwa dalam pemberlakuan peranan (role enactments) individu harus disesuaikan dengan audiennya. Bagaimana status dan peran seorang dokter juga harus menyesuaikan dengan audiennya, yaitu pasien dan seterusnya. Kaitannya dengan jarak peran (role distance) Goffman membuat sebuah pengujian terhadap seseorang yang berbeda usia yang berperan sebagai pengendara dalam komedi putar (kuda).

Pada usia dua tahun, mereka akan merasa takut untuk mengendarai komedi putar (kuda). Dalam usia ini, mereka akan merasa khawatir, panik bahkan takut ketika mengendarinya sehingga ingin sesegera mungkin menyelesaikan permainan ini.  Dalam usia tiga dan empat tahun, mereka mencoba mengendarai komedi putar ini dengan ditemani oleh orang tuanya. Jarak peran (role distance) yang dibangun dalam permainan ini Goffman memperkirakannya, semakin bertambahnya usia maka semakin berbeda jarak peran (role distance) yang ditampilkan oleh seorang individu.

Ketika sudah berusia tujuh atau delapan tahun, dengan keberanian yang sudah bertambah dan keinginan untuk menunjukkan jarak peran (role distance) maka dalam permainannya mereka akan mencoba menampilkan dan bermain dengan melepaskan tangan mereka ketika bermain. Sehingga, ketika sudah berusia sebelas atau dua belas tahun, mereka sudah menjadikan permainan kuda (real) dalam sebuah pacuan kuda sebagai permainan mereka. Tetapi, ketika sudah dewasa, mereka mencoba untuk menunjukkan hal-hal yang berbeda dengan sebelumnya.

Untuk menunjukkan jarak peran (role distance) ketika dewasa, mereka sudah mengenal yang namanya perasaan cinta terhadap lain jenisnya. Sehingga, mereka mencoba untuk bermain kuda dengan pasangannya seromantis mungkin. Hal ini dilakukan untuk membawa sentimen, tidak berani, dan bahkan kurang percaya diri supaya bisa menguasai situasi seperti ini.   

Lantas dalam jarak peran (role distance) ini, Goffman kemudian memberikan sebuah definisi bahwa sebenarnya ada perbedaan antara peran dan individu yang memainkan peranan di dalam sebuah aktifitas (efektif). Bagaimana kemudian seorang individu memainkan peranannya ketika berposisi sebagai pemain (komedi putar;kuda). Lebih jelasnya dalam lingkungan sosial, orang yang berstatus sosial lebih tinggi dibanding orang lain, akan cenderung menunjukkan dan membangun jarak sosialnya dengan orang lain yang memiliki status sosial lebih rendah darinya. 

Sedangkan, yang berstatus lebih rendah akan cenderung lebih bertahan dalam proses menunjukkan jarak peran yang dimilikinya dalam lingkungan sosial. Muncullah istilah Goffman yang disebut sebagai garis pemisah antara apa yang seharusnya dilakukan seseoarang (identitas sosial virtual) dengan apa yang sebenarnya dilakukan seseorang (identitas sosial aktual). Yang oleh Chabib Musthofa hal itu akan menyebabkan terjadinya discreditable stigma atau stigma yang perbedaannya tidak dirasakan oleh penonton.  

Goffman kemudian memberikan suatu cara untuk membangun sebuah jarak peran (role distance) dalam lingkungan sosial. Yaitu, pertama, dengan cara mengisolasi diri sendiri supaya bisa menguasai situasi yang sedang diajalaninya. Kedua, mencoba untuk memproyeksikan dirinya kekanak-kanakan.  Seperti yang Goffman (1961:97):
“…two means of establishing role distance seem to be found. In one case the individual tries to isolate himself as much as possible from the contamination for the situation, as when an adult ridding along to guard his child makes an effort to be completely stiff, affectless, and preoccupied. In the other case the individual cooperatively projects a childish self, meeting the situation more than half way, but then withdraws from this castoff self by a little gesture signifying that the joking has gone far enough.”   

Di sisi lain, jarak peran (role distance) memang harus dibangun atas dasar apa menjadi tanggung jawab dalam situasi atau keadaan tertentu. Dengan demikian, antara status dan peran bisa menjadi satu kesepadanan paham yang bisa terbangun dalam struktur sosial apapun. Baik dalam kehidupan sosial di lingkungan akademisi, seperti mahasiswa, dosen, pegawai, bahkan dalam jabatan apapun di lingkungan akademisi.

Kesimpulan Goffman (1961:97-98) setelah melakukan percobaan dengan membedakan antara commitment, attachment embracement. Dinyatakan bahwa dalam istilah-istilah sosiologis istilah dalam suatu tatanan bisa jadi berbeda dari keterlibatannya. Proses psikologis antara kucing dan anjing menampilkan hal-hal yang lebih indah dibandingkan dengan manusia. Akhirnya, jarak peran diperkanalkan untuk  merujuk terhadap tindakan yang secara efektif menyampaikan beberapa detasemen yang agaknya merehkan pelaku dari perdan yang dilakukannya.

Begitupun dalam lingkungan sosial yang seharusnya terbangun, adalah meletakkan posisi jarak perannya terhadap status sosial pada lingkungannya. Sehingga, tidak akan memunculkan pertanyaan “status saya apa, peran saya apa” dan semacamnya. Ketika pemahaman jarak peran (role distance) yang dibangun oleh Eving Goffman ini, dijadikan rujukan dalam menjalankan kehidupan sosialnya. 

Melalui identitas sosial virtual dan identitas sosial aktual inilah, jarak peran (role distance) bisa memainkan peranannya dalam lingkungan sosial dan status sosial yang terbangun. Kendatipun tidak menutup kemungkinan, pelaksanaannya terkadang masih menjadi kendala dan yang terjadi adalah pengambilan peran yang salah walaupun statusnya jelas.  

Penutup
Akhirnya, akan menjadi sebuah acuan pemahaman ketika status dan peran menjadi sebuah makna yang komprehensif dalam diri pemahaman seorang individu. Baik Ralph Linton ataupun Eving Goffman, keduanya berusaha untuk menampilkan sebuah ide dan gagasan untuk mencapai sebuah pemahaman terkait peranan individu dalam kehidupan sosial.

Tidak menjadi persoalan apapun yang diambil sebagai rujukan nantinya, yang jelas muatan pemahaman seorang individu akan menjadi nyata ketika pelaksanaannya sesuai dengan apa yang dipahaminya. Status sosial sebagai seorang dosen, mahasiswa, atau pegawai sekalipun, kesemuanya memiliki peranannya masing-masing yang saling berkaitan.

Sebagai penutup, penulis ingin menyampaikan bahwa tulisan ini tidak akan berarti apa-apa ketika tulisan ini tidak mendapatkan tanggapan apa-apa. Penulis, mengharap supaya ada kritik yang membangun demi perbaikan tulisan ini ke depannya. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam tulisan ini baik analisis, dan lainnya. Mohon maaf apabila banyak kekurangan dan kekeliruan, dan terima kasih penulis sampaikan bagi yang telah ikut serta membantu dalam penyelesaian tulisan ini.     
DAFTAR PUSTAKA
Goffman, Erving. 1961.  Encounters: two Studies in the Sociology of Interaction. England: Penguin University Books.
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi (edisi revisi). Jakarta: Lembaga Pnerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Wulansari, Dewi. 2009. Sosiologi (Konsep dan Teori). Bandung: PT Refika Aditama.



Label: