Rabu, 09 Oktober 2013

#KEEPSMILE


Ada banyak orang yang merasa dirinya serba kekurangan, meskipun dengan keberkecukupan yang dimilikinya. Ada pula yang merasa bahwa apa yang dimilikinya saat ini, hanyalah sebagian kecil pencapaiannya, dan bisa jadi masih banyak lagi obsesinya yang belum tercapai.

Ketika berada dalam zona nyaman, terkadang kita tidak ingin menjauh apalagi pergi dari zona itu. Sering kali, zona yang kita sebut nyaman itu malah terkadang berbalik mencekam keberadaan kita di dalamnya. Bahkan, menjadi satu hal yang sangat menakutkan. Itulah, kenapa ketika berada dalam zona nyaman kita selalu beranggapan bahwa itulah zona kita yang sebenarnya. 

Tidak hanya itu pula, ada banyak sahabat mengatakan "pergilah dari zona nyaman itu, kalo kita ingin menemukan diri kita yang sebenarnya". Boleh jadi memang demikian, tapi apakah yang demikian itulah yang sebenarnya? Hidup ini, memang bagi saya serba kebermungkinan. Mungkin iya, dan mungkin juga tidak. 
Read More »

Label:

Senin, 08 Juli 2013

PEMAHAMAN ROLE DISTANCE-NYA GOFFMAN DALAM LINGKUNGAN SOSIAL-MASYARAKAT

http://nasional.news.viva.co.id/news/read/347133-sby--lingkungan-sosial-harus-ramah-untuk-anak
Pendahuluan
Terbentuknya sebuah masyarakat yang tengah kita jalani saat ini, tidak terlepas dari sebuah proses panjang yang dilalui nenek moyang kita terdahulu. Di mana dalam lipatan ilmu sejarah kita mengenal dua istilah, yaitu manusia pra sejarah dan manusia sejarah. Sebuah tatanan kemasyarakatan yang belum mengenal tulisan dalam kehidupan bersosialnya, itulah yang disebut sebagai manusia atau masyarakat pra-sejarah. Sedangkan manusia yang kehidupan sosialnya sudah bisa mengenal tulisan, maka manusia itu sudah disebut sebagai manusia sejarah (lihat:sejarah). 

Berbagai proses yang dijalani oleh nenek moyang kita terdahulu sehingga terbentuknya masyarakat seperti sekarang ini, merupakan bagian kecil yang berawal dari sebuah keinginan individu masing-masing untuk bersatu dengan individu lainnya. Dewi Wulansari (2009;44), menyatakan dalam bukunya Sosiologi (konsep dan teori) bahwa semenjak lahir manusia telah memiliki keinginan untuk menjadi satu dengan manusia yang lain di sekelilingnya, yaitu masyarakat dan keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya.

Dengan kata lain, sebuah fitrah manusia untuk hidup bermasyarakat. Manusia tidak bisa hidup sendirian, manusia membutuhkan individu-individu lainnya untuk hidup berdampingan, begitupun dengan lingkungan alam sekitarnya. Pada awal penciptaan manusiapun, Tuhan menciptakan Adam yang kemudian diciptakanlah Hawa untuk menemani Adam, karena Tuhan tahu Adam tidak bisa hidup sendirian. Kemudian berawal dari dua manusia inilah yang beranak-pinak dan terbentuklah masyarakat seperti sekarang ini.

Belum ada fakta yang menguak sebuah misteri kehidupan yang bisa dijalani hanya seorang diri, tanpa siapapun dan apapun untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Bahkan, dalam sebuah film “Cast Away” pun diceritakan ketika salah seorang dalam film tersebut terdampar dalam sebuah pulau sendirian, karena kecelakaan pesawat yang akhirnya menempatkannya di sebuah pulau terpencil hingga beberapa tahun. Dalam kondisi itupun, seorang tadi yang bernama Chuck akhirnya mencari solusi untuk berinteraksi dan berkomunikasi, sehingga dengan sebuah bola yang juga ikut terdampar, Chuck membentuknya layaknya sebuah kepala manusia. Sehingga dengan bola itulah Chuck berinteraksi dan berkomunikasi, selama bertahun-tahun.

Tidak ada yang bisa hidup tanpa berinteraksi dan berkomunikasi, begitupun kalau boleh penulis bilang, tidak ada yang bisa hidup tanpa masyarakat dan kehidupan sosial dan lingkungannya. Karena, kehidupan sosial-masyarakat adalah suatu keniscayaan hidup yang tidak bisa terlepas dari kehidupan seseorang. Dari itulah munculnya kelompok-kelompok sosial yang bermacam-macam, juga merupakan suatu keniscayaan terhadap tujuan untuk bisa bertahan hidup, baik dalam lingkup kelompok yang berskala kecil ataupun kelompok yang berskala besar. 

Jikalau Emile Durkehim, memberikan suatu gambaran bahwa pengelompokan manusia dalam satu kelompok atau masyarakat terjadi atas dasar organisatorik fungsional. Ferdinand Toennies-pun senada dengan apa yang digambarkan Emile Durkehim. Terjadinya pengelompokan dari segi organisatorik fungsional, terbagi menjadi dua bentuk. Pertama, bentuk mekanik (naluriah). Bentuk yang pertama ini, menyatakan bahwa terbentuknya suatu kelompok atau pengelompokan manusia ditentukan atas dasar ikatan geografik, biogenetik, dan keturunan lebih lanjut. Seperti halnya, manusia (individu) yang hidup dan berasal dari Papua, misalnya, tentunya ikatan emosionalnya akan terbangun karena Papua (geografik). 

Kedua, bentuk yang kedua ini merupakan pengelompokan yang didasarkan atas kesadaran manusia, dan dihasilkan dari keinginan yang rasional. Kita bisa lihat kelompok partai yang ada, ataupun kelompok ikatan mahasiswa, kesemuanya didasarkan atas dasar kesadaran dan keinginan individunya. Ferdinand Toennies mengistilahkan bentuk pertama dengan Geminschaft dan bentuk kedua dengan Gesellscaft .

Kaitannya dengan hal tersebut, proses sosial yang berlangsung akan membentuk sebuah tatanan dan struktur sosial. Menurut Kamanto Sunarto (2004:52), pembahasan mengenai struktur sosial akan mengenal dua konsep penting, yaitu status (status) dan peran (role). Pembahasan lebih lanjut akan dibaas dalam konten atau pembahasan dalam tulisan ini.

Layaknya sebuah pendahuluan, penulis ingin mencoba untuk memberikan sebuah gambaran awal bagaimana pola kehidupan sosial yang terbangun saat ini. Selain itu, tulisan ini bertujuan untuk melacak jarak peran (role distance) dalam kehidupan sisioal-masyarakat. Dalam pengelompokan suatu masyarakat, dan struktur sosial yang ada, bagaimana jarak peran (role distance) mengatur ritme sosial-masyarakat yang ada. Harapannya, tulisan ini bisa menemukan titik temu yang bisa menggambarkan bagaimana sebenarnya Goffman menggambarkan jarak peran (role distance) dalam kehidupan sosial-masyarakat.  

Rumusan Masalah              
Berdasarkan penyampaian penulis dalam pendahuluan di atas, penulis akan merumuskan beberapa permasalahan yang nantinya akan penulis coba melalui analisis sederhana dalam pembahasan berikutnya. Beberapa masalah tersebut, penulis simpulkan ke dalam dua bagian permasalahan, yaitu:
1) Bagaimana proses terbentuknya sebuah kelompok masyarakat dalam kehidupan sosial.
2) Bagaimana jarak peran (role distance) dalam proses kehidupan sosial-masyarakat pada sebuah status sosial tertentu.

Pembahasan Masalah
Dalam pendahuluan, penulis membahas sepintas terkait proses pengelompokan manusia dalam sebuah masyarakat. Melalaui Emile Durkehim dengan fungsional organisatoriknya, yang kemudian juga digambarkan oleh Ferdinand Toennies dengan istilah Geminschaft dan Gesellscaft. 

Gambaran masyarakat yang dipaparkan oleh Emile Durkehim dengan Ferdinand Toennies, pada dasarnya sama. Tonnies menggambarkan Geminschaft sebagai sebuah:
 “…bentuk kehidupan bersama dimana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alami srta kekal. Dengan hubungan yang didasarkan atas dasar rasa cinta dan rasa kesatuan batin yang kodrati yang ditemukan pada kehidupan keluarga, suku, dan kelompok kekerabatan, rukun tetangga dan sebagainya”.  

Sama halnya dengan fungsional organisatoriknya Emile Durkehim yang pertama, bentuk mekanik (naluriah). Sedangkan Gesellscaft, Tonies menggambarkan sebagai suatu: 
“…kelompok pergaulan hidup yang terbentuk disebabkan oleh kehendak atau keinginan dari anggota kelompok sendiri atau pimpinan anggota kelompok untuk mencapai tujuan tertentu seperti perkumpulan, perusahaan/badan hukum, partai politik, yayasan, lembaga pendidikan dan sebagainya”.   

Begitupun dengan bentuk yang kedua yang dipaparkan dalam fungsional organisatoriknya Emile Durkehim, yang menyatakan bahwa suatu kelompok dibangun atas dasar kesadaran dan hasil keinginan yang rasional. 

Senada dengan hal itu, baik fungsional organisatoriknya Emile Durkehim ataupun Geminschaft dan Gesellscaft-nya Ferdinand Toennies, dengan terbentuknya sebuah sosial-masyarakat tentunya akan melahirkan sebuah struktur sosial yang menjadi unsur-unsur pokok dalam masyarakat, begitulah Dewi Wulansari menuturkan dalam bukunya (2009:43).

Seperti yang penulis sampaikan dalam pendahuluan, membahas mengenai struktur sosial, kita akan dipertemukan ke dalam dua hal penting di dalmnya, yaitu: status (status) dan peran (role). Dalam bukunya, Kamanto Sunarto (2004: 52-53) meminjam deskripsi yang dipaparkan oleh Ralph Linton terkait status dan peran. Dinyatakan bahwa, seseorang yang menjalankan sebuah peran manakala ia menjanlakan hak dan kewajiban yang merupakan statusnya. 

Sunarto melanjutkan, dengan percontohan status dosen yang terdiri atas sekumpulan kewajiban tertentu seperti kewajiban mendidik mahasiswa, melakukan penelitian ilmiah, dan melakukan pengabdian pada masyarakat. Sedangkan peran seorang dosen mengacu pada bagaimana seseorang yang berstatus sebagai dosen menjalankan hak dan kewajibannya seberti mengajar, membimbing, dan mengevaluasi. 

Dari beberapa percontohan tersebut, penulis kemudian dapat mengambil kesimpulan awal bahwa ternyata dari proses awal pembentukan suatu kelompok masyarakat, tidak selamanya memiliki status dan peran yang sama rata. Melainkan, dalam status sosial ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah status sosialnya. Dengan itulah kemudian, Eving Goffman memberikan sebuah gambaran status sosial yang dikemas dalam konsep Jarak Peran (role distance). 

Mengenai jarak peran (role distance), Eving Goffman (1961:73-100) dalam bukunya Encounters: two studies in the sociology of interaction membuat sebuah pemaparan yang cukup kompleks. Pemaparannya dimulai dengan menjelaskan bagaimana konsep peran (role concept) yang di dalamnya terdapat sebuah pembahasan status (status) dan peran (role). Goffman menulis bahwa:
“A status is a position in some system or pattern of positions and is related to the other positions in the unit through reciprocal ties, through rights and duties binding on the incumbents.  Role consists of the activity the incumbent would engage in were he to act solely in terms of the normative demands upon someone in his position.  Role in this normative sense is to be distinguished from role performance or role enactment, which is the actual conduct of a particular individual while on duty in his position (Goffman, 1961: 75).”

Digambarkan, bahwa status merupakan sebuah posisi di dalam beberapa sistem ataupun pola posisi yang memiliki hubungan timbal balik dalam suatu unit tertentu, dan saling memiliki hak dan kewajiban yang mengikat dalam suatu jabatan. Sedangkan peran sendiri terdiri dari berbagai kegiatan-kegiatan yang mengikat yang dilakukan ataupun dikerjakan hanya sebatas tuntutan normatif saja. Goffman meneruskan penjelasannya mengenai peran (role) dalam pengertian normatif, menurutnya harus dibedakan antara  kinerja peran (role performance) dan pemberlakuan peran (role enactment) dari seorang individu saat bertugas dalam posisinya (terj. penulis).

Antara status dan peran sebenarnya menjadi satu tubuh yang tidak terpisahkan satu sama lain, tetapi kadang kala keduanya dipisahkan karena satu paham dan bisa jadi ada tujuan tertentu di dalamnya. Penggambaran ini, oleh Goffman dianalogikan pada sebuah peran dalam sebuah pertunjukan tertentu. Digambarkan pula bagaimana status dan peran seorang dokter saling menyesuaikan dengan pasien, dan berbagai hal yang berkaitan di dalamnya.   

Tidak jauh berbeda pemahaman antara Ralph Linton dan Eving Goffman, yang sama-sama menggambarkan tentang status (status) dan peran (role). Hanya saja perbedaannya, terletak dalam pemberian contoh status dan peran Dosen yang disampaikan Linton, dan contoh yang diberikan Goffman dalam bukunya (1961:75-76) adalah seorang Dokter, Pasien, Administrator Rumah Sakit, dan lainnya. Walaupun di dalam beberapa pembahasan terkait status dan peran, Goffman lebih memberikan sebuah deskripsi bahwa, seorang performers bisa menampilkan hal-hal yang di luar jangkauan orang-orang sekitarnya. 

Dari itulah, Goffman menyampaikan bahwa dalam pemberlakuan peranan (role enactments) individu harus disesuaikan dengan audiennya. Bagaimana status dan peran seorang dokter juga harus menyesuaikan dengan audiennya, yaitu pasien dan seterusnya. Kaitannya dengan jarak peran (role distance) Goffman membuat sebuah pengujian terhadap seseorang yang berbeda usia yang berperan sebagai pengendara dalam komedi putar (kuda).

Pada usia dua tahun, mereka akan merasa takut untuk mengendarai komedi putar (kuda). Dalam usia ini, mereka akan merasa khawatir, panik bahkan takut ketika mengendarinya sehingga ingin sesegera mungkin menyelesaikan permainan ini.  Dalam usia tiga dan empat tahun, mereka mencoba mengendarai komedi putar ini dengan ditemani oleh orang tuanya. Jarak peran (role distance) yang dibangun dalam permainan ini Goffman memperkirakannya, semakin bertambahnya usia maka semakin berbeda jarak peran (role distance) yang ditampilkan oleh seorang individu.

Ketika sudah berusia tujuh atau delapan tahun, dengan keberanian yang sudah bertambah dan keinginan untuk menunjukkan jarak peran (role distance) maka dalam permainannya mereka akan mencoba menampilkan dan bermain dengan melepaskan tangan mereka ketika bermain. Sehingga, ketika sudah berusia sebelas atau dua belas tahun, mereka sudah menjadikan permainan kuda (real) dalam sebuah pacuan kuda sebagai permainan mereka. Tetapi, ketika sudah dewasa, mereka mencoba untuk menunjukkan hal-hal yang berbeda dengan sebelumnya.

Untuk menunjukkan jarak peran (role distance) ketika dewasa, mereka sudah mengenal yang namanya perasaan cinta terhadap lain jenisnya. Sehingga, mereka mencoba untuk bermain kuda dengan pasangannya seromantis mungkin. Hal ini dilakukan untuk membawa sentimen, tidak berani, dan bahkan kurang percaya diri supaya bisa menguasai situasi seperti ini.   

Lantas dalam jarak peran (role distance) ini, Goffman kemudian memberikan sebuah definisi bahwa sebenarnya ada perbedaan antara peran dan individu yang memainkan peranan di dalam sebuah aktifitas (efektif). Bagaimana kemudian seorang individu memainkan peranannya ketika berposisi sebagai pemain (komedi putar;kuda). Lebih jelasnya dalam lingkungan sosial, orang yang berstatus sosial lebih tinggi dibanding orang lain, akan cenderung menunjukkan dan membangun jarak sosialnya dengan orang lain yang memiliki status sosial lebih rendah darinya. 

Sedangkan, yang berstatus lebih rendah akan cenderung lebih bertahan dalam proses menunjukkan jarak peran yang dimilikinya dalam lingkungan sosial. Muncullah istilah Goffman yang disebut sebagai garis pemisah antara apa yang seharusnya dilakukan seseoarang (identitas sosial virtual) dengan apa yang sebenarnya dilakukan seseorang (identitas sosial aktual). Yang oleh Chabib Musthofa hal itu akan menyebabkan terjadinya discreditable stigma atau stigma yang perbedaannya tidak dirasakan oleh penonton.  

Goffman kemudian memberikan suatu cara untuk membangun sebuah jarak peran (role distance) dalam lingkungan sosial. Yaitu, pertama, dengan cara mengisolasi diri sendiri supaya bisa menguasai situasi yang sedang diajalaninya. Kedua, mencoba untuk memproyeksikan dirinya kekanak-kanakan.  Seperti yang Goffman (1961:97):
“…two means of establishing role distance seem to be found. In one case the individual tries to isolate himself as much as possible from the contamination for the situation, as when an adult ridding along to guard his child makes an effort to be completely stiff, affectless, and preoccupied. In the other case the individual cooperatively projects a childish self, meeting the situation more than half way, but then withdraws from this castoff self by a little gesture signifying that the joking has gone far enough.”   

Di sisi lain, jarak peran (role distance) memang harus dibangun atas dasar apa menjadi tanggung jawab dalam situasi atau keadaan tertentu. Dengan demikian, antara status dan peran bisa menjadi satu kesepadanan paham yang bisa terbangun dalam struktur sosial apapun. Baik dalam kehidupan sosial di lingkungan akademisi, seperti mahasiswa, dosen, pegawai, bahkan dalam jabatan apapun di lingkungan akademisi.

Kesimpulan Goffman (1961:97-98) setelah melakukan percobaan dengan membedakan antara commitment, attachment embracement. Dinyatakan bahwa dalam istilah-istilah sosiologis istilah dalam suatu tatanan bisa jadi berbeda dari keterlibatannya. Proses psikologis antara kucing dan anjing menampilkan hal-hal yang lebih indah dibandingkan dengan manusia. Akhirnya, jarak peran diperkanalkan untuk  merujuk terhadap tindakan yang secara efektif menyampaikan beberapa detasemen yang agaknya merehkan pelaku dari perdan yang dilakukannya.

Begitupun dalam lingkungan sosial yang seharusnya terbangun, adalah meletakkan posisi jarak perannya terhadap status sosial pada lingkungannya. Sehingga, tidak akan memunculkan pertanyaan “status saya apa, peran saya apa” dan semacamnya. Ketika pemahaman jarak peran (role distance) yang dibangun oleh Eving Goffman ini, dijadikan rujukan dalam menjalankan kehidupan sosialnya. 

Melalui identitas sosial virtual dan identitas sosial aktual inilah, jarak peran (role distance) bisa memainkan peranannya dalam lingkungan sosial dan status sosial yang terbangun. Kendatipun tidak menutup kemungkinan, pelaksanaannya terkadang masih menjadi kendala dan yang terjadi adalah pengambilan peran yang salah walaupun statusnya jelas.  

Penutup
Akhirnya, akan menjadi sebuah acuan pemahaman ketika status dan peran menjadi sebuah makna yang komprehensif dalam diri pemahaman seorang individu. Baik Ralph Linton ataupun Eving Goffman, keduanya berusaha untuk menampilkan sebuah ide dan gagasan untuk mencapai sebuah pemahaman terkait peranan individu dalam kehidupan sosial.

Tidak menjadi persoalan apapun yang diambil sebagai rujukan nantinya, yang jelas muatan pemahaman seorang individu akan menjadi nyata ketika pelaksanaannya sesuai dengan apa yang dipahaminya. Status sosial sebagai seorang dosen, mahasiswa, atau pegawai sekalipun, kesemuanya memiliki peranannya masing-masing yang saling berkaitan.

Sebagai penutup, penulis ingin menyampaikan bahwa tulisan ini tidak akan berarti apa-apa ketika tulisan ini tidak mendapatkan tanggapan apa-apa. Penulis, mengharap supaya ada kritik yang membangun demi perbaikan tulisan ini ke depannya. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam tulisan ini baik analisis, dan lainnya. Mohon maaf apabila banyak kekurangan dan kekeliruan, dan terima kasih penulis sampaikan bagi yang telah ikut serta membantu dalam penyelesaian tulisan ini.     
DAFTAR PUSTAKA
Goffman, Erving. 1961.  Encounters: two Studies in the Sociology of Interaction. England: Penguin University Books.
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi (edisi revisi). Jakarta: Lembaga Pnerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Wulansari, Dewi. 2009. Sosiologi (Konsep dan Teori). Bandung: PT Refika Aditama.



Label:

Minggu, 02 Juni 2013

Nikmatnya Sehat


#Bagi Saya Part 8
Sakit kali ini menyadarkan beberapa hal yang sebelumnya belum dipahami. Disaat sakit, sehat memang terasa sangat nikmat keberadaannya. Tetapi, terkadang tidak menyadari itu semua betapa sehat adalah nikmat terbesar dalam hidup. Di saat sehat, bahkan terkadang lupa betapa sehat adalah nikmat yang seharusnya disyukuri. Tidak bisa berbuat apa-apa di saat sakit, kecuali hanya pasrah dan berharap sangat kesembuhan sesegera mungkin.

Sakit kali ini adalah introspeksi diri. Apa sajakah yang telah diperbuat di saat sehat, bermanfaat kah perbuatan-perbuatan di saat sehat? atau malah banyak mudharatnya baik bagi diri sendiri atau pun orang lain. Mungkin inilah yang dimaksud dengan ajang identifikasi diri, terhadap apa yang telah diperbuat sebelum-sebelumnya. 

Banyak ucapan "semoga cepat sembuh" dari teman-teman (terima kasih bagi semuanya). Tak ada yang bisa diperbuat ketika sakit begini, bahkan untuk periksa ke dokter pun serasa tidak perlu. Inilah peringatan dan ujian Tuhan untuk sakit kali ini. Sempat berpikir untuk ke dokter, tapi saat ini, mungkin tidak siapapun yang bisa membantu termasuk dokter. Tuhan tengah menguji hasrat kemanusiaan saya sebagai ciptaannya.

Tak dapat dimengerti sebelumnya dengan semua ini. Baru tersadar betapa nikmat sehat yang diberikan Tuhan, seharusnya digunakan semaksimal mungkin untuk menghamba kepadaNya. Beberapa waktu yang lalu, mungkin saya terlalu sibuk dengan dunia yang hanya tempat singgah sementara ini. Sehingga lupa akan titah Tuhan yang semestinya dijalankan.

Ke depannya, siapapun itu, termasuk saya. Mulai menyadari sedalam-dalamnya akan makna hidup yang kian hari kian bertambah usia dan kian berkurangnya umur. Dengan tetap berpasrah diri akan apa yang telah dikehendaki sang pemberi titah, adalah upaya berhamba kepadaNya. 

Sehingga di kemudian hari, tidak akan ada penyesalan yang menjadi jadi dalam hidup yang hanya sementara ini. Berproses menjadi yang lebih baik dari sebelumnya, adalah yang semestinya...!

* Setiap ujian, akan selalu ada kunci jawaban. Kunci jawaban itulah, yang akan menjadi juru penyelamatnya. Semoga ada hikmah positif di balik semua ujian yang terjadi. Amien

Jangan Menutup diri Untuk terus Belajar

#Bagi Saya Part 5

Jangan pernah menutup diri untuk belajar, 

kita mesti belajar dari siapapun selama hal 

itu 

bernilai positif. Satu hal yang terkadang 

membuat kita mundur, yaitu kita terlalu 

menutup 

diri untuk menerima nilai-nilai positif dari 

luar. Sehingga, kita hanya bermain-main di 

lingkungan kita sendiri. Inilah yang selalu

menjadi kita terbelakang.

Tidak penting dari siapapun nila-nilai positif atau pelajaran berharga berasal, dari 

penjahatkah, atau dari kelompok-kelompok yang selalu bertentangan dengan kita. Apalagi 

hal itu berasal dari orang-orang yang sepaham dengan kita. 

Sudah waktunya kita membuang jauh-jauh pemikiran untuk menutup diri, tetapi dengan 

catatan kita tidak mesti melemahkan konsistensi terkait pemahaman kita. Terkadang ada 

juga yang over load menerima rangsangan dari luar. 

Apapun yang terjadi nanti, kitalah yang akan mendapat kebermanfaatannya atau dampat 

negatifnya.

*Selamat mencoba...!!!

https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=4614537406209&id=1375784295

Minggu, 28 April 2013

Keberagaman Kenangan

#Bagi Saya Part 4
Kenangan di masa lalu adalah titian keberagaman yang menjadikan diri kita berbeda dengan yang lain. Setidaknya kita telah melalui keberagaman itu, hingga terkadang kita tidak tahu seberapa beragamkah kenangan di masa lalu yang telah kita lalui. Yang kita ingat saat ini, itu hanyalah sebagian kecil keberagaman kenangan yang menepi dalam diri kita. Bahkan mungkin, ingetan kita tentang keberagaman kenangan itu hanyalah beberapa persen saja.

Pernahkah kita mengingat, bagaimana dulu kita terjatuh dan kemudian bangkit kembali ketika kita belajar berjalan? Atau, masih ingatkah kita dulu bagaimana kita belajar mengeja setiap deret kata yang diajarkan orang-orang di sekitar kita? Dan masih ingatkah kita, bagaimana dulu kita terbata-bata membahasakan bahasa yang sebelumnya kita tidak pernah tahu apalagi mengenalnya.

Tapi yang jelas, kita telah melalui banyak hal dalam kehidupan kita. Itulah yang kemudian saya simpulkan sebagai keberagaman kenangan dalam hidup.

Hidup ini, pada dasarnya adalah kumpulan keberagaman kenangan di masa lalu. Kita hanya menyedunya menjadi sebuah kompleksitas kehidupan. Ketika kita tidak sempat mengingat keberagaman kenangan yang sangat kompleks itu. Sebetulnya, kita telah melupakan diri kita dari eksistensi yang sebenarnya.

Di saat kita hanya mengingat keberagaman kenangan dari sudut pandang keindahannya, maka justru kita telah semakin terperosok dalam keindahan dunia yang semu ini. Sebab, kehidupan yang saat ini tengah kita jalani merupakan fase perjuangan melewati berbagai rintangan terdahulu. Dari semenjak awal benih-benih kehidupan tumbuh, kita telah mengalahkan ribuan atau bahkan jutaan saingan kita.

Maka, apakah kita akan menyerah dengan berbagai rintangan dan persoalan yang tengah kita hadapi saat ini. Semoga saja tidak...!

Kamis, 25 April 2013

KENCAN YANG TERTUNDA


Aku menunggumu cukup lama, Esha
Hingga tak terhitung berapa detik kuhabiskan dengan sebungkus rokok dan kopi ABC mocca,
Pun dengan “Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken”nya Jostein Gaarder yang baru aku pinjam

Pagi tadi, waktu kita berselancar di dunia maya
Kau bilang: Dua jam lagi kau akan menyambangi “Batoe Api”
Di waktu itulah, aku temukan tumpukan buku di rak-rak tua
Tapi, tak jua kutemukan wajahmu di sana

Tak apalah, hidup memang selalu begitu, dinamis.

Dua jam berlalu,
Rokok dan kopi ABC mocca sudah tiada sisa
Tapi, kau tak jua tampak di muka.

Entah sudah halaman keberapa Jostein Garder menyihiri diamku
Kalau nanti kau datang ke “Batoe Api” hari ini
Dan tak melihatku duduk termangu, mungkin aku sudah pulang waktu itu
Mungkin juga kau masih dapati bungkusan rokok dan sisa kopi ABC moccaku
yang masih tertinggal di sana.

Kencan yang tertunda,
Meski sedikit kecewa, tapi itu tak memudarkan pesonamu
Ya, mungkin di lain waktu, kita masih bisa mengatur jadwal kencan kita yang tertunda siang ini.

Sabtu, 30 Maret 2013 

#Bagi Saya

#Bagi Saya Part 1
Bagi saya, mencoba menjadi yang terbaik walaupun bukan yang terbaik adalah sebuah proses menghargai yang semestinya kita hargai. Tidak masalah bagaimana hasilnya, tapi yang lebih penting bagaimana kita menjalani sebuah proses itu semaksimal mungkin.

Bagi Saya, gagal bukan akhir dari segalanya, tetapi awal dari semuanya. Ketika kita gagal, dan kita berhenti menjalani proses itu, sebenarnya kita telah menyia-nyiakan eksistensi kita. Terus melangkah menjalani proses, merupakan jembatan penghubung bagi harapan dan keinginan kita. Kita masih punya agenda besar dalam hidup, setiap kita mempunyai agenda hidup yang berbeda. Sudah saatnya kita mengenali agenda besar dalam hidup kita.

Bagi saya, hidup itu sangat sederhana. Tapi jangan menyederhanakan hidup. Hidup itu sangat sederhana, tapi yang jelas hidup itu bukan hanya perihal kesederhanaan. Hidup itu sangat sederhana, dan Bagi Saya, Bersyukur, mengenali agenda hidup, menjalani proses dengan maksimal, menjadi hidup yang sangat sederhana ketika menyadari itu semua.

Bagi saya, memilih tidak harus beralih. Memilih tidak harus tersisih. Dan memilih tidak harus tertatih. Tapi tertatih dalam berproses adalah pilihan. Sebab, pilihan terbaik adalah pilihan itu sendiri.


#Bagi Saya--Part II
Diam bukan menjadi jalan terbaik jika kita ingin berproses. Bergerak, itulah yang seharusnya terjadi ketika kita ingin berproses. Diam, sebetulnya bukan pilihan terbaik. Sebab diam hanya akan melahirkan kerisauan dan kejenuhan. Tatkala diam menjadi pilihan, yang ada hanya ketidak pastian. Maka nyatakan dan katakanlah jika itu benar. 

Jangan mengira diam itu hikmah, ketika kita tidak tahu apa itu hikmah. Maka, jangan sekali-kali diam ketika kita ingin berproses untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Untuk itulah, nyatakan dan katakanlah apa yang semestinya diucapkan dan disampaikan jika itu benar.

Diam hanya akan melahirkan kebisuan belaka. Sebab hidup tidak terlahir dari kebisuan. Hidup ini semestinya harus terus bergerak mengejar poros kehidupan yang sebenarnya. Tatkalah diam menjangkit dalam diri. Maka segeralah beralih untuk bergerak.

Sebuah guyonan tetangga kost tempo hari, terkait diam. "Dek, kalau kamu suka sama perempuan, katakan kalo kamu suka. Nanti keduluan orang lo. Jangan simpen di hatimu kalo kamu suka, diam itu neraka terkadang dek". Jadi ingin ketawa rasanya, tapi kata-katanya sangat filosfis. Tapi memang, perihal menyampaikan dan menyatakan tidak segampang menggigit jari. Semoga kita termasuk orang-orang yang mudah menyampaiakn, mengatakan, dan mengutarakan jika itu benar.


#Bagi Saya Part 3
Tidak akan pernah ada sebuah jawaban, sebelum pertanyaan-pertanyaan datang mengharap sebuah jawaban dan penyelesaiannya. Hidup ini sangat indah, tapi saya tidak pernah ingin mengindahkan hidup ini dengan kesia-siaan. Toh, keberadaan saya justru selalu menjadi sebuah tanda tanya dan persoalan. 

Kenapa saya harus terlahir? Kenapa saya harus berada di sini (di tempat yang justru jauh dari tempat kelahiran) ?-- Berbagai persoalan dan pertanyaan yang saya sendiri sulit untuk menjabarkan jawabannya.

Awalanya, setiap orang menginginkan kesempurnaan. Bekerja dengan sempurna, Belajar dengan sempurna, Bermasyarakat dengan sempurna, Berekonomi dengan sempurna, Berkeluarga dengan sempurna, Bersahabat dengan sempurna, dan bahkan awalnya Berpolitik dengan sempurna.

Semuanya serba sempurna. Apa yang istimewa dengan kesempurnaan? Bahagiakah, senangkah, indahkah, atau apakah yang mengistimewakan kesempuranaan itu?

Saat ini, berbagai persoalan itu bahkan telah hilang keberadaannya. Yang ada, hanya keindahan yang dibuat-buat. Bukan malah jawaban dan penyelesaian yang terlahir, tetapi keindahan membawa petaka yang terlahir.

Bagaimana akan muncul jawaban, sedang pertanyaan dan persoalan itu tidak terbenak. Dan mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya, yang ada mungkin hanya keindahan semu.

Sebagai perbandingan, ada sebuah penelitian sederhana terkait perkembangan remaja modern. Mulanya, peneliti tersebut tidak mempercayai akan perubahan sikap dan mental remaja karena perkembangan teknologi dan informasi. Dengan asumsi, "remaja tidak akan berubah sikap, perhatian, dan semangatnya kendatipun perkembangan teknologi informasi sudah mendunia".

Setelah peneliti itu menemukan kejanggalan terkait uji hipotesisnya, Peneliti itu kemudian menemukan rumusan, dan dengan kagetnya penelti itu terhadap apa yang dihasilkannya. Ternyata, remaja akan cepat berubah sikap, perhatian, dan semangatnya ketika teknologi informasi menjadi sumbu keindahannya.

Keindahan itu tidak sebatas keindahan itu sendiri, sebab keindahan sebetulnya bukanlah keindahan. Tapi sebuah ketidak pastian yang dipaksa masuk menjadi sesuatu yang indah.

Mari mulai berpikir untuk memunculkan berbagai persoalan dan pertanyaan, sebuah keniscayaan jawaban dan penyelesaian itu akan terlahir. 

Selasa, 26 Maret 2013

KUALIFIKASI PUSTAKAWAN REFERENS (REFERENCE) HARUS UNGGUL


I.    Pendahuluan
Pada sebuah pengantar buku berjudul Manajemen Perpustakaan: Suatu Pendekatan Praktis, yang ditulis oleh Sutarno NS, Drs. Zulfikar Zen, MA., menyampaikan bahwa kebanyakan orang memandang Perpustakaan hanya berdasarkan kacamata kuantitas dan containers. Paradigma berpikir mereka masih belum sampai pada tahap memandang Perpustakaan dari kacamata kualitas, dan ataupun kandungan informasi (contents) yang ada dalam sebuah Perpustakaan. Menurut Drs. Zulfikar Zen, MA., juga dalam sumber yang sama melanjutkan penyampaiannya terkait penilaian keberhasilan Perpustakaan, seharusnya dilihat dari jumlah transaksi yang terjadi dan juga semestinya dilihat dari tingkat kepuasan pemakainya.
Meminjam istilah Sutarno NS, Perpustakaan tidak hanya sebuah gedung yang menyimpang berbagai koleksi–koleksi belak. Perpustakaan merupakan agen perubahan, Perpustakaan juga merupakan media pendidikan sepanjang hayat. Secara sadar memang Perpustakaan hingga saat ini masih belum bisa berjalan dengan maksimal, inilah yang semestinya kita cari akar permasalahannya. Ketika akar permasalahannya sudah bisa kita ketahui dan tampak, maka pencarian solusinya akan jauh lebih mudah.
Sebelum melangkah lebih jauh lagi, penulis akan sedikit memaparkan sedikit tentang pengertian Perpustakaan. Secara sederhana namun mengandung pengertian yang cukup komprehensif, Sulityo Basuki, dalam bukunya Pengantar Ilmu Perpustakaan, menyampaikan bahwa:
“…batasan Perpustakaan ialah sebuah ruangan, bagian sebuah gedung, ataupun gedung itu sendiri yang digunakan untuk menyimpan buku dan terbitan lainnya yang biasanya disimpan menurut tata susunan tertentu untuk digunakan pembaca, bukan untuk dijual. Dalam pengertian buku dan terbitan lainnya termasuk di dalamnya semua bahan cetak (buku, majalah, laporan, pamphlet, prosiding, manuskrip (naskah), lembaran music, berbagai karya media audio-visual seperti film, slaid (slide), kaset, piringan hitam, bentuk mikro seperti mikro film, mikrofis, dan mikroburam (microopaque).”
Berdasarkan pernyataan Sulistiyo Basuki di atas, paling tidak kita telah mempunyai pandangan tentang sebuah Perpustakaan. Pada tulisan ini, penulis nantinya akan lebih menitik beratkan terhadap pembahasan mengenai Kualifikasi Pustakawan dan Layanan Referens pada sebuah Perpustakaan. Bagi penulis, pembahasan secara umum mengenai Perpustakaan sudah cukup banyak yang menuliskannya. Hanya saja di bidang Kualifikasi Pustakawan pada sebuah layanan referens, mungkin masih sedikit yang menulisnya.
Inilah yang kemudian melatarbelakangi penulis untuk mencoba mengkaji dan menganalisis Kualifikasi Pustakawan, dalam bidang layanan referens. Ada hal-hal yang cukup menarik dalam kajian dalam tulisan ini, di mana pustakawan dituntut untuk menjadi paling unggul di bidang referens. Sebab menurut penulis, pengunjung ataupun pemustaka yang ingin menggunakan fasilitas layanan referens ini akan berpapasan langsung dengan Pustakawan Referens secara tatap muka (face to face).
Dengan demikian, kualifikasi Pustakawan Referens harus unggul dan bahkan boleh dibilang harus super unggul. Penyampaian informasi yang akurat dari Pustakawan Referens, akan menjadi acuan penting bagi mereka (pengunjung atau pemustaka) demi mendapatkan informasi yang mereka butuhkan. Sehingga, Pustakawan Referens tidak cukup hanya pandai bermain logika dengan pengunjung dan pemustaka, melainkan kemampuan dan penguasaan terhadap koleksi referens harus mereka kuasai, di samping berpengetahuan luas, dan mengetahui cara menggunakan sumber-sumber referens tersebut dengan baik dan benar.
Dari itulah, tulisan ini akan mencoba merefleksikan mengenai kualifikasi Pustakawan Referens yang unggul itu seperti apa. Bahkan bisa jadi, tulisan ini bisa menjadi jawaban bagi mereka yang bertanya tentang bagaimana semestinya Pustakawan Referens dalam mengaplikasikan kemampuannya dalam bidang yang mereka geluti saat ini. Bisa jadi, Pustawakan Referens saat ini masih belum banyak memahami tentang konsep layanan yang harus mereka lakukan. Tidak heran jika mungkin koleksi referens hanya menjadi penghias rak buku Perpustakaan belaka, tanpa ada yang menyentuhnya. Tapi hal itu wajar saja karena mungkin Pustakawannya kurang menarik, dan semacamnya.  
Bagi penulis, tulisan ini tidak hanya sebuah eksperimen bisa saja. Akan tetapi, tulisan ini akan mencoba mengungkap sisi-sisi terdalam Pustakawan Referens yang seharusnya dimilikinya dan diaplikasikannya secara nyata dalam kehidupan kepustakawanan. Yang jelas, bagi mereka yang berprofesi sebagai Pustakawan Referens yang masih belum mengetahui banyak hal tentang esensi dari Pustakawan Referens, penulis pikir tulisan ini bisa menjadi rujukan mereka dalam berproses menjadi Pustawakan Referens yang benar-benar memiliki kualifikasi yang unggul.
Penulis memberi judul tulisan ini “Kualifikasi Pustakawan Referens (Reference) Harus Unggul”, ini merupakan sebuah cerminan nantinya supaya Pustakawan-Pustakawan yang berada dalam bidang layanan referens, akan menyadari tanggung jawab mereka yang sebenarnya. Ketika mereka benar-benar menyadari tanggung jawab dan tugas-tugas yang mereka emban, penulis berasumsi bahwa kualifikasi-kualifikasi mereka tidak bisa diragukan lagi. Itulah, yang kemudian penulis bilang sebagai Pustawakan Unggul.
II.   Layanan Referens (reference)
Layanan referens merupakan sebuah bagian dari jasa layanan pada sebuah Perpustakaan. Secara etimologis, referens berasal dari kata to refer yang berarti menunjukkan atau merujuk—begitupun dengan pengertian layanan referensi tersebut.[3]
Dalam sumber lain dikatakan, bahwa layanan referens merupakan sebuah bagian dari jasa Perpustakaan, dan disediakan untuk pengguna (pemustaka) untuk memenuhi kebutuhannya. Mudahnya, layanan referens ini ditandai dengan pelayanan yang dilakukan oleh Pustakawan Referens dengan menggunakan koleksi-koleksi referens itu sendiri.
Adapun koleksi-koleksi referens itu mencakup kamus, ensiklopedia, direktori, buku tahunan, dan lain-lain [4]. Secara cukup spesifik, Junaida S.Sos., dalam tulisannya Pelayanan Referensi di Perpustakaan, membagi jumlah koleksi-koleksi referens ke dalam sebelas bagian. Meliputi, kamus, ensiklopedia, sumber biografi, buku tahunan, almanac, sumber geografis, direktori, sumber rujukan mutakhir, sumber statistik, buku panduan dan pedoman (manual), dan bibliografi. Pada dasarnya sama, hanya saja pemahaman dan pengertian yang beragam dari banyak pihak, menjadikan semakin kayanya khazanah ilmu pengetahuan, khususnya di bidang layanan referens ini.
Berbagai koleksi-koleksi referens di atas tadi, akan menjadi kunci jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang masuk ke perpustakaan. Hanya saja, menurut Sulistiyo Basuki “…objek jasa rujukan yaitu buku referens, fungsi, tradisi, serta situasinya yang mempengaruhi jasa rujukan akan berbeda dari satu perpustakaan ke perpustakaan lain.”[5]
Sulistiyo Basuki, dalam penjelasan selanjutnya menyampaikan bahwa jasa rujukan (referens) dibagi atas tiga kelompok besar, pertama, jasa dasar. Jasa dasar adalah sebuah jasa yang harus dilakukan oleh setiap perpustakaan. Adapun jasa dasar yang harus dilakukan tersebut meliputi, pemberian informasi umum, penyediaan informasi khusus, bantuan dalam menelusur dokumen, bantuan dalam menggunakan katalog, dan jasa bantuan menggunakan buku rujukan.
Kedua, jasa yang lazim dilaksakan. Berbagai jasa perpustakaan yang sering dilakukan meliputi, pinjam antar perpustakaan, tendon (reservation) buku, orientasi perpustakaan serta instruksi bibliografi, kunjungan perpustakaan, menyelenggarakan pameran termasuk pameran buku yang baru diterima, membantu penerbitan perpustakaan, jasa bimbingan pembaca, jasa pengindeksan dan abstrak, kompilasi bibliografi, pembuatan kliping, dan pembuatna jajaran vertical (vertical files) berisi pamflet prospectus, brosur, dan sebagainya.   
Ketiga, jasa yang jarang dilakukan. Ada beberapa jasa yang jarang dilakukan oleh Perpustakaan, yaitu, pameran majalah mutakhir, pembentukan jajaran khusus seperti jajaran berisi kegiatan dan peristiwa mutakhir atau surat  menyurat masa lalu dari badan induk, reproduksi dokumen, jasa terjemahan, dan jasa referral.
Hal-hal di atas, tentunya perlu diperhatikan oleh Pustakawan Referens. Kepintaran, kecerdasan, dan kejelian Pustakawan Referens akan sangat berguna bagi layanangan referens.   
Nah, mengapa di awal penulis sampaikan bahwa kualifikasi pustakawan referens harus unggul. Tentunya, kualifikasi pustakawan referens yang unggul akan berdampak positif bagi kenyamanan pengguna dan pemustaka ketika berkunjung ke Perpustakaan, lebih-lebih ketika melakukan Pustakawan Referens dan pengunjung ataupun pemustaka melakukan wawancara tentang koleksi referens tadi.  

III. Kualifikasi Pustakawan Referens (reference)
Pustakawan Referens harus memiliki kualifikasi khusus yang menjadikan mereka lebih unggul di banding Pustakawan lainnya. Pada dasarnya Pustakawan itulah yang akan membentuk kesan tersendiri di pandangan pengunjung, ketika Pustakawan tersebut memiliki tutur kata yang baik dan sopan, kemudian cara berkomunikasinya bagus beserta diksinya tepat dan sesuai sasaran. Tentu kesan pengunjung terhadap Pustawakan tersebut akan senang, dan membuat pengunjung akan tertarik untuk berkunjung yang kesekian kalinya.
          Akan tetapi, beda halnya dengan Pustakawan yang tidak sopan dalam tutur katanya, galak, tidak periang, kurang komunikatif, dan semacamnya, justru akan membentuk kesan buruk bagi Pustakawan tersebut, lebih-lebih terhadap Perpustakaan itu sendiri.
          Dijelaskan bahwa Pustakawan Reference harus memperhatikan paling tidak dua hal ini, supaya layanan referens tersebut bisa terselenggara dengan baik. Kedua hal tersebut, meliputi, bahwa pustakawan harus memiliki pengetahuan yang luas tentang berbagai sumber referens. Ketiak Pustakawan Referens sudah memilik hal yang pertama ini, sudah ada satu modal bagi Pustakawan tersebut dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Tetapi, tidak cukup hanya berbekal pengetahuan luas tentang sumber-sumber referens tersebut, pengetahuan tentang cara-cara penggunaan sumber referens tersebut dengan baik dan benar, juga harus dikuasi oleh Pustakawan Referens.    
Di samping kemampuan, dan kualifikasi-kualifikasi seperti disampaikan di atas. Beberapa hal yang juga tidak kalah pentingnya, dan bahkan cukup sentral keberadaannya, bahwa, Pertama, Pustawakan harus mampu berbahasa sesuai dengan masanya. Untuk saat ini, bahasa ingris menjadi keharusan yang mesti mereka (pustakawan referens) kuasai. Tuntutan zaman, dengan kemodernan dan globalisasi yang semakin jauh berkembang pesat, menuntut mereka menguasainya. Bisa jadi, beberapa tahun mendatang apabila bahasa Indonesia sudah go international, atau dengan kata lain kedudukannya sama dengan bahasa ingris saat ini. tentunya, pustakawan-pustakawan referens di luar kawasan Indonesia harus mengusasi secara penuh bahasa Indonesia kita.
Kedua, harus memiliki sikap ramah, terampil, bertanggung jawab, memiliki sikap daya tanggap yang cukup, serta memiliki sikap peduli. Apabila kemampuan sikap-sikap di atas bisa mereka (Pustakawan Referens) kuasai dengan baik, pastinya pengunjung atau pemustaka akan merasakan kenyamanan. Ketika mereka sudah merasakan demikian, akan terjamin pengunjung akan meningkat dan citra Perpustakaan tersebut akan bagus. Sebuah layanan referens bisa dikatakan baik apabila pengunjung dan pemustaka bisa merasakan kepuasan terhadap pelayanannya. Seperti disampaikan, pelayanan yang baik terhadap pengunjung dan pemustaka, akan berdampak positif terhadap semua belah pihak, terhadap perpustakaannya, pengunjung dan pemustakanya, begitupun terhadap Pustakawan Referens.
Ketiga, menguasai teori dan konsep komunikasi interpersonal. Secara sederhana komunikasi interpersonal dalam layanan referens, merupakan sebuah komunikasi yang dilakukan oleh Pustakawan Referens dan pemustaka. Atau dalam kata lain, sebuah interaksi dan komunikasi yang dilakukan oleh dua orang yang saling memiliki keterikatan emosi antara satu dan lainnya (Pustakawan Referens dan Pemustaka). Kemampuan tersebut akan menopang kinerja mereka ketika terjadi benturan dan bahkan beda pendapat, dengan demikian Pustakawan Referens sudah bisa tahu solusinya bagaimana.
Keempat, memahami psikologi pengunjung dan pemustaka. Hal yang kadang terlupakan oleh beberapa Pustakawan Referens, adalah kemampuan memahami psikologi pengunjung dan pemustaka. Kemampuan ini sangat urgen, sebab dengan itulah Pustakawan Referens bisa memahami bagaimana sebenarnya pemustaka tersebut. Memahami karakter pengunjung dan pemustaka, merupakan bagian dari proses memahami psikologi mereka.
Kelima, Pustakawan harus mampu menguasai teori-teori konsep diri. Memahami konsep-konsep dan teori teori tentang diri, akan berpengaruh positif terhadap baik tidaknya respon yang akan ditimbulkan oleh pengunjung dan pemustaka, terhadap Pustakawan Referens, dan terhadap institusi Perpustakaan. Pustakawan Referens yang telah mampu memahami konsep diri-(nya) dengan baik, dan diaplikasikannya dalam kesehariannya, penulis berkeyakinan bahwa hasil yang akan ditimbulkan akan jauh lebih baik dibandingkan Pustakawan Referens yang tidak memahami konsep diri-(nya).
Terlepas dari baik tidaknya sebuah layanan referens, tidak hanya terletak terhadap kelengkapan koleksi referensnya, dan fasilitas yang memadadi dalam Perpustakaan tersebut. Melainkan, Pustakawan Referens mempunyai andil yang cukup sentral. Untuk itulah, pemberdayaan dan pelatihan tentang kepustakawanan harus sering kali mereka ikuti guna untuk memperluas cakrawala berpikir mereka. Sebab layanan referens, cukup memiliki ketergantungan terhadap Pustakawannya. Pustakawannya menguasai apa yang penulis sampaikan di atas, koleksinya memadai, fasilitasnya cukup, akan berpengaruh positif terhadap semua pihak.
Harapannya dengan beberapa hal yang penulis sampaikan di atas, bisa menjadi rujukan dan tambahan pengetahuan di bidang kepustakawanan pada layanan referens. Mengenai bagaimana semestinya seorang Pustakawan Referens, penulis sampaikan dengan bahasa yang tidak sulit dimengerti dan tidak terkesan menggurui.
    
IV.Penutup
Sebagai penutup, penulis berkeyakinan bahwa suatu bangsa yang besar tidak akan terlepas dari sebuah proses panjang untuk melahirkan sejarah baru. Dunia pendidikan bangsa ini, tidak akan mengalami perkembangan pesat ketika keberadaan dianggap remeh oleh kebanyakan. Bahkan, bisa jadi kiamat pendidikan ketika perpustakaan sudah dianggap tidak penting keberadaannya oleh pemerintah. Sehingga tidak ada perhatian secara khusus dalam hal manajemen, ataupun dalam hal pengelolaan perpustakaannya.
Pada akhir tulisan ini, penulis ingin mengutip sebuah kalimat dari Sutarno NS dan bagi penulis cukup menarik. Sutarno NS mengatakan bahwa “Sebuah Perpustakaan akan dapat ‘memainkan’ peran sebagaimana mestinya manakala dikelola menurut ‘kaidah’ yang berlaku. Kaidah itu adalah teori atau ilmu perpustakaan, dan ilmu-ilmu lain yang berkaitan seperti manajemen, sistem informasi manajemen, dan teknologi informasi. Kedua, menurut praktik yang disesuaikan dengan situasi dan lingkungan setempat.”
Hubungannya dengan tema yang penulis sampaikan dalam tulisan ini, diharapkan Pustakawan Referens bisa melek dan terbuka cakrawala berpikirnya. Sehingga tidak berkutat dalam hal teknis belaka.
Berbagai masukan yang penulis sampaikan dalam berbagai lembaran kertas ini, tidak akan bermakna apa-apa jika tidak ada feedback dari berbagai pihak yang membacanya. Tulisan ini akan menjadi lembaran-lembaran kumuh nantinya, ketika yang membaca tulisan ini hanya diam dan tidak mau untuk mengkritisinya demi perbaikan ke depannya.
Layaknya sebuah manusia biasa, penulis bukan superhero yang selalu benar. Tetapi, penulis adalah manusia biasa yang memiliki keterbatasan, keterbatasan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan. Dengan tulisan ini, penulis mencoba untuk terus membenah diri untuk memperluas cakrawala berpikir penulis.
Untuk itulah, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Khususnya kepada Dosen pengampu mata kuliah “Reference Resource and Servieces”. Neon tidak akan pernah bisa memantulkan cahaya terangnya, jika tidak disuplai dengan energi (listrik) dan semacamnya. Bagi penulis Dosen merupakan sumber energi terbesar, demi tercapainya kehidupan yang benar-benar hidup. Dan tidak lupa, penulis sampaikan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu terselesainya tulisan ini.
Terakhir dan paling akhir, penulis mengucapkan banyak terima kasih terhadap siapapun yang telah meluangkan waktunya untuk membaca tulisan sederhana ini. semoga tulisan ini bermanfaat.










Bahan Bacaan:
1.  Sulistiyo Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan, Penerbit PT Gramedia Psutaka Utama, Jakarta.
2.  Sutarno NS, Manajemen Perpustakaan: Suatu Pendekatan Praktik, Penerbit Sagung Seto, Jakarta. 2006
3.  Inotji Hajatullah dan Puadah Djamilah, Layanan Referensi, Pusat Perpustakaan Pertanian dan Komunikasi Peneltian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. 2000
4.  Lukito Adhi Utomo, Analisis Sikap Pustakawan Referensi Dalam Melayani Mahasiswa Di Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Semarang.
5.  Aa Kosasih, S.Sos., Layanan Referensi dan Serial Perpustakaan Sekolah, Makalah yang disampaikan pada Workshop dan Pelatihan Tenaga Kepustakaan Sekolah pada tingkat SMP/SMP/SMK se-Jawa Timur, pada tanggal 22 Agustus 2006



[1] Tulisan ini bertujuan untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester (UAS) semester III/Ganjil 2012-2013 pada hari Rabu (09/01/2013), Mata Kuliah “Reference, Resource and Servieces”, bersama Drs. H. Dian Sinaga., M.S., dan Saleha Rodiah, S.Sos., M.Si., pada Departemen Ilmu Informasi dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, 2012.
[2] Abd. Qadir Jailani, dengan NPM 210210110093, mahasiswa kelas C 2011 pada Departemen Ilmu Informasi dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Jatinangor.
[3] Lihat, Aa Kosasih, S.Sos, dalam makalahnya yang berjudul Layanang Referensi dan Serial Perpustakaan Sekolah, yang disampaikan pada Workshop dan Pelatihan Tenaga Kepustakaan Sekolah pada tingkat SMP/SMP/SMK se-Jawa Timur, pada tanggal 22 Agustus 2006. hal. 3    
[4] Sulistiyo Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, hal. 440
[5] Ibid, hal. 448